Cernak Rohyati Sofjan
PETUGAS itu duduk di kursi ruang tamu,
menjelaskan sesuatu pada ibuku yang mangut-mangut mencoba mengerti, mematuhi
aturan baru tentang membayar pajak radio tape yang baru kami miliki. Aku
berdiri di samping Ibu. Beberapa temanku dan tetangga merubung di halaman
sekadar ingin tahu.
Aku merasa malu meski tak tahu untuk apa malu. Kami tak salah apa-apa, cuma
sedang berurusan dengan petugas yang sedang mendata radio warga agar
melaksanakan aturan wajib pajak. Pajak, makhluk apakah itu? Aku merasa malu
karena kupikir ibuku didenda sebab memiliki radio.
Ibuku membayar sekian rupiah, jumlah yang tidak terlalu besar, namun aku
tetap bingung dan menyesal. Mengapa tak kuberi tahu Ibu sebelumnya agar ia
menyembunyikan saja radionya seperti yang dilakukan Wiwi temanku dan mamanya
waktu tadi aku main di rumahnya.
“Cepat sembunyikan radio, ada orang pajak!” perintah mama Wiwi tergesa-gesa
masuk kamar, dan Wiwi pun patuh menyembunyikan radio transistor kecilnya ke
kolong ranjang. Aku heran, kenapa harus disembunyikan? Wiwi yang lebih tua dua
atau tiga tahun daripadaku dan sudah bersekolah hanya tersenyum mendengar
tanyaku.
“Biar tak usah bayar!” Mama Wiwi yang menjawab dengan menggesekkan jempol
dan telunjuknya, isyarat akan uang.
“Oh,” aku hanya mengangguk polos. Aku belum bersekolah, tahu apa soal uang.
Apakah kalau punya radio harus keluar uang? Aku pulang. Tak ada lagi permainan
menarik di rumah Wiwi. Sepertinya aku pun diharapkan pulang agar penghuni rumah
bisa bersembunyi di luar. Barangkali agar orang pajak yang belum kutahu seperti
apa wujudnya tak bertandang. Sebab rumah dikunci dan tak berpenghuni.
Sepertinya rumah dan radio Wiwi aman dari satronan orang pajak. Aku pulang
ke rumah. Ibuku sedang menyetel radio keras-keras, ia senang sekali. “Sini, ada
musik asyik!” serunya riang.
Aku hanya bisa diam. Tak tahu haruskah kuberi tahu Ibu agar menyembunyikan
radio itu seperti yang dilakukan Wiwi dan mamanya, mungkin di lemari yang
terkunci. Justru mulutku terkunci untuk mengatakan itu, aku tak tega merusak
kesenangan Ibu. Dan lagi, aku bingung dengan wujud orang pajak. Kalau semua
rumah didatangi, berarti kami juga harus sama.
Jadi aku diam saja. Dan tak berapa lama kemudian pintu rumah diketuk. Ibuku
yang membukakan pintu. Ternyata tamunya bapak-bapak berseragam. Ia ramah.
Memperkenalkan diri sebagai petugas pajak, dan setiap pemilik radio wajib
membayar pajak yang telah ditentukan jumlahnya.
Begitulah ibuku melakukan apa yang harus dilakukannya. Dan petugas ramah
itu mencatat. Lalu pamit untuk melanjutkan pekerjaannya di rumah lain. Begitu
petugas itu pergi, mama Wiwi menghambur masuk dan menegur ibuku, katanya
harusnya dari tadi radio itu disembunyikan saja. Dan matanya memandang tajam ke
arahku, seakan aku anak bodoh karena tak memberi tahu ibuku untuk melakukan apa
yang dicontohkannya tadi. Aku jadi malu. Ibuku yang tak mengerti jadi heran. Ia
tak tahu apa-apa, dan itu aturan baru. Hanya mencoba patuh pada kewajiban
sebagai warga negara yang baik.
Ah, mama Wiwi memang
aneh! Perempuan itu melenggang setelah nyinyir berkomentar. Ibuku dan aku pasti
terlihat dungu di matanya. Syukurlah, Bu Ilim, tetangga di sebelah depan
rumahku ternyata membayar pajak radio juga. Ibuku lega. Kata Ibu, mama Wiwi
lucu. Ada-ada saja, sekadar menghiburku karena merasa bersalah tak memberi tahu
Ibu.
“Ngapain ngumpetin radio, di kolong ranjang segala, lalu rumah dikunci dan
penghuninya ngungsi ke luar, hahaha...!” Ibuku tertawa ngakak.
***
“Demikianlah, Palung, waktu itu tahun ’80-an dan Mamah masih kecil, belum
bersekolah, telinga juga masih berfungsi baik.”
“Apa yang terjadi dengan telinga Mamah?” tanya Palung serius. Wajahnya
sedih, mengapa ibunya harus berbeda. Palung kadang malu diolok-olok anak lain
bahwa ibunya tuli.
Mamah menghela napas, mencoba tersenyum meski matanya berkaca-kaca. “Mamah
juga tak sepenuhnya paham. Kecelakaan yang tak Mamah ingat persis telah
mengubah segalanya. Ingatan kolektif tak merekamnya dengan baik. Barangkali itu
bukan bagian yang ingin Mamah ingat. Yang Mamah ingat hanya hal-hal lain,
ketika dunia masih ingar dengan bunyi. Meski sekarang Mamah sudah lama lupa
irama musik.”
“Musik itu indah, Mah.” Mata palung berbinar.
“Maka syukurilah hidup bahwa kamu masih bisa mendengarnya. Dan belajarlah
dari hidup, banyak yang tak beruntung. Tak ada yang sempurna.” Mamah mengusap
kepala anak lelaki semata wayangnya sepenuh sayang.
“Jadi Palung tak boleh takabur?” Palung merasa sedih, mengapa anak-anak itu
nakal mengejeknya, apakah tidak dididik dengan baik oleh orangtuanya?
“Anakku sayang, cerita tentang pajak radio itu merupakan gambaran diri
Mamah. Ketika melihat Nenek senang dengan radionya, haruskah Mamah merusak
kebahagiaan dengan kecemasan karena pengaruh orang lain. Untuk apa kita
berbohong? Menyembunyikan apa yang kita miliki agar bisa mangkir dari
kewajiban, akankah membuat kita tenang? Salah-salah kalau itu terjadi, mungkin
nenekmu akan seperti mama Wiwi, was-was setiap menyalakan radio saat terang
karena takut didatangi petugas pajak.” Mamah tertawa. Palung nyengir. Sekarang
memang bukan zamannya lagi bayar pajak radio. Dipandanginya radio transistor
hitam kecil, hadiah dari Eyang Yanie teman baik Mamah.
Dunia bagi Palung indah dan baik-baik saja. Ada musik yang menghiburnya.
Kata Mamah sejak Palung masih dalam kandungan, Mamah suka memperdengarkan musik
klasik sampai senandung ayat Quran sambil bekerja di netbook hadiah Pak Dana dari Bandung.
Dipejamkannya mata, Palung mencoba tidur siang ditemani radio kesayangan.
“Ambilkan Bulan” ciptaan Pak A.T. Mahmud yang disenandungkan Five Minutes
mengalun lembut.***
Loji, 23 Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D