Cerpen Rohyati Sofjan
AKU mabuk. Seperti biasa aku memilih mabuk. Seperti
malam-malam sepi lain dan hampa dalam hidupku yang kehilangan tuju. Karena
kamu, Garth!
Layar LCD TV plasma home theatre menyilaukanku, berita tengah malam
basi tentang rekonstruksi penabrakan yang dilakukan Afriyani dan kawan-kawan.
Tragedi Tugu Tani, hah! Aku muak dan mual namun tetap memaksakan diri
untuk memelototkan mata agar kesadaran masih bisa mencerap apa yang disajikan
berita.
Afriyani mabuk karena alkohol dan narkoba. Shabu? Yang jelas itu bukan
semacam menu makanan yang kusuka, dan sangat kamu suka, Garth! Itu lebih
memabukkan. Kamu dan aku tahu namun tak pernah mencoba shabu. Paling
shabu-shabu makanan Jepang itu, di Hanamasa pula. Atau di restoran punya Olga
Lidya yang artis terkenal, tempat terakhir yang pernah kita sambangi sebelum
kamu meninggalkanku begitu saja. Merana dalam duka dan sepi berlarat-larat
sampai sekarang. Aku membencimu karena itu, Garth!
Kulihat Afriyani bersimbah air mata, begitu pula keluarganya. Namun akankah
tangis dan sesal mudah dimaafkan? Bagaimana dengan korban dan keluarganya?
Sembilan nyawa terenggut seketika dalam satu serudukan. Pasti mengerikan atau
menyenangkan? Itu ibarat animasi video game yang sering
kaumainkan, Garth! Game bodoh yang membuat anak kecil sampai orang
dewasa kecanduan, apa itu namanya? Play Station? Permainan yang kubenci
karena aku tak pernah bisa memainkannya dengan benar dan kamu selalu senang
sebab pada akhirnya jadi pemenang. Untuk apa aku terus-menerus memuaskan egomu,
Garth?
Berita Afriyani digantikan berita lain, tentang korupsi, suap Deputi
Gubernur BI. Kulihat seorang lady dalam balutan busana elegan jadi
tersangka. Seleranya bagus sekali, seperti seleraku juga. Aku suka Prada untuk
baju pesta. Donna Karan untuk busana kerja.
Shophaholic adalah
ideologiku, ideologi yang kamu cela karena katamu terlalu kapitalisme. Hah,
apa itu kapitalisme, Garth? Kita bagian dari masyarakat kapital. Aku masih
muda, cantik dan sukses sebagai pebisnis. Apa salahnya menikmati hidup?
Bukankah kita selalu bersenang-senang dengan perkerjaan? Aku menemukan gairah
besar sebagai analis keuangan, dan kamu wakil CEO perusahaan besar, rekanan bisnis perusahaan tempatku bekerja.
Jangan munafik, kamu mau tak mau sejak jadi wakil CEO terpaksa berpenampilan layaknya lelaki
metroseksual, dan seleraku tak memalukan untuk memilihkan apa yang terbaik
untukmu. Aku tak suka kamu terlalu standar, itu tak sesuai untuk asal-usulmu
sebagai perantauan, eh, ekspatriat
asal pedalaman Australia mana.
Kamu bukan lagi penggembala domba di peternakan maha luas keluargamu. Kamu
adalah penggembala bagi perusahaan multinasional. Dari seorang karyawan biasa
melejit cemerlang jadi sekarang. Dan kita telah lama berhubungan sebelum kamu
menapaki posisi itu. Posisi yang kamu kira karena upayamu sendiri, haha.
Asal tahu saja, sebelumnya aku tidur dengan atasanmu agar kamu
beroleh promosi itu. Namun kamu tidak tahu, Garth. Tak ada yang buka mulut
karena memang tidak tahu. Setelah kamu beroleh posisi itu, aku bosan jadi
simpanan si tua bangka, belum tua benar namun aku muak dengan timbunan lemak di
tubuhnya yang menggelambir. Selera bercintaku selalu kandas, berbeda jika
denganmu, Garth.
Maka kuracun saja ia dengan sesuatu yang tak terlalu menyakitkan namun
sangat mematikan. Orang-orang hanya tahu bosmu terkena serangan jantung. Dan
aku melenggang tenang tanpa khawatir ketahuan punya selingkuhan sekaligus jadi
selingkuhan.
Aku mencintaimu, Garth. Kutenggak gelas wine yang entah ke berapa.
Memandang nanar pada layar plasma. Mencoba mencari adakah sosokmu di sana,
meskipun berupa hantu. Tentunya berharap bukan hantu mengerikan. Hantu yang
lembut dan tampan kembali untuk memohon maaf dan penyesalan. Namun itu tak
terjadi.
Mengapa kamu mencampakkanku seperti ini? Jadi wakil CEO membuatmu lupa diri dan tak tahu balas budi.
Aku berteriak memaki tak terima perempuan pilihanmu yang akan kamu nikahi.
Padahal kita telah samen leven bertahun-tahun, dan tak kamu nikahi aku
dengan alasan belum siap akan ikatan macam demikian. Nyatanya kamu malah lebih
memilih perempuan bule pula, yang katamu teman masa kuliah di USYD, untuk jadi
pengantinmu.
Kamu pindah ke apartemen lain di Kuningan, meninggalkan Kemang yang nyaman.
Dan aku tambah membencimu, Garth. Aku sampai pada tahap kegilaan ingin
membunuhmu sebelum kamu melangkah ke ambang pintu dengan koper-kopermu, namun
aku terlalu lemah. Dengan apa aku
membunuhmu? Pisau atau racun atau peluru? Lalu bagaimana dengan rencana-rencana
kita dulu?
Semuanya omong kosong. Bahkan kamu tak memberiku kesempatan untuk punya
anak darimu, kamu menyuruhku di-KB susuk sebab kondom tak nyaman bagimu, spiral
mengganggu aktivitas seksual, pil bikin gemuk, dan suntik membuatku alergi.
Aku tak lebih dari boneka poppy hidup yang kamu jadikan zombi.
Nelangsa sekali aku, Garth. Perempuan bumiputera yang tergila-gila pada lelaki
lain ras agar punya keturunan indo yang sangat rupawan. Untuk apa aku bisa
sebodoh itu? Padahal aku berpendidikan tinggi, seorang master lulusan luar
negeri. Aku terpuruk dalam derajat rendah melebihi cecurut.
Aku betina yang tergila-gila pada seorang lelaki berjiwa brondong.
Usiaku belum kepala tiga namun kamu sudah membuatku merasa tua. Sekaligus
pemabuk! Aku sangat butuh lari. Namun pub dan dugem tak memberiku arti selain
pertemuan dengan hal-hal yang tak kuinginkan. Kamu tak tergantikan, Garth.
Tidakkah kamu tahu betapa merananya aku mencintai seseorang yang tak pernah
sungguh-sungguh mencintaiku? Hidup jadi terasa palsu. Aku palsu karena kamu
palsu. Dan pekerjaanku ternyata tak bisa menganalisis jiwamu. Kamu bukan uang,
bukan benda, bukan statistik angka-angka. Kamu adalah jiwa yang tak terjangkau
sebagai cinta.
Langit Februari menyajikan mendung dan hujan. Terkadang cerah dan panas.
Aku merasa dirajam sekaligus terbakar. Jendela besar yang belum kututup dengan
tirai memampangkan panorama kegelapan, juga suar lelampuan dari gedung-gedung
di kejauhan. Aku limbung.
Aku merasa jiwaku terbang, layar plasma besar berpendar buram ganti
menyilaukan, segala yang kulihat hanya bayang-bayang abstrak. Suara-suara
serupa dengungan, mungkin tawon atau helikopter? Dan kudengar sesuatu
berdenting nyaring menerpa lantai pualam. Aku tak peduli apakah gelas wine
yang kupegang jatuh tergelincir.
Kesadaranku tak lagi mengisi rongga kepala atau jiwa. Aku ingin mati
seketika. Namun aku tak punya cukup nyali untuk bunuh diri atau menyewa
pembunuh bayaran saja. Aku pembunuh cantik sekaligus keji yang ternyata takut
mati.
Apa bedanya aku dengan Afriyani. Ia berkendara saat mabuk. Aku sering
berkendara meski mabuk. Ia menabrak pejalan kaki di pagi hari. Dan aku
menabrakmu, sengaja menabrakmu setelah menenggak berkaleng-kaleng bir, pada malam hari, di tempat parkir yang temaram kala kamu melenggang
hendak mendekati Terrios merah metalikmu.
Aku menabrakmu dengan laju speedometer maksimal, membuatmu terlempar ke
udara lalu jatuh menghantam aspal. Darah berceceran. Tak ada CCTV di tempat
kejadian. Tak ada saksi mata. Bahkan kamu barangkali tak tahu siapa yang telah
menabrakmu. Aku kabur. Melajukan jip ranger sewaaan ke pantai. Hujan
deras memudahkan sisa-sisamu terkikis dari badan mobil. Dan di pantai aku
menangis sambil meraung, membiarkan sesal dan kesumat baur.
Esoknya kudengar kabar kamu terlambat beroleh pertolongan. Kepalamu remuk,
tulangmu hancur. Kalaupun kamu hidup mungkin akan sangat menyedihkan, otakmu
tak berfungsi lagi. Dan calon pengantinmu akan sangat merana jika jadi hidup
bersamamu, Garth!
Sekarang aku alkoholik yang tak kalah merana, tak bebas dan tak tertangkap,
sekaligus merasa pengap. Berbagai macam miras sama sekali tak mampu
menyelamatkanku dari lubang hitam kehampaan yang kamu ciptakan, yang aku juga
ciptakan!***
Cipeujeuh, 18 Februari 2012
Rohyati Sofjan lahir
di Bandung, 3 November 1975. Adalah ibu rumah tangga cum penulis lepas pencinta
prosa dan puisi. namun memiliki obsesi aneh tentang bahasa Indonesia dan ingin
bisa menulis banyak kolom bahasa. Tinggal di Limbangan, Garut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D