Rabu, 13 Desember 2017

Delapan yang Retak (1)



Serial Rohyati Sofjan


INI kami semua, kolompok orang aneh beragam latar belakang yang doyan ketawa-ketawa, menikmati hidup sebagai sesuatu yang harus disyukuri. Lima lelaki dan tiga perempuan, selalu sekelas berdelapan sejak pertama kali masuk SMP, dan sekarang kami kelas X SMA Negeri di Jalan Belitung. Selalu bersama, kompak dan tak terpisahkan.
Sami adalah pemimpin kami, kulitnya legam, tubuhnya tinggi tegap, rambutnya keriting kecil, khas keturunan Papua. Ia doyan makan kue atau makanan berbahan dasar sagu dan jagung. Ia tetangga sebelah rumahku, kawan main sejak sama-sama masih batita.
Lian agak gendut dan doyan makan, agak gemulai kayak perempuan namun menolak mati-matian dibilang banci, “Gue lelaki normal yang ngerti fesyen!” semburnya pedas kalau diledek. Lian mewarnai kuku jari tangan sampai kakinya dengan henna hitam. Seperti katanya, ia memang selalu tampil paling gaya di antara kami semua. Pelopor mode yang tak bercita-cita jadi desainer fesyen. Lian suka kucing dan dengan kucingnya sering ikut kontes bagus-bagusan skala nasional, beberapa kali jadi juara. Ia bercita-cita jadi dokter hewan.
Uji mengaku seorang skizofrenik sejak kecil, sering melihat dan mendengar sesuatu yang tak nyata bagi kami. Otaknya agak berbeda, namun ia jenius dan tak berbahaya. Musik adalah hidupnya. Sangat jago matematika, penyuka sastra kelas kakap dan jago berdebat. Pernah membuat Pak Sadikin, guru pendidikan kewarganegaraan kami, kalap dan minum aspirin setelah Uji mendebatnya soal konsep persatuan yang abstrak hingga disetrap.
“Masih mending minum aspirin,” kata Uji bengal begitu tahu pusing Pak Sadikin kumat lagi. “Coba kalau endrin, hahahah!”
Keanan paling bengal di antara kami, urakan sekaligus bohemian. Ia jago melukis sekaligus menulis puisi. Namun tak PD untuk PDKT pada cewek yang ditaksirnya. Ia selalu bikin ulah, membuat cewek yang disukainya berteriak marah-marah atau menangis senewen dijahilinya.
Armand yang paling tampan di antara kelompok kami. Ia berdarah blasteran. Wajahnya unik, perpaduan yang pas dari berbagai ras. Tionghoa, Portugis, dan tentu saja Indonesia. Garis rahangnya kokoh, dan matanya cokelat gelap agak sipit. Jika jalan bareng kami, cewek-cewek akan langsung mengerling.
Ia pacarku dan aku tak boleh cemburu. Armand punya profesi baru, jadi model iklan. Profesi yang kubenci karena aku gagal mulu ikut kontes covergirl dan semacamnya. Aku kalah indah dengan Armand! Lucunya Armand merasa terpaksa jadi model karena butuh uang. Kedua orang tuanya telah bercerai meninggalkan Armand seorang diri bak yatim piatu bersama adik sepupu neneknya yang sudah tua.
Zara dan Zani adalah kembar. Dulu mereka kembar siam yang, alhamdulillah, bisa dipisahkan. Dan sebagai kembar mereka berusaha agar tak mirip satu sama lain. Sebab pernah ada suatu kasus cowok yang naksir Zara menyangka Zani adalah Zara dan menembaknya.  Zara feminin, Zani malah berusaha agar terlihat tomboi. Di saat  gadis-gadis lain tergila-gila pada rebonding, Zani malah mengubah rambut lurus alaminya agar keriting. Zara sering tak mengerti mengapa Zani bersikeras berusaha berbeda secara fisikal dengan dirinya, namun Zani tak peduli.
Dan aku sendiri? Seorang perempuan yang bercita-cita jadi supermodel, saingan Lian dalam hal fesyen. Suka main teater. Namun lebih suka jadi sutradara, dan berharap kelak bisa kuliah sinematografi. Mengoleksi ribuan CD dan DVD beragam genre film yang tersimpan di kamar khusus. Dan Armand meledekku bahwa kamar itu bak toko saking lengkapnya.
Sekarang kami berdelapan sedang asyik menyantap gehu hot jeletot. Gehu superpedas yang membuat lidah kepanasan, plus nasi uduk hangat agar kenyang. Menu makan siang kami sepulang sekolah. Kau tahu, demi gehu panas, kami rela berkendara jauh-jauh sampai Jalan Paskal sini. Ngabotram rame-rame alias makan bareng istilah Sundanya.
“Ke mana tanggal 10 besok?” Zara melihat tablet 7 inci yang tak pernah lepas dari tangannya. Kami telah selesai makan. Zara adalah seorang struktulis, alias sangat menyukai segala sesuatu yang terstruktur untuk ditulis, hehe. Segala kegiatan kami akan ia catat ke mana saja, untuk apa, dan kapan. Dan Zara selalu rajin meng-upload foto kegiatan kami di FB.
“Bagaimana jika ke Gunung Salak?” usul Uji sambil merogoh harmonikanya. Keanan tergelak senang.
“Aku tak suka Gunung Salak,” keluh Zara. “Mendaki gunung tak ada waktu bagi kita yang cuma libur sehari karena rapat guru.”
“Bukan mendaki, Honey, cuma jalan-jalan. Di sana ada Curug Cibadak dan Suaka Elang, kau ‘kan suka fotografi?” rayu Uji. Mereka memang berpacaran.
“Semoga saja di sana tak hujan,” harap Lian. “Aku dengar di Bogor ada yang jual combro setan. Yuk, kita jajal.”
“Halah! Makanan saja yang perutmu pikirkan!” Zani ngakak.
“Kapan kita berangkat?” Lian tak menanggapi Zani.
“Segera, sore ini jika semua sepakat.” Sami sang kepala kelompok memutuskan.
“Nginap di mana?” kening Zara mengernyit.
“Di vila kepunyaan Bu Yanie di Loji.” Aku yang menjawab, begitu melihat Sami diam melirikku.
“Loji itu di mana, seh?” Zara bertanya sambil mencatat di tablet.
“Di lereng Gunung Salak. Tenang, All, vila itu kosong, aku dan Sami dah minta izin pada Bu Yanie untuk menempati kapan-kapan jika kita akan bertandang.” Bu Yanie adalah teman baik Mama, beliau kerja di Jakarta. Aku sudah pernah bahas itu pada Sami, Uji dan Armand. Semua mata memandangku dengan senang. Kecuali Armand yang sedari tadi diam saja. Aku memandangnya bingung.
“Cihui!” Zani dan Keanan saling menepuk tangan.
“Oke, kita berkemas. Kumpul sebelum magrib ini di rumahku.” Sami melirik arlojinya. Sudah jam dua. “Bawa bekal makanan dan apa yang kalian butuhkan. Di vila dah lengkap.”
“Gak bawa sleeping bag?” Lian memastikan.
“Bos bilang dah lengkap, Bego! Asal jangan bawa pusimu!” Zani menyembur galak. Ia alergi kucing dan Lian pernah membawa kucingnya kala berlibur di vila Lian di Punclut. Alhasil, Zani bersin-bersin. Zara sih tak masalah dengan kucing.
“Di Gunung Salak pernah ada pesawat yang jatuh, ya?” Keanan mengajak Uji dan Zara ngobrol, mengabaikan kebisingan yang ditimbulkan Lian yang kini mulai mendebat Zani dengan sewot. Sami sedang mengecek mesin.
“Pernah, sih, konon gunung itu juga kuburan bagi pendaki yang tersesat.” Uji berhenti meniup harmonikanya.
“Aku tak mau ke sana!” Zara bergidik ngeri.
“Tenang¸ Honey, tak akan ada pesawat yang jatuh menghantam saat kita di sana.” Uji menatap Zara mesra.
“Bukan soal pesawat, soal kuburan bagi pendaki yang tersesat itu membuatku ngeri!” Bantah Zara.
“Armand, kamu kenapa sih kok diam saja?” kataku akhirnya di antara riuh rendah percakapan dan perdebatan teman-temanku. Sikap Armand tidak seperti biasanya, tadi saja ia seperti enggan ikut kami sepulang sekolah.
Armand tiba-tiba berdiri. Wajah tampannya keruh. “Kalian semua orang aneh!” teriaknya menuding kami semua. Aku tersentak. Semua kepala sontak menoleh ke arah Armand. Debat kusir antara Lian dan Zani pun ter-cut.
“Aku tidak ikut. Kalian pergi saja!” Armand beranjak ke mobil, membuka pintu dan mengambil tasnya. Aku memburunya.
“Armand, kenapa?” Aku menyentuh pundaknya, dan dengan kasar Armand menepis. Aku kaget.
“Apa perlu kujelaskan bahwa aku sudah bosan berada dalam kelompok ini?!” Suara Armand naik beberapa oktaf di depan mukaku. Aku mengerjap. Armand membanting pintu.
“Hei, jangan kasar pada Risa!” Sami menghampiri.
“Oke, Tuan Kepala, aku cabut dari kelompok ini. Kelompok biang ribut yang membosankan!”
Sami naik pitam, semua teman merubung kami dengan bingung. Tidak seperti biasanya sikap Armand menyebalkan. “Kalau kau memang pengen cabut, cabut saja. Tapi jangan ngomong jelek!”
Armand mendengus. Aku pias sekaligus ingin menangis.
“Kenapa cabut?” Uji mencengkeram bahu kanan Armand.
“Aku muak terus menjadi bagian dari sesuatu yang memudar!”
“Jaga mulutmu, Armand!” Sami seperti ingin menghajar Armand kalau tidak segera ditahan Keanan. “Jika kami orang aneh, setidaknya tidak pernah mabuk, ngeseks, dan melakukan hal negatif yang mengecewakan orang tua kami!”
Bibir Armand menyeringai sinis. “Aku sudah boleh pergi?” Lebih seperti pernyataan daripada pertanyaan. Lengannya menepis lengan Uji. Kasar.
“Pergilah!” Usir Sami, kedua tangannya menggebah. “Sana!”
“Sami?!” tegurku. Terlambat Armand pergi dengan tergesa dan tak menoleh lagi.

RASANYA dunia kelam bagiku. Kami semua berkendara ke Bogor dengan muram. Sikap Armand telah melukai kami. Delapan yang kami banggakan jadi retak. Aku duduk di depan dengan Sami yang menyetir Daihatsu Espass metaliknya. Menembus kegelapan malam.
“Kenapa Armand kayak kesurupan?” Omel Lian. “Kuharap bukan karena pengaruh gehu pedas jadi kayak angot.”
“Kesurupan setan hot jeletot, ‘kali!” Keanan ngakak.
“Yuk kita cari combro setan!” Lian merajuk.
Sami hanya mengangguk. “Kita istirahat makan malam dulu.” Begitu keluar dari jalan tol, mobil dibelokkan ke arah pusat kota.

“SAMI, kau punya jawaban?” Vila Bu Yanie dingin sekali. Tadi Kang Jawak, pengurus rumah telah membukakan pintu gerbang. Teman-teman memilih istirahat dengan kegiatan masing-masing. Perjalanan tadi sangat melelahkan. Lian bahkan lelap paling duluan di kamar cowok, disusul Zani di kamar cewek. Di saung depan Keanan asyik menulis, barangkali puisi. Uji dan Zara goleran di bale-bale samping sambil mengobrol, membahas pesawat Sukhoi yang tadi sore jatuh di sekitar Gunung Salak. Aneh banget.
Aku tidak tertarik membahas soal pesawat yang jatuh entah di mana dari bagian gunung di atas kami, memilih mengobrol di beranda depan. Duduk di kursi goyang berdua dengan Sami. Kasus Armand lebih memusingkan. Aku tak bisa tidur. Bagaimana bisa, mata dan kepalaku sakit luar biasa. Armand tidak menjawab telefon atau SMS-ku. BB-nya bahkan tak aktif. Ia seakan raib begitu saja dengan menolak bicara.
“Salahku,” gumam Sami muram. Matanya memandang ke Timur, kabut menghalangi pendar lelampuan di bawahnya.
 “Salahmu?” Aku tidak paham.
“Seandainya kencan ganda dengan Prita tak terjadi, barangkali....” Sami menggantungkan ucapan, kepalanya kini menunduk.
“Barangkali apa?!” Aku tegang menunggu kalimat tambahan.
“Armand tak akan selingkuh dengan Prita.”
“Armand selingkuh?!” Aku kaget. “Bagaimana bisa, Sami? Kamu tak ngawur ‘kan?” kucengkeram kerah jaketnya. Menolak fakta.
“Aku melihatnya sendiri, berulang kali. Maaf baru kukatakan sekarang, Ris, aku takut melukaimu, aku sudah terluka dengan pengkhianatan mereka.” Armand adalah sahabat baik Sami.
Dan aku menangis. Untuk fakta yang menyakitkan, aku telah kehilangan seorang kekasih sekaligus kawan baik dalam kelompok kami. Aku benci menangis, sungguh. Aku bukan perempuan yang suka menangis. Namun malam ini kubiarkan tangisku pecah di pelukan Sami.
“Sudahlah, Ris. Untuk apa menangisi sesuatu yang tak layak lagi dianggap berarti.” Sami mengusap punggungku.
“Ia pacarku. Dan aku mencintainya,” sendatku.

AKU tahu duniaku sekarang berbeda tanpa Armand. Tapi masih ada Sami di sisi yang selalu menguatkan. Dan teman-temanku tak berubah. Menganggap peristiwa ciaonya Armand sebagai breaking news yang basi lagi. Mereka tak mau ambil pusing mengurus atau mengingat sesuatu yang berakhir buruk seperti yang dilakukan Armand kemarin. Apalagi setelah tahu musababnya. Jadi siang ini kami menikmati panorama di Suaka Elang.
“Wow, lihatlah elang itu!” Pekik Uji senang.
“Mana?” Zara merajuk tak sabar. Uji segera memberikan teropongnya dan mengarahkan Zara pada objek nun di atas pohon sana. Mereka tampak berbahagia. Aku merasa iri. Rasa sakit ini tak semudah itu pupus. Sami tahu. Dan ia lebih protektif padaku dengan sikapnya yang entah mengapa terlalu melindungi.
“Kita ke curug?” tanya Lian tidak sabar.
“Tempatnya lumayan angker, jadi jangan macam-macam!” Seruku. Di atas kami helikopter meraung-raung. Mungkin tim SAR. Kami merasa aman.
Curug Cibadak bukanlah objek wisata yang terkenal dan ramai disambangi orang. 1,7 km dari mulut jalan masuk di sebelah gardu pos perkebunan Kapol. Namun tempatnya masih alami.
Dan sepertinya siang ini kian gaduh, selain raungan helikopter, kami melihat beberapa tentara sampai tim SAR bermunculan diiringi pasukan pers dan masyarakat yang ingin tahu. Acara hura-hura kami terhenti. Foto-foto bareng, main air, dan musik harmonika Uji serasa tidak konstan dengan peristiwa yang terjadi. Sepertinya kami “pesta” di tempat dan waktu yang salah. Di tengah musibah.
“Yuk kita ikut meliput,” Uji menarik lengan Zara, “Kita wawancarai mereka.” Huh, mereka wartawan majalah sekolah. Seakan menemukan keasyikan tambahan. Piknik, pacaran, sekaligus peliputan.
“Aku pengen diliput kamera TV!” pekik Lian norak. Ia menyusul Uji dan Zara.
“Narsis!” sembur Zani, namun ia ikut juga ketika Keanan menarik lengannya. Mereka berlima tertawa-tawa. Tinggallah aku sendirian duduk di batu besar, menekuri hidup yang absurd. Kemarin Uji bilang tak akan ada pesawat yang jatuh menghantam kita, nyatanya ada pesawat jatuh sore kemarin itu.
“Aku tak mengerti.” Gumamku cuma ditujukan pada diri sendiri, namun Sami mendengar dan duduk di sebelahku. Merapat dekat.
“Aku juga. Entah mengapa pesawat itu bisa jatuh. Mungkin cuaca buruk di sekitar gunung ketika pesawat lewat atau apa.”
“Ini soal Armand, Sam!” kataku tajam.
Wajah Sami yang riang karena pengaruh suasana kehebohan teman-teman berubah keruh. “Risa, apa belum cukup kau bahas Armand lagi?”
“Mengapa semudah itu lelaki beralih pada lain hati? Kau lelaki, punya jawaban, Sam?”
“Aku tidak tahu. Selain fakta bahwa Prita lebih cantik dan seksi, mungkin Armand bosan pada kita. Atau ia mulai lupa diri sebagai model yang sedang naik daun.” Ucap Sami pahit.
“Atau ia bosan padaku, Sam?”
“Jangan salahkan dirimu.”
Ya, aku menyalahkan diriku. Aku tak secantik dan seseksi Prita yang she’s so damn cute. Prita seperti boneka Barbie. Dan ia lebih layak jadi model daripadaku. Meski ia bukan model. Segala yang ada dalam diri Prita akan membuat banyak lelaki normal mengerling, dan perempuan jadi mupeng pada penampilan fisiknya. Dadaku sesak.
Sami tergila-gila pada Prita, mengajaknya makan dan nonton bareng di Bandung Super Mal berempat dengan aku dan Armand. Kencan ganda itu siapa nyana malah berakhir memilukan. Prita tak jatuh cinta pada Sami, sebaliknya ia dan Armand saling jatuh cinta di belakang punggung kami. Rasanya menyakitkan sekali dikhianati.
“Ikhlaskan mereka, Ris.” Sami mengusap bahuku lembut. Membiarkan aku membisu dengan pikiranku sendiri.
Sungguh aku tak memahami jalan pikiran lelaki, pada yang lebih kinclong bisa lupa diri. Seakan akal dan tubuh mereka dikendalikan hormon. Sesuatu yang sangat menyebalkan! Aku tak menjawab Sami. Aku melihat ke atas, ke arah gunung yang lebih tinggi, mereka-reka di bagian mana Sukhoi jatuh. Barangkali hatiku seperti tebing gunung yang hancur ditabrak pesawat superjet dengan kecepatan supercepat. Vegetasi hutan ikut rusak dan butuh waktu lama agar bisa pulih.
Langit siang cerah. Sami menarik lenganku, mengajak bergabung dengan teman-teman yang melambai dalam keramaian. Dengan langkah gontai aku mengekor. Sungguh aku tidak tahu apa yang harus kulakukan pada Armand jika kami bertemu lagi.
Delapan telah retak!***
Loji, 24 Mei 2012








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D