“Pada lelaki yang
murung
bagaimana puisi
berjatuhan
dari kelopak
matanya yang hujan
ketika awan di
langit menghilang.”
Kubaca musim, kau
berlagu tentang mendung
dengan riang. Dan
cinta gugur seumpama daun
ranggas dimakan
waktu, sedang kayu lapuk di hatiku
dipenuhi cendawan
yang Neruda tebar.
Hidupku
menggantung di awang-awang.
Sejauh cita-cita
tak tergapai, impian tak kesampaian,
atau kehendak yang
enggan terpuaskan.
Kau masih menerka
bagaimana cuaca hari ini,
atau curah hujan
berapa kubik dari ketinggian
berapa depa langit
terbuka; sembari membayangkan
Efrosina
melayang-layang diiringi orkestrasi Chopin
dalam derai angin.
Ah,
hidup yang sulit, teka-teki pelik;
segalanya
mengabur.
Dan aku mengantuk
di sudut, mencoba memasuki
zona mimpi tentang
persetubuhan
dengan seorang
lelaki, yang entah siapa ia
namun tiba-tiba
mengajak bercinta, menyelimuti
tubuh telanjang
kami dengan keringat hasrat
bergelombang. Saat
itu kulihat
diriku tak lagi
berkerudung, tak kenal hijab,
dengan rambut
tergerai ke bahu dan wajah disepuh lampu.
Aku tidak liar,
tetapi libidoku yang menggelepar
enggan ingkar,
dalam dingin seperempat abad
lebih dinding rahimku
luruh tiap bulan
tanpa dibuahi
sperma seorang lelaki.
Dan percayakah
kau, dalam soggy dream,
aku bercinta
dengan lelaki yang tak pernah kukenal
sepanjang sejarah
hidupku yang perawan.
Sementara buku agama
akan berfatwa,
itu setan yang
menyaru dalam wujud lelaki jantan
dengan rambut dan
janggut awut-awutan,
seperti dalam klip
iklan;
kala ibadahku
berantakan, hidupku stagnan,
karena futur iman.
Dan kau tahu
sekarang.
Aku berubah jadi
perempuan matang,
yang tergila-gila
pada senyum lelaki mana saja
sampai lupa
menebar senyum, hanya karena telah lama
kehilangan senyum
seorang lelaki tertentu
yang tidak untuk
memikatku;
sedang lelaki itu
telah lama sekali
tak terlihat lagi.
Meski barangkali
diam-diam ia menyaksikan
sepak terjangku di
kejauhan, dengan mata menyipit
atau kening bekernyit;
dan dagu kehijauan bekas ritual,
yang ingin kupersaksikan!
Jangan katakan aku
perempuan jalang.
Aku bosan beronani
dengan mimpi,
atau menyaksikan onani
orang lain
tentang konsep
cintanya yang eksistensialis.
Kusadari kini, aku
tak yakin untuk menghidupkan
seorang Simone de
Beauvoir silam dalam jiwa
masa depan, demi
mencari cinta Sartre sejati.
Ia telah lama
kukubur jauh di antara bintang-bintang
Utara dan Selatan.
Lantas aku menerka
di mana persisnya
Bintang Soraya
yang kau puja,
agar aku pun larut dalam pesonanya;
kala cahaya fajar
menyibak langit Tenggara.
Sebab mata
telanjangku letih menyaksikan
parade manusia yang
mengiklankan benda-benda,
sampai kehilangan
rupa mereka.
Kau tahu kini, aku
takut kehilangan rupaku,
sebagaimana telah
lama aku kehilangan rupanya.
Apakah kau takut
kehilangan rupamu?
Gudang, 23 Mei 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D