Oleh ROHYATI SOFJAN
Prolog:
JIKA kau bertanya tentang
lelaki-lelakiku, atau lelaki mana yang paling memengaruhiku. Akan kubagi suatu
cerita berikut secuil rahasia yang melingkupi sejarah hidupku. Barangkali kau
akan terpana meski sudah kubagi sebagian kisah itu. Biarlah kubagi lanjutannya
untuk memperkaya pemahaman risalah cintamu. Setidaknya untuk narasi-narasi yang
ingin kau tuturkan pada sekian orang tak berbilang.
Atau setidaknya melegakan sesak dadamu kala yang tersayang terpaksa menjadi
kenangan; tak ada yang buruk dari kenangan. Ia bagian dari perjalanan. Masa
lalu, kini, dan mendatang: sebagai tempat becermin kita!
Ini untuk Risalah Atas Nama Cinta-mu.
Murni tanpa pengaruh novel Ayat-ayat Cinta-nya Habiburrahman El
Shirazy yang telah kau baca; dan sedang kupertimbangkan apakah esok akan beli
itu di Ultimus sehabis gajian, karena kau seolah ikut “merajukku” untuk
memahami bagian suratmu tentang: “Di manakah seorang ‘Aisha’ itu kini berada?”
Maka bersiaplah!
#1
Ini bukan cinta pertama.
Memang seharusnya aku menulis memoar tentang cinta pertama, namun apakah
ada bedanya jika yang kutulis perihal seseorang yang menjadi subjek cinta
platonis jilid V, guru ketiga dalam hidupku (almarhum ayahku adalah guru
pertama), dan barangkali cinta platonis yang bisa dikategorikan pertama secara
dewasa; dari usia dan pencapaian peranku kala jadi musafir dengan sepenuh
kesadaran sekaligus ketidaksadaran.
Semua bermula dari dunia pilihanku (dan pilihanmu) yang mempertemukan
kami, juga pada akhirnya malah mempertemukan kita.
Percayakah kau, jika sensasi yang hanya bisa kunikmati sendiri itu seolah
telah menyatu dalam urat nadiku. Ia bagian dari darahku. Yang memompa
semangatku.
Ah, tentang spirit itu bukankah telah kubagi dalam surat sepanjang
42 halaman yang kukirim dalam paket 1.333 gram, Januari kemarin. Surat yang membuatmu
“garing”. Lalu kau balas dengan paket entah berapa gram sebab lebih berat dan
besar daripada kirimanku, berisi surat 8 halaman print out dan 50
halaman tulisan tangan di blokno te yang utuh (sebagai jawaban atas
protesku kala kita chat di YM! sebab aku suka tulisan tanganmu
yang rapi); kaligrafi; naskah …Hayyah… dan Sepenggal Risalah yang
kau ingin aku edit berikut disketnya; dua buku Adiyatul Ibad (untuk
mengaplikasi imanku yang futur melulu? :p); buku Aku Bertanya, maka
Aku Ada karya Fahruddin Faiz -- kawanmu dari UIN Kalijaga, sebagai balasan
atas buku Risalah Patah Hati kirimanku yang ditulis Faiz juga --,
barangkali untuk memahami mengapa kau selalu memancingku dengan pertanyaan demi
pertanyaan yang membuat kita harus berdebat sekaligus “meledak”; esai “Menjadi
Seorang Laki-laki”-mu; dan puisi “Perahu” karya muassis sekaligus
pembina sanggarmu.
Mungkin kau akan bertanya, haruskah ada lanjutannya lagi? Aku tahu kau
akan selalu demikian. Hidup dengan rentetan pertanyaan yang membutuhkan
pertanyaan pula sebagai jawaban. Untuk hal itu aku coba mengimbangi,
meski kau berulangkali membuatku terpaksa “tulalit”. Seolah menunjukkan memang
demikianlah seharusnya seorang lelaki di mata perempuan. Taklukkan dia dengan
kecerdasan hati dan pikiran. Antara intelejensi, emosi, dan spiritual.
Kau membawaku menjelajahi dimensi tak terbayangkan!
Akan tetapi, bukankah aku hendak bercerita tentang cinta, entah yang ke
berapa jika kau atau siapa saja tak meyakini bahwa itu bukan yang pertama. Lalu
mengapa harus merembet pada kisah kita?
Baiklah, aku putar ulang gramofon kenangan!
#2
Dalam usiaku yang jelang kepala tiga (haruskah aku cemas akan usia, ada
“hantu” berupa kerut, bercak di wajah, selulit, osteoporosis, menopause, bahkan
uban [rambutku belum beruban], juga label perawan tua jika belum juga kutemukan
Qowwam itu), hanya ada lima lelaki yang kuyakini sebagai bagian dari
sejarah cinta platonisku.
Kau lebih tahu yang terakhir. Yang ke lima sekaligus yang pertama secara dewasa.
Kau telah tahu siapa ia dari cerita-ceritaku. Kau juga amati ia bagaimana di
milis kita. Namun yang tak kumengerti, apakah kau paham mengapa harus demikian.
Selain rasa cemburu, akankah seorang perempuan memosisikanmu dalam posisinya.
Perempuan yang memujanya (namun tidak sebagai dewa), mengaguminya,
menjadikannya figur untuk diteladani, sekaligus mengkritisinya.
Apakah itu cinta?
Di sana
ada hasrat. Sebagaimana aku berhasrat sebagai seorang perempuan matang yang
ingin menjelajahi wilayah tubuh lelaki untuk menemukan arti penjelajahan dalam
ikatan “setara” dan “saling”. Namun aku sadar hasratku tidaklah pada tempatnya.
Itu ujian. Kelak ada lelaki lain dalam cinta lain yang mengajariku bahwa hidup
tidak semata untuk hasrat; dan itu dalam ikatan sah secara agama dan normatif:
bukan perzinaan!
Semoga kita (juga ia) dijauhkan dari dosa itu. Amin.
Namun apakah aku berdosa jika sampai sekarang, sejak Februari 2000, masih
mencintainya?
Februari 2000?
Sekarang awal Maret 2005. Berarti lima
tahun.
Aku masih mengeja makna cinta
Malam dan kantuk saling pagut
Adakah kau sampai pada akhir tanya
Sebab hati dan hidupku tak beringsut
Pada ada dan tiada.
Bandung, 01.40 dini hari dalam WIB, 1 Maret 2005
#3
Dibutuhkan keberanian.
Ya, dibutuhan keberanian untuk melanjutkan memoar ini sebab membagi
rahasia bukanlah hal yang mudah meski di antara kita sudah saling terbuka, ada
saja hal lain berupa batas-batas yang tak ingin dibagi demi privasi.
Bagaimana seseorang bisa jatuh cinta? Dari mata turun ke hati, atau malah
dari kata lalu menjiwai? Entahlah. Yang jelas dari sekian subjek cinta
platonisku, ketertarikanku pada mereka selalu bermula pada pandangan pertama.
Seolah ada dorongan tertentu untuk itu. Ada
sesuatu yang entah mengapa seakan mengharuskanku demikian, dan semua bermula
dari senyuman.
Bandung, 01.15 dini hari dalam WIB, 5 Maret 2005
#4
Pertama kali aku mengenal cinta platonis kala usiaku sekira 14 tahun.
Pada seorang lelaki 2 SMA di kampungku. Suatu siang kami berpapasan di gang yang
sempit dekat rumahku, dan ia tersenyum padaku. Duhai sensasinya! Seketika itu
juga aku terpesona padanya. Bagiku ia makhluk paling menarik di antara sekian
lelaki yang berlalu-lalang.
Aku tak perlu bercerita bagaimana lanjutannya, itu tak lebih dari cinta
monyet yang masih sangat naïf. Yang jelas aku selalu ingin berjumpa dan
berpapasan dengannya untuk saling melempar senyum meski cuma bisa ngomong,
“Hai!” atau “Punten,” atau “Bade ka mana?”
Lalu seiring waktu dan tempat, sosoknya tergantikan sosok-sosok lain. Aku
tak terpesona lagi padanya, bukan karena ia berlaku buruk padaku melainkan fase
pendewasaan ketika belajar mengeja makna dunia.
Sepuluh tahun kemudian setelah empat nama sempat ikut andil mewarnai
hariku, tiga tahun kemudian setelah aku lulus SMU dan mengakhiri rasa
terpesonaku pada subjek cinta platonis jilid IV yang kawan sekolah karena tak
bertemu lagi; nasib mempertemukan kami agar ia menjadi bagian dari sejarahku --
juga sejarahmu.
Suatu sore di pertengahan Februari, kala aku sedang menunggu di suatu
ruang, sekonyong-konyong ia masuk untuk mengambil buku, entah tafsir Quran
atau Hadis
Sosoknya yang tinggi dan atletis dengan rambut gondrong seperti Lilo KLA
menghenyakkanku. Bayang-bayang seorang psikopat, guru keduaku menyeruak. Kucoba
meyakinkan diri bahwa paranoidku tak beralasan, aku coba mengamati warna mata
dan wajahnya dari jarak beberapa langkah tempat dudukku.
Dan kau tahu reaksinya? Hanya senyum kecil yang tersungging di bibir.
Pemakluman atas ulahku. Senyum itu. Betapa tenteram aku. Pertama karena ia
bukan psikopatku, kedua karena tidak ditujukan untuk memikat sesiapa, dan
ketiga karena aku tergetar oleh senyumnya. Ada sesuatu yang menggerakkanku untuk “jatuh
cinta” pada pandangan pertama.
Apa karena ia tampan? Tentu saja di mataku. Entah di matamu karena kau
telah lihat sosoknya dalam CD naskah buku Forum Bahasa Media Massa. Namun
percayalah, ada banyak wajah-wajah berkibasan di sekitar. Lalu mengapa aku bisa
terpesona padanya? Ada
banyak alasan tak terumuskan. Ini bukan masalah kimia atau fisika. Ini masalah
doaku pada-Nya, agar aku jatuh cinta pada orang yang tepat. Dan ia bagian dari
takdir yang kutemui dengan jalan bergerak, sebab bagiku hidup adalah gerak.
Mungkin kau bingung dengan keyakinanku. Namun bukankah, seperti tulisanmu
dalam surat
tentang topik cemburu, keyakinan pun memiliki alasan. Dan inilah alasanku:
sesuatu yang tak terpahamkan!
Karena ialah, aku jadi bersemangat
dalam duniaku namun waktu itu aku belum tahu siapa ia apalagi namanya.
Lalu aku sampai pada babak lain: mengenalnya lebih dekat
Suatu malam aku harus ke tempatnya untuk menyerahkan naskahku. Dan aku
ingin bertemu dengan penanggung jawab rubriknya. Aku diminta ke atas karena ia
ada di lantai dua. Kunaiki saja tangganya dan sempat kulihat sosoknya sedang
duduk di depan komputer bersama seorang rekan. Masih saja tampan meski terlihat
kelelahan, dan rambutnya kini diikat ke belakang. Kami saling berpandangan.
Tentu saja aku gugup sekaligus riang meski berusaha tak menunjukkan.
Kala
aku ditanya seorang bapak akan keperluanku, kukatakan saja niatku. Dan kau tahu
apa yang terjadi? Sosok gondrong itu tiba-tiba bangkit dari kursinya dan
berjalan menghampiri. Aku pucat. Lampu neon yang semula berpendar terang terasa
buram ganti menyilaukan.
Dan dengan gemetar kutanyakan padanya apakah benar ia adalah…. Suaraku
tidak jelas waktu itu. Ia mencondongkan kepalanya untuk memahami ucapanku. Aku
tambah gemetar dan terpaksa mengulang dengan lebih gemetar. Sungguh aku ingin
segera menghilang dari ruangan itu. Menjelma kelereng dan jatuh menggelinding
menuruni anak tangga di belakangku, lalu terus, terus ke jalan raya.
Akan tetapi, aku harus menghadapinya tak peduli gugupku kian menjadi-jadi
dan terpaksa ia berulangkali mencondongkan kepalanya dekat wajahku. Entah
berapa sentimeter dekatnya, setidaknya lidahku tak tergigit oleh gemetar
bibirku. Aku tak pernah berpikir akan demikian. Tuhan sungguh Sangat
Nakal!
Lalu akhirnya adegan itu harus usai. Waktu serasa melambat berabad-abad.
Dan di luar, kala menyeberangi jalan di suatu perempatan, aku ingin menari-nari
jika hilang kendali. Malam itu luar biasa, aku harus bertemu dan tahu siapa ia
dengan cara tak terduga!
Kemudian, kupikir aku tak punya keberanian untuk bertemu lagi dengannya.
Namun tangan nasib menarikku pada pertemuan demi pertemuan lain, untuk
berbincang dengannya meski di dua kesempatan. Dan saat itu gugupku sudah
hilang. Ia mampu membuatku santai, nyaman, sekaligus aman. Itu terjadi pada
pertengahan 2000 lalu.
Lalu kami tak pernah bertemu lagi. Meski pernah kukirimi ia surel (surat elektronik), tetapi
karena suatu hal aku tak sengaja memblokir alamatnya sehingga tak pernah
menerima balasannya. Kupikir ia tak ingin berinteraksi lagi, jadi kusudahi
saja. Namun milad Lukman A Sya yang ke-27 pada 1 November 2003 mengubah
segalanya. Aku sengaja menulis surel ucapan selamat dari Plasa dengan Cc beberapa
kawan, berikut Bcc untuk alamatnya. Iseng saja. Tak ada tanggapan. Namun
tanggapan lain untuk surel lain tiba-tiba menghuni inbox-ku di Yahoo!-ku
yang lain. Tentu saja aku terkejut sekaligus bahagia bukan main.
Namun kau tahu ‘kan, seperti kataku, bahwa interaksi kami
dalam batasan-batasan formal. Ada
jarak yang kami jaga. Berbeda dengan kita yang bisa saling maki dengan kosakata
kasar yang kubisa, jika kesal atau bercanda, “Sialan!”
Di sanalah aku belajar menempatkan diri secara dewasa. Pelan namun pasti,
aku telah ber-evolusi. Evolusi yang revolusioner dalam sejarah hidupku. Kuharap
aku tak salah menjadikannya guru sebab ia mengajariku banyak hal yang tak
kuketahui, dan aku tinggal mencari jalanku sebagai seorang murid.
Seperti kataku, aku mencintai sesuatu dengan caraku yang dungu, ganjil,
atau apa saja yang menggenapkan luka mewujud bahagia.
Tahukah kau apa yang paling kutakutkan dalam episode ini: jadi murid yang
gagal. Namun aku tak tahu apakah ia punya kekhwatiran sebagai seorang “guru”:
diabaikan! Dan aku tak ingin gagal apalagi mengabaikan. Meski hidup penuh
dengan sekian kegagalan dan pengabaian.
#5
Satu hal yang kusuka darinya: di mana keyakinan nyaman bersandar. Betapa
sulitnya memercayai apalagi dipercayai itu. Ia berbeda dari sekian individu
yang kukenal. Adakah insan yang meluangkan waktu untuk peduli dan berbagi?
Kudapatkan kepercayaaan diriku yang masih berkeping-keping untuk kurangkai
menjadi satu kesatuan untuh bagi pembentukan karakter.
Sungguh aku tak percaya, lelaki yang diam-diam kucintai secara platonis
bisa “menguatkan” dengan caranya, memercayai bahwa aku pasti bisa di balik
keterbatasanku, mengajariku apa yang ia tahu, memberiku nasihat dan jawaban
bagi sekian tanya yang kulontarkan, dan sekian kesempatan lain yang ia bukakan
pintunya setelah aku berjuang tentunya.
Jangan katakan ia lakukan semua itu demi “menghargai” cinta platonisku.
Meski kau bilang, lelaki mana yang tidak tersanjung dicintai seperti itu.
Kurasakan nada kecemburuan yang mencengangkan: apakah kau tak cukup dicintai
atau hanya ingin dicintai orang tertentu saja?
Aku termasuk orang yang paling takut dicintai. Entah sudah berapa cinta
kutampik dengan sikap-sikapku yang sangat menjaga jarak. Beberapa orang
mengatakan aku rumit. Bersikap menyebalkan sebagai semacam proteksi diri dari
kemungkinan disukai dan dicintai.
Kau mungkin akan bilang, “Bagiku kau tak seperti itu!” Namun aku punya
alasan mendasar, salah satunya sifat antisosial: AKU TAKUT HIDUP BERSAMA ORANG
LAIN!
Ketakutan aneh yang berulangkali kucoba lawan. Entah sejak kapan rasa itu
timbul. Barangkali hidup dengan sekian penolakan sejak kanak-kanak terbawa
hingga dewasa. Aku tak cukup percaya diri dan berarti untuk berbagi secara
mendalam. Sisi gelap ini pun kubagi padanya.
Kau tahu apa yang ia lakukan padaku? Ia tak memanipulasi. Kadang aku
merasa ia mencoba bersikap manusiawi untuk memahami polahku, namun kadang juga
aku tak yakin ia merasa tak terganggu. Sudah kukatakan panjang lebar dalam
suratku dulu. Aku merasa lelaki adalah misteri. Misteri yang bisa membuatku
frustrasi.
Ada satu
peristiwa yang membahagiakan dan tak terlupakan, menunggunya di Terminal Leuwipanjang
untuk suatu acara konvensi bahasa. Aku datang lebih awal, duduk manis dengan
perasaan tak karuan. Ini perjalanan pertamaku, ke arah Barat dan dengannya
(meski bertiga dengan seorang asisten editor dari Mizan yang datang
belakangan).
Saat melihat sosoknya muncul di kejauhan dengan mata yang mencari dan gaya berjalannya yang
bagiku terasa lucu; aku melambai selaku seorang perempuan dewasa yang
kekanakan. Riang namun tak menunjukkan. Kami sama-sama sopan dan menjaga jarak.
Tahukah kau mengapa, karena barangkali kini kutemukan jawabannya dalam risalah
cintamu:
“Sudah kukatakan kepadamu untuk jangan percaya dengan
kata-kata yang kuucapkan. Dan kalaupun kemudian engkau ingin percaya,
percayalah kepada cinta. Bukan kepadaku, karena aku pun percaya padanya
melebihi percayaku pada diri sendiri.”
Ia subjekku, aku menghormatinya.
Ia figurku, aku meneladaninya. Ia cintaku, aku kehilangan kata. Bersamanya,
meski tak berduaan dan sekejap saja, membuatku mencoba mencari alasan mengapa
di balik rasa cintaku. Namun tak kunjung kutemukan!
Aku tak paham. Kau tak paham. Ia tak paham. Mereka tak paham. Hanya
Pemilik Cinta-lah yang paling paham.
Bagiku ia hanya “pengantar” menuju pendewasaan peran. Namun dari empat
orang subjekku, hanya ia yang berbuat lebih. Bukan maksudku mengecilkan peran
lelaki-lelaki subjekku yang lain, mereka telah mewarnai hidupku dan membentuk
karakterku, untuk masa lalu dengan sederet kenangan yang tak ingin kurusak.
Keberanianku hanya bercinta secara platonik. Tidak didekati apalagi
mendekati. Toh, aku sudah merasa cukup mendapat spirit dari itu.
Bersemangat di sekolah, lingkungan rumah, sampai di kegiatan ekskul karate.
Sekarang….
Aku hidup di masa sekarang untuk entah sampai kapan. Aku ingin hidup
dengan “jiwa”, bukan zombi. Aku tak merasa harus memuja cinta dengan batas yang
menggelikan. Aku mencintainya hanya untuk platonisasi semata. Kelak platonisasi
itu mendapat bentuk lain. Biarlah ia cukup sebagai subjek, figur, dan cinta.
Sampai kutemukan cinta lain yang menggenapkan ganjil. Seorang Qowwam
tempat aku benar-benar yakin.
Epilog:
“Karena kita adalah apa yang kita
cintai, dan itulah mengapa kita mencintai dan dicintai.”
Maaf kupinjam kalimatmu dalam Risalah #4, halaman 13, untuk Risalah
Atas Nama Cinta MZ Fanan Isag.
Kalimat itu kurasa cukup mewakili untuk mengakhiri paparanku yang
melelahkan. Terus terang masih banyak hal lain yang ingin kuungkapkan, namun
aku takut dengan sesuatu yang terlalu mendetail.
Selamat pagi. Aku harus kembali melakukan ritual harian, pekerjaan
membosankan demi mempertahankan kehidupan. Namun aku harus kuat karenanya,
karena kau, dan karena-Nya.
Aku mencintai kalian!***
Bandung, 07.45 pagi dalam WIB, 6 Maret 2005
Catatan kaki:
- Qowwam: diambil dari kalimat Arrijalun qowwamuna alannisaa, yang berarti lelaki adalah pemimpin bagi perempuan.
- Punten: semacam kata sapaan dalam bahasa Sunda untuk maaf.
- Bade ka mana: mau ke mana?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D