Rabu, 27 Desember 2017

Aku Telah Membunuh Orang, Hari Itu

Cerpen Rohyati Sofjan


AKU mabuk. Seperti biasa aku memilih mabuk. Seperti malam-malam sepi lain dan hampa dalam hidupku yang kehilangan tuju. Karena kamu, Garth!
Layar LCD TV plasma home theatre menyilaukanku, berita tengah malam basi tentang rekonstruksi penabrakan yang dilakukan Afriyani dan kawan-kawan. Tragedi Tugu Tani, hah! Aku muak dan mual namun tetap memaksakan diri untuk memelototkan mata agar kesadaran masih bisa mencerap apa yang disajikan berita.
Afriyani mabuk karena alkohol dan narkoba. Shabu? Yang jelas itu bukan semacam menu makanan yang kusuka, dan sangat kamu suka, Garth! Itu lebih memabukkan. Kamu dan aku tahu namun tak pernah mencoba shabu. Paling shabu-shabu makanan Jepang itu, di Hanamasa pula. Atau di restoran punya Olga Lidya yang artis terkenal, tempat terakhir yang pernah kita sambangi sebelum kamu meninggalkanku begitu saja. Merana dalam duka dan sepi berlarat-larat sampai sekarang. Aku membencimu karena itu, Garth!
Kulihat Afriyani bersimbah air mata, begitu pula keluarganya. Namun akankah tangis dan sesal mudah dimaafkan? Bagaimana dengan korban dan keluarganya? Sembilan nyawa terenggut seketika dalam satu serudukan. Pasti mengerikan atau menyenangkan? Itu ibarat animasi video game yang sering kaumainkan, Garth! Game bodoh yang membuat anak kecil sampai orang dewasa kecanduan, apa itu namanya? Play Station? Permainan yang kubenci karena aku tak pernah bisa memainkannya dengan benar dan kamu selalu senang sebab pada akhirnya jadi pemenang. Untuk apa aku terus-menerus memuaskan egomu, Garth?
Berita Afriyani digantikan berita lain, tentang korupsi, suap Deputi Gubernur BI. Kulihat seorang lady dalam balutan busana elegan jadi tersangka. Seleranya bagus sekali, seperti seleraku juga. Aku suka Prada untuk baju pesta. Donna Karan untuk busana kerja.
Shophaholic adalah ideologiku, ideologi yang kamu cela karena katamu terlalu kapitalisme. Hah, apa itu kapitalisme, Garth? Kita bagian dari masyarakat kapital. Aku masih muda, cantik dan sukses sebagai pebisnis. Apa salahnya menikmati hidup? Bukankah kita selalu bersenang-senang dengan perkerjaan? Aku menemukan gairah besar sebagai analis keuangan, dan kamu wakil CEO perusahaan besar, rekanan bisnis perusahaan tempatku bekerja.
Jangan munafik, kamu mau tak mau sejak jadi wakil CEO terpaksa berpenampilan layaknya lelaki metroseksual, dan seleraku tak memalukan untuk memilihkan apa yang terbaik untukmu. Aku tak suka kamu terlalu standar, itu tak sesuai untuk asal-usulmu sebagai perantauan, eh, ekspatriat asal pedalaman Australia mana.
Kamu bukan lagi penggembala domba di peternakan maha luas keluargamu. Kamu adalah penggembala bagi perusahaan multinasional. Dari seorang karyawan biasa melejit cemerlang jadi sekarang. Dan kita telah lama berhubungan sebelum kamu menapaki posisi itu. Posisi yang kamu kira karena upayamu sendiri, haha.
Asal tahu saja, sebelumnya aku tidur dengan atasanmu agar kamu beroleh promosi itu. Namun kamu tidak tahu, Garth. Tak ada yang buka mulut karena memang tidak tahu. Setelah kamu beroleh posisi itu, aku bosan jadi simpanan si tua bangka, belum tua benar namun aku muak dengan timbunan lemak di tubuhnya yang menggelambir. Selera bercintaku selalu kandas, berbeda jika denganmu, Garth.
Maka kuracun saja ia dengan sesuatu yang tak terlalu menyakitkan namun sangat mematikan. Orang-orang hanya tahu bosmu terkena serangan jantung. Dan aku melenggang tenang tanpa khawatir ketahuan punya selingkuhan sekaligus jadi selingkuhan.
Aku mencintaimu, Garth. Kutenggak gelas wine yang entah ke berapa. Memandang nanar pada layar plasma. Mencoba mencari adakah sosokmu di sana, meskipun berupa hantu. Tentunya berharap bukan hantu mengerikan. Hantu yang lembut dan tampan kembali untuk memohon maaf dan penyesalan. Namun itu tak terjadi.
Mengapa kamu mencampakkanku seperti ini? Jadi wakil CEO membuatmu lupa diri dan tak tahu balas budi. Aku berteriak memaki tak terima perempuan pilihanmu yang akan kamu nikahi. Padahal kita telah samen leven bertahun-tahun, dan tak kamu nikahi aku dengan alasan belum siap akan ikatan macam demikian. Nyatanya kamu malah lebih memilih perempuan bule pula, yang katamu teman masa kuliah di USYD, untuk jadi pengantinmu.
Kamu pindah ke apartemen lain di Kuningan, meninggalkan Kemang yang nyaman. Dan aku tambah membencimu, Garth. Aku sampai pada tahap kegilaan ingin membunuhmu sebelum kamu melangkah ke ambang pintu dengan koper-kopermu, namun aku terlalu lemah. Dengan apa  aku membunuhmu? Pisau atau racun atau peluru? Lalu bagaimana dengan rencana-rencana kita dulu?
Semuanya omong kosong. Bahkan kamu tak memberiku kesempatan untuk punya anak darimu, kamu menyuruhku di-KB susuk sebab kondom tak nyaman bagimu, spiral mengganggu aktivitas seksual, pil bikin gemuk, dan suntik membuatku alergi.
Aku tak lebih dari boneka poppy hidup yang kamu jadikan zombi. Nelangsa sekali aku, Garth. Perempuan bumiputera yang tergila-gila pada lelaki lain ras agar punya keturunan indo yang sangat rupawan. Untuk apa aku bisa sebodoh itu? Padahal aku berpendidikan tinggi, seorang master lulusan luar negeri. Aku terpuruk dalam derajat rendah melebihi cecurut.
Aku betina yang tergila-gila pada seorang lelaki berjiwa brondong. Usiaku belum kepala tiga namun kamu sudah membuatku merasa tua. Sekaligus pemabuk! Aku sangat butuh lari. Namun pub dan dugem tak memberiku arti selain pertemuan dengan hal-hal yang tak kuinginkan. Kamu tak tergantikan, Garth.
Tidakkah kamu tahu betapa merananya aku mencintai seseorang yang tak pernah sungguh-sungguh mencintaiku? Hidup jadi terasa palsu. Aku palsu karena kamu palsu. Dan pekerjaanku ternyata tak bisa menganalisis jiwamu. Kamu bukan uang, bukan benda, bukan statistik angka-angka. Kamu adalah jiwa yang tak terjangkau sebagai cinta.
Langit Februari menyajikan mendung dan hujan. Terkadang cerah dan panas. Aku merasa dirajam sekaligus terbakar. Jendela besar yang belum kututup dengan tirai memampangkan panorama kegelapan, juga suar lelampuan dari gedung-gedung di kejauhan. Aku limbung.
Aku merasa jiwaku terbang, layar plasma besar berpendar buram ganti menyilaukan, segala yang kulihat hanya bayang-bayang abstrak. Suara-suara serupa dengungan, mungkin tawon atau helikopter? Dan kudengar sesuatu berdenting nyaring menerpa lantai pualam. Aku tak peduli apakah gelas wine yang kupegang jatuh tergelincir.
Kesadaranku tak lagi mengisi rongga kepala atau jiwa. Aku ingin mati seketika. Namun aku tak punya cukup nyali untuk bunuh diri atau menyewa pembunuh bayaran saja. Aku pembunuh cantik sekaligus keji yang ternyata takut mati.    
Apa bedanya aku dengan Afriyani. Ia berkendara saat mabuk. Aku sering berkendara meski mabuk. Ia menabrak pejalan kaki di pagi hari. Dan aku menabrakmu, sengaja menabrakmu setelah menenggak berkaleng-kaleng bir, pada malam hari, di tempat parkir yang temaram kala kamu melenggang hendak mendekati Terrios merah metalikmu.
Aku menabrakmu dengan laju speedometer maksimal, membuatmu terlempar ke udara lalu jatuh menghantam aspal. Darah berceceran. Tak ada CCTV di tempat kejadian. Tak ada saksi mata. Bahkan kamu barangkali tak tahu siapa yang telah menabrakmu. Aku kabur. Melajukan jip ranger sewaaan ke pantai. Hujan deras memudahkan sisa-sisamu terkikis dari badan mobil. Dan di pantai aku menangis sambil meraung, membiarkan sesal dan kesumat baur.
Esoknya kudengar kabar kamu terlambat beroleh pertolongan. Kepalamu remuk, tulangmu hancur. Kalaupun kamu hidup mungkin akan sangat menyedihkan, otakmu tak berfungsi lagi. Dan calon pengantinmu akan sangat merana jika jadi hidup bersamamu, Garth!
Sekarang aku alkoholik yang tak kalah merana, tak bebas dan tak tertangkap, sekaligus merasa pengap. Berbagai macam miras sama sekali tak mampu menyelamatkanku dari lubang hitam kehampaan yang kamu ciptakan, yang aku juga ciptakan!***
Cipeujeuh, 18 Februari 2012

Rohyati Sofjan lahir di Bandung, 3 November 1975. Adalah ibu rumah tangga cum penulis lepas pencinta prosa dan puisi. namun memiliki obsesi aneh tentang bahasa Indonesia dan ingin bisa menulis banyak kolom bahasa. Tinggal di Limbangan, Garut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D