Rabu, 27 Desember 2017

Pajak Radio



Cernak Rohyati Sofjan


PETUGAS itu duduk di kursi ruang tamu, menjelaskan sesuatu pada ibuku yang mangut-mangut mencoba mengerti, mematuhi aturan baru tentang membayar pajak radio tape yang baru kami miliki. Aku berdiri di samping Ibu. Beberapa temanku dan tetangga merubung di halaman sekadar ingin tahu.
Aku merasa malu meski tak tahu untuk apa malu. Kami tak salah apa-apa, cuma sedang berurusan dengan petugas yang sedang mendata radio warga agar melaksanakan aturan wajib pajak. Pajak, makhluk apakah itu? Aku merasa malu karena kupikir ibuku didenda sebab memiliki radio.
Ibuku membayar sekian rupiah, jumlah yang tidak terlalu besar, namun aku tetap bingung dan menyesal. Mengapa tak kuberi tahu Ibu sebelumnya agar ia menyembunyikan saja radionya seperti yang dilakukan Wiwi temanku dan mamanya waktu tadi aku main di rumahnya.
“Cepat sembunyikan radio, ada orang pajak!” perintah mama Wiwi tergesa-gesa masuk kamar, dan Wiwi pun patuh menyembunyikan radio transistor kecilnya ke kolong ranjang. Aku heran, kenapa harus disembunyikan? Wiwi yang lebih tua dua atau tiga tahun daripadaku dan sudah bersekolah hanya tersenyum mendengar tanyaku.
“Biar tak usah bayar!” Mama Wiwi yang menjawab dengan menggesekkan jempol dan telunjuknya, isyarat akan uang.
“Oh,” aku hanya mengangguk polos. Aku belum bersekolah, tahu apa soal uang. Apakah kalau punya radio harus keluar uang? Aku pulang. Tak ada lagi permainan menarik di rumah Wiwi. Sepertinya aku pun diharapkan pulang agar penghuni rumah bisa bersembunyi di luar. Barangkali agar orang pajak yang belum kutahu seperti apa wujudnya tak bertandang. Sebab rumah dikunci dan tak berpenghuni.
Sepertinya rumah dan radio Wiwi aman dari satronan orang pajak. Aku pulang ke rumah. Ibuku sedang menyetel radio keras-keras, ia senang sekali. “Sini, ada musik asyik!” serunya riang.
Aku hanya bisa diam. Tak tahu haruskah kuberi tahu Ibu agar menyembunyikan radio itu seperti yang dilakukan Wiwi dan mamanya, mungkin di lemari yang terkunci. Justru mulutku terkunci untuk mengatakan itu, aku tak tega merusak kesenangan Ibu. Dan lagi, aku bingung dengan wujud orang pajak. Kalau semua rumah didatangi, berarti kami juga harus sama.
Jadi aku diam saja. Dan tak berapa lama kemudian pintu rumah diketuk. Ibuku yang membukakan pintu. Ternyata tamunya bapak-bapak berseragam. Ia ramah. Memperkenalkan diri sebagai petugas pajak, dan setiap pemilik radio wajib membayar pajak yang telah ditentukan jumlahnya.
Begitulah ibuku melakukan apa yang harus dilakukannya. Dan petugas ramah itu mencatat. Lalu pamit untuk melanjutkan pekerjaannya di rumah lain. Begitu petugas itu pergi, mama Wiwi menghambur masuk dan menegur ibuku, katanya harusnya dari tadi radio itu disembunyikan saja. Dan matanya memandang tajam ke arahku, seakan aku anak bodoh karena tak memberi tahu ibuku untuk melakukan apa yang dicontohkannya tadi. Aku jadi malu. Ibuku yang tak mengerti jadi heran. Ia tak tahu apa-apa, dan itu aturan baru. Hanya mencoba patuh pada kewajiban sebagai warga negara yang baik.
Ah, mama Wiwi memang aneh! Perempuan itu melenggang setelah nyinyir berkomentar. Ibuku dan aku pasti terlihat dungu di matanya. Syukurlah, Bu Ilim, tetangga di sebelah depan rumahku ternyata membayar pajak radio juga. Ibuku lega. Kata Ibu, mama Wiwi lucu. Ada-ada saja, sekadar menghiburku karena merasa bersalah tak memberi tahu Ibu.
“Ngapain ngumpetin radio, di kolong ranjang segala, lalu rumah dikunci dan penghuninya ngungsi ke luar, hahaha...!” Ibuku tertawa ngakak.
***
“Demikianlah, Palung, waktu itu tahun ’80-an dan Mamah masih kecil, belum bersekolah, telinga juga masih berfungsi baik.”
“Apa yang terjadi dengan telinga Mamah?” tanya Palung serius. Wajahnya sedih, mengapa ibunya harus berbeda. Palung kadang malu diolok-olok anak lain bahwa ibunya tuli.
Mamah menghela napas, mencoba tersenyum meski matanya berkaca-kaca. “Mamah juga tak sepenuhnya paham. Kecelakaan yang tak Mamah ingat persis telah mengubah segalanya. Ingatan kolektif tak merekamnya dengan baik. Barangkali itu bukan bagian yang ingin Mamah ingat. Yang Mamah ingat hanya hal-hal lain, ketika dunia masih ingar dengan bunyi. Meski sekarang Mamah sudah lama lupa irama musik.”
“Musik itu indah, Mah.” Mata palung berbinar.
“Maka syukurilah hidup bahwa kamu masih bisa mendengarnya. Dan belajarlah dari hidup, banyak yang tak beruntung. Tak ada yang sempurna.” Mamah mengusap kepala anak lelaki semata wayangnya sepenuh sayang.
“Jadi Palung tak boleh takabur?” Palung merasa sedih, mengapa anak-anak itu nakal mengejeknya, apakah tidak dididik dengan baik oleh orangtuanya?
“Anakku sayang, cerita tentang pajak radio itu merupakan gambaran diri Mamah. Ketika melihat Nenek senang dengan radionya, haruskah Mamah merusak kebahagiaan dengan kecemasan karena pengaruh orang lain. Untuk apa kita berbohong? Menyembunyikan apa yang kita miliki agar bisa mangkir dari kewajiban, akankah membuat kita tenang? Salah-salah kalau itu terjadi, mungkin nenekmu akan seperti mama Wiwi, was-was setiap menyalakan radio saat terang karena takut didatangi petugas pajak.” Mamah tertawa. Palung nyengir. Sekarang memang bukan zamannya lagi bayar pajak radio. Dipandanginya radio transistor hitam kecil, hadiah dari Eyang Yanie teman baik Mamah.
Dunia bagi Palung indah dan baik-baik saja. Ada musik yang menghiburnya. Kata Mamah sejak Palung masih dalam kandungan, Mamah suka memperdengarkan musik klasik sampai senandung ayat Quran sambil bekerja di netbook hadiah Pak Dana dari Bandung.
Dipejamkannya mata, Palung mencoba tidur siang ditemani radio kesayangan. “Ambilkan Bulan” ciptaan Pak A.T. Mahmud yang disenandungkan Five Minutes mengalun lembut.***
Loji, 23 Juni 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D