Dari Reruntuk Kenangan 17 Tahun
(Semacam Autobiografi)
Oleh Rohyati Sofjan
SESEORANG meminta
aku memberi kontribusi akan makna 17 tahun dalam bentuk cerpen atau catatan harian.
Aku
bimbang, tulisan macam apa yang bisa kusumbang? Belum lagi keadaan finansial
yang sangat terbatas ditambah batas waktu yang singkat. Kesempatan itu terpaksa
kulewatkan dengan sekian sesal dan maaf.
Uangku
tak cukup untuk lebih sering ke rental dan warnet, belum lagi ada banyak hal
yang harus kuprioritaskan. Maka, proyek tersebut tak bisa kuikuti. Aku tak bisa
bergerak cepat seperti yang kuingin atau diinginkan orang. Fokusku masih dicacah-cacah oleh sekian soal sampai
rasanya aku tak punya ruang untuk diri sendiri. Ruang di mana aku bisa bernapas
lega tanpa memikirkan apakah cukup adil
bagi orang lain yang seolah masuk dan berebut peran begitu saja.
Dan
sekarang, di ruang ini, tempat di mana aku bisa mengambil jeda dari kota[k]
yang menyesakkan, proyek tersebut mengendap dari ruang ingatan, mendesak agar
aku menulis sesuai kata hati bawah sadar yang
sudah lama terlupakan.
Perlukah
kutulis?
Sebegitu
istimewakah arti 17 tahun bagi sekian orang? Lalu bagaimana dengan deret angka
usia lainnya?
Usiaku
29 tahun dan aku tak bisa membual tentang cerita manis bertajuk sweet seventeen sebab sesuatu dari kepalaku lebih teringat slide film Ally McBeal di RCTI. Ally yang panik dalam jelang ulang
tahunnya yang ke 29 sebab belum menikah. Lucu, perempuan dinamis dan mandiri
itu ternyata tak butuh suami selain status mapan sebagai wanita kebanyakan yang
standar: menikah.
Namun
ia tak menikah. Sibuk berkutat dengan status
lajangnya. Menyeleksi sekian cowok
yang dirasa asyik sebagai pacar untuk
tahap serius sampai pada akhirnya harus gagal sesuai skenario penulis
skenario, sutradara, produser, aktor dan aktrisnya, dan entah apa lagi. Itu
yang terakhir kusimak dari episode tahun entah.
Aku
bukan Ally meski sama paniknya dengan
usia yang mengejar dan pergunjingan tentang perkawinan yang samar-samar, atau
rahim yang tak segar, serta kenyataan akan anak-anak yang entah apakah
akan pernah kulahirkan.
Tak
ada cowok yang asyik untuk itu. Lebih
tepatnya yang benar-benar serius sebagai qowwam
seperti dalam ayat 34 surat “Annisa”: Arrijalu
qowwamunna alannisaa. Selain
kegagalanku dalam hal taaruf dengan seseorang yang dimulai pada malam milad ke-29, karena ybs. lebih suka
mengambil jalan bersihdengan mendiamkanku
sampai aku meledak.
Itu
cara sopan dan halus untuk mendepak seorang
perempuan impulsif dan naif macam aku yang belajar percaya akan cinta dan cukup
layak untuk dicintai sekaligus mencintai tanpa keraguan.
Tentunya
saat usiaku 17 tahun, aku tak pernah
berpikir akan alami hal macam ini. Hal dungu yang tak kutahu apakah layak
disesali, sebab keyakinanku akan hidup sebagai semacam pilihan membuatku
belajar untuk tak peduli pada kegagalan ataupun kesialan. Akulah yang menentukan peran akan langkah
mana selanjutnya.
Hal-hal
buruk kadang mengajari lebih daripada
hal baik. Akan kucamkan itu.
Lagi
pula, untuk apa berurusan dengan perempuan rumit dan sulit macam aku jika di
sekitarnya ada banyak perempuan baik dan mudah; sesuai standarnya sampai
standar keluarga dan kawan-kawannya. Standar ideal yang membuatku memutuskan
pulang ke kampung halaman ibuku untuk merenungkan kehidupan dusta macam apa
yang kutelan.
Terlalu
banyak dusta dan aku harus memuntahkannya. Terlalu banyak soal di kota dan aku
tak bebal untuk bertahan dengan kondisi finansial pas-pasan.
Baiklah,
kulupakan saat sekarang. Menengok ke belakang kala napasku masih berusia 17
tahun, sekadar mengingat masih banyak
hal besar yang layak kusyukuri.
***
ENTAH
kapan mitos 17 tahun didengungkan sebagai hal penting dan besar, sebab saat itu
aku sempat termakan propaganda sweet seventeen
dari apa yang kulihat di sekitar, lebih tepatnya informasi salah kaprah dari bacaan, tontonan, sampai
pergaulan.
Apakah
dewasa mesti mutlak ditentukan oleh ukuran usia tertentu? Punya KTP, bisa
mencoblos pemilu, mengendarakan mobil dan motor dengan surat-surat sah dari
kepolisian, boleh pacaran dan menikah, atau apa saja sebenarnya?
Usiaku
17 tahun, dan aku masih berseragam SMP
kelas dua kala rekan sebayaku duduk di bangku SMA entah kelas berapa saja. Tak ada yang istimewa dari hari
milad itu. Tak ada pesta atau apa saja yang layak disebut kebahagiaan sebagai penanda
kedewasaan.
Hariku
berjalan biasa. Aku hanya sempat menyesal tak bisa seperti gadis muda
kebanyakan yang ber-sweet seventeen dengan cara standar.
Hidupku
terasa konstan. Bahkan aku tak punya pacar selain diam-diam naksir seorang
kawan sekelas dari pertama kali kenal -- namun sayangnya bertepuk sebelah
tangan dengan alasan sederhana: aku lebih tua 3 setengah tahun darinya dan telingaku
tak berfungsi sebagaimana mestinya, tak
peduli wajahku (baginya) cukup menarik (itu katanya pada temanku).
Ironisnya,
salah seorang kawan sekelas lain yang usianya 3 tahun di bawahku, Deni Irawan (yang cakep, sopan,
pintar, rajin, dan smart sampai
selalu masuk peringkat 3 besar di kelas kami) ketahuan pernah menulis namaku di
buku hariannya -- yang diserobot baca oleh seorang kawan perempuan kami: ia
diam-diam menyukaiku untuk beberapa alasan.
Itulah masa remaja yang lugu dan ranum.
Apakah
itu buruk atau konyol?
Tiga
tahun sempat vakum sekolah karena suatu soal yang sulit dijelaskan. Setamat SD
biasa, setelah tak diterima di SMP biasa, aku ingin masuk SLB, namun orangtuaku
tak mengizinkan dengan alasan lebih mahal daripada sekolah umum. Atau memang
sebenarnya ada stigma negatif tentang
anak cacat karena mereka malu memiliki anak sepertiku yang lebih sering ditolak masyarakat normal?
Hebat,
bukan? Hidupku nyaris terhenti karena kebebalan orangtuaku dan keluguanku dalam
memandang hal-ihwal kehidupan. Ini sisi
suram hidupku. Layakkah kubagi?
Saat
anak sebayaku bersekolah, aku hanya bisa memandang mereka dengan rasa iri dan
rendah diri. Aku tak punya arah. Hidup
seolah dimiskinkan situasi. Apalagi ayahku baru pensiun sebagai pegawai negeri di Bandung.
Hampir
menyerah, menjalani hari seolah takdirku memang cuma berpendidikan rendah dan
melihat dunia sebatas isi buku, komik, koran, majalah, dan televisi. Tidak
realitas. Namun apa, sih, arti
realitas?
Aku
terlalu muda dan sadar akan penolakan.
Tak ada yang ingin ditolak. Lalu aku belajar menolak diri sendiri begitu beban
itu tak tertanggungkan lagi. Menjadikanku makhluk invalid yang sifat asosialnya suka kumat-kumatan sampai sekarang.
Pada
akhirnya episode penganggur cilik
mesti usai. Annisa, saudara sepupuku di kampung, akan melanjutkan sekolah di
MTs. YPI Ciwangi, Desa kami. Aku merengek
pada orangtuaku agar boleh sekolah lagi. Tentu saja mereka ragu namun toh dicoba juga dengan meminta
pengertian pada pihak sekolah agar aku diizinkan belajar di sana meski aku tuli
dan sempat tiga tahun berhenti.
Aku
diterima, barangkali dengan terpaksa. Tak mengapa, sebab aku senang sekali bisa
belajar lagi seperti anak lainnya meski satu-satunya yang paling tua di kelas
kami; usiaku 15 tahun kala mendaftar. Kelas kecil di sekolah kecil yang baru berdiri
dan menerima murid angkatan tiga.
Setidaknya
itu merupakan awal sebab orang tuaku malah menjual rumah dekat jejeran empang
di kampung kami berikut rumah di Babakan Sari untuk pindah ke daerah dekat
Antapani, dan terpaksa aku ikut mereka setelah kenaikan kelas. Pindah sekolah
dengan kecemasan luar biasa; apakah akan diterima sekolah pilihan tersebut,
belum lagi diterima dalam ruang lingkup pergaulan?
Kuceritakan
bagian tersebut sebagai kelindan, sebab di SMP Muhammadiyah 8, Antapani,
Bandung-lah segala cerita bermula. Mata rantai
bagi rangkaian rantai lain.
Alhamdulillah,
aku diterima di sana. Sekolah kota yang multistarata-sosial. Bisakah kau
bayangkan bagaimana seorang berbeda
berusaha membaur dalam lingkungan normal?
Jangan dikira pendidikan inklusif itu mudah. Hanya kegigihanlah yang membuatku bersikeras
untuk mempertahankan keyakinan di antara cecaran sebagai pelajar
bohong-bohongan.
Seperti
yang dikecam nenek temanku bahwa keberadaanku untuk sekolah di sana sama saja
bohong karena faktor komunikasi. Kurasa nenek temanku benar, sebab keberadaanku
cukup menyusahkan orang lain karena keterbatasanku tak bisa memenuhi standar,
dan aku sering frustrasi karenanya. Betapa buruknya tak bisa memenuhi harapan
orang lain, ataupun harapan diri sendiri
agar bisa menjadi anak biasa sebagaimana yang lainnya tanpa terlalu disoroti.
Untuk
pelajaan yang didiktekan saja, aku terpaksa ”mencontek”
tulisan
kawan sebangku agar bisa mengikuti karena
keterbatasanku dalam hal oral sign atau lip reading alias membaca
gerakan mulut dan bibir.
Aku
mencoba belajar, bergaul, berlaku sebagaimana remaja lainnya. Namun jangan
harap sikapku akan sempurna. Aku benci itu. Aku hanya anak biasa yang kebetulan
kedua telinganya tak berfungsi dan berhak
membuat kesalahan juga.
Apakah
ada bedanya? Hidup diukur dari standar nilai dan fisik dan materi. Dan harus
kujalani itu karena memang demikianlah hidup. Toh, aku terlalu muda untuk paham terlalu banyak hal yang belum
kukenal akan kebenaran dunia luar.
***
JIKA
ada yang bertanya, apa yang patut kusyukuri dari momen 17 tahun hidupku? Inilah
jawabannya.
Saat
usiaku sekira 13-14 tahun, pernah kubaca artikel di koran yang kulupa namanya.
Artikel yang menyeramkan bagi
keterbatasan nalarku: perihal evolusi manusia!
Dari
kera-manusia-lalu berevolusi jadi kera lagi. Artikel dungu yang membuatku
kebingungan dengan proses reproduksi praremaja. Tak ada tempat untuk bertanya.
Tidak juga orangtuaku.
Di
halaman sebelahnya ada kolom tanya-jawab mengenai sistem reproduksi berupa menstruasi. Aku
belum mens. Dadaku rata, cuma ada tahi lalat kecil di bagian kiri atas cikal
bakal payudaraku. Bahkan aku belum tahu benda bernama miniset yang mestinya belajar kupakai. Namun yang kurisaukan dari
dua artikel itu adalah masalah hormonal. Sudah ada bulu halus bermunculan di
sekitar tubuhku. Aku takut tubuhku akan
dipenuhi bulu pula sampai berevolusi jadi kera, haha.
Ketakutan
aneh yang wajar sebab kawan sebayaku selalu bertanya apakah aku sudah mens atau
belum, dan kujawab saja dengan jujur
meski respons mereka akan menyebalkan. Membuatku tambah berbeda dari
gadis muda kebanyakan. Meski kuhibur diriku bahwa aku belum 19 atau 21 tahun,
batas tak wajar untuk tak pernah mens
sama sekali.
Namun
tak urung, seiring waktu, aku sempat cemas juga sebab dampak ketidaknormalan
hormonal berupa tak pernah menstruasi itu berbahaya bagi hidup seorang
perempuan. Berkaitan dengan sistem
reproduksi.
Kubawa
kecemasan itu dari tahun ke tahun. Berusaha
terbiasa dengan keheranan kawan-kawan perempuan yang usil bertanya. Aku
tetap kurus, tinggiku sedang, dadaku
bertambah meski masuk kategori rata karena kecilnya. Aku tak peduli dadaku
meski terkadang iri pada bentuk gadis lain yang lebih indah, namun sekaligus juga
ngeri dengan ukuran besar karena aku tak ingin seksi. Aku sudah cukup repot dikejar-kejar
lelaki iseng lalu mereka mundur begitu
tahu aku tuli. Dan aku tak mau lebih mengundang lagi dengan bentuk tubuh yang
aduhai.
Aku
hanya ingin bisa menstruasi. Lagi pula, aku sudah kurus sejak bayi, konon ibuku
sempat depresi kala 2 bulan mengandungku sebab ayahku diam-diam kawin lagi;
anehnya aku tetap bertahan sebagai janin keras kepala agar bisa hidup sampai sekarang, padahal ibuku sering
keguguran.
Kupikir
selamanya aku akan tetap demikian. Aku sedih sekali. Tiba-tiba menstruasi jadi
hal besar. Aku digunjingkan karena masalah
ketidakseimbangan hormonal. Begitu pun di kelasku yang baru. Usiaku 16
tahun, 2 SMP, dan tak pernah mens!
Itu
hal besar bagi perempuan. Ibuku bahkan tak bisa
kuandalkan. Jadi aku cuma bisa berdoa saja agar peristiwa besar itu
terjadi.
Aku
tak ingat bagaimana persisnya. Namun kejadiannya kala usiaku 17 tahun lebih,
masih 2 SMP, di sekolah. Perutku sempat terasa tak beres, sedikit kram jenis baru. Tahu-tahu rok
panjangku basah di bagian belakang. Aku kebingungan. Rasa syukur campur takjub
yang beraduk-aduk. Aku tak punya
pembalut.
Kejadiannya
di tengah pelajaran terakhir namun darah telah
mengucur deras dan rembesannya menodai rokku. Aku bahagia sekaligus tak
nyaman. Pada akhirnya Tuhan mengabulkan doaku. Namun aku malu karena seorang
kawan perempuan yang mengetahui peristiwa itu malah bertindak konyol di akhir
jam pelajaran sekolah, kala anak-anak yang lain telah pulang kecuali yang
piket.
Ia
memintaku memperlihatkan rembesan darah yang kututupi dengan sweater pinjaman teman, dan sialnya
waktu itu ada guru sejarah kami, Pak Didi Rosadi, yang ikut-ikutan melihat
insiden rokku dengan pandangan heran sekaligus jijik. Terpaksa kukatakan bahwa
itu mens pertamaku (menarche) dan aku
tak punya pembalut. Dari beliau aku mendapat pelajaran reproduksi pertama:
menyarankanku untuk beli Softex,
haha.
Itu
insiden mensku yang paling berkesan. Aku akan
mengingatnya baik-baik meski tak terlalu ingat detailnya. Setidaknya aku
tak perlu cemas lagi, tak perlu melihat ekspresi menyebalkan dari kawan-kawan
perempuanku soal menstruasi. Tak masalah aku terlambat memperolehnya sebagai
hadiah miladku yang ke-17. Aku selalu terlambat dalam banyak hal, namun kurasa
peristiwa itu mendekatkanku pada kuasa-Nya sebagai Sang Maha Iradat.
Aku
masuk SD kala 6 tahun dan saat itu terjadi musibah akan berkurangnya pendengaranku
oleh sebab misterius, namun toh lulus juga kala 12 tahun. Berhenti selama 3
tahun. Masuk MTs. kala 15 tahun, lalu pindah sekolah kala 16 tahun. Mendapat
menstruasi pertama kala 17 tahun. Lulus SMP kala 18 tahun lalu melanjutkan di
SMU Al Fatah, Limbangan, Garut. Lulus SMU kala 21 tahun. Pernah tentamen suicide kala 22 tahun. Memasuki dunia menulis kala 23 tahun. Jatuh
cinta secara platonis untuk kali ke-5 secara naif dan pertama secara dewasa
kala 24 tahun -- yang mengubah arah
hidupku berikut kawan-kawan dekat.
Berkenalan
dengan komunitas Yayasan Jendela Seni Bandung (YJSB) yang dipimpin Kang Erwan
Juhara di acara Pameran Buku Bandung (Gedung Landmark, Braga) Agustus 2001, kala
25 tahun. Mulai bekerja di toko alat listrik dan komponen elektronik kala 26
tahun. Mencoba hijrah dengan kembali berjilbab kala 27 tahun dan menyantap
bacaan Islami macam majalah Annida.
Mengenal lebih banyak kawan erutama di komunitas dan milis Mnemonic kala 28 tahun. Diajak taaruf
dengan seorang lelaki dewasa yang sesama penulis kala malam milad yang ke-29
lewat chat di Yahoo! Messenger (namun
pada akhirnya berantakan dan cuma jalan sebulan).
Dan
kini, usiaku 29 tahun 8 bulan 17 hari. Di sudut kampung yang jauh dari kota
kelahiran. 23.55 WIB. Aku merasa harus menyudahi paparan ini. Paparan bernada membosankan yang
berusaha kuselesaikan sebagai upaya menghargai undangan seorang kawan, meski
sudah sangat terlambat sekali.
Biarlah
kubagi cerita ini sebagai warna 17 tahun. Tak selalu harus berupa sesuatu yang
ceria apalagi semarak, atau cinta merah muda khas remaja.
Hari
ini aku bertambah tua dari waktu ke waktu. Aku tetap kurus dan serupa jerangkong.
Tinggiku 150 cm dan beratku selalu kurang dari 40 kg. Begitu banyak hal yang
harus kukerjakan di antara sekian rencana lain. Aku hanya percaya hidupku untuk
menulis dan menulis untuk hidup.
Tadi
hujan. Ada aroma khas yang kukenal. Udara segar pegunungan. Sungguh aku selalu
merindukan tempat ini kala di Bandung. Rumah panggung kecil dan sederhana
dengan derak lantai papan yang membuatku bahagia kala melangkah di atasnya.
Barangkali
aku butuh lebih banyak unsur kayu bagi hidupku yang cenderung mengalir deras ke
berbagai arah. Aku butuh keseimbangan
spiritual.
Tanah
merah. Rimbun pepohonan. Hijau pegunungan. Endapan kabut. Langit luas
membentang. Miliaran gemintang. Terang bulan. Serangga, burung-burung, sampai
kelelewar yang bebas beterbangan. Sungguh harmoni alam yang membuatku damai dan
menyatu dengan kebesaran Sang Khalik.
Aku
telah melewati usia 17 tahun, entah apakah kelak bisa kubagi kisah ini pada
anak perempuanku. Aku ingin jadi ibu yang baik. Barangkali lebih baik daripada
ibuku yang tak bisa apa-apa untuk mengajari soal sistem reproduksi sampai hal-hal
lainnya.
Ya,
kutunggu itu. Seorang qowwam bagi
hidupku. Seorang lelaki tegas yang bisa menarik lenganku agar berani menghadapi
dunia luar tak sendiri saja. Lelaki yang membentangkan sajadah cinta agar aku
bersedia menjadi makmumnya demi mengarungi lautan makrifat-Nya.
Tentunya
bukan seorang lelaki yang peragu, materialistis, pesimis, atau sarkastis sampai
narsis. Aku hanya tak ingin dizalimi apalagi menzalimi.
Aku
selalu percaya hal-hal baik akan menghampiri pada saat tak terduga karena
cinta-Nya yang besar mengarungi semesta. Meski aku sering gagap dan dungu membaca tanda.***
Cipeujeuh, 18 Juli 2005
# Untuk Eria Widiarti
dari jurnal BEN! Media Luar Biasa
~ Kudedikasikan tulisan ini bagi Rusi
Hartati, Sri “Chie” Mulyati, Pemina ”Lei” Lely,
Eka Retnosari, Siti Mutiaraningsih, Ivy
Erly Desca, Vivyani W.D., Maharani Permatasari, Euis Damarwati, Arnette Harijanto,
berikut kawan-kawan perempuan di Mnemonic. Apa makna menjadi perempuan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D