Oleh Rohyati Sofjan
BERMOTOR alias memiliki atau mengendarai sepeda
motor sepertinya merupakan kebutuhan primer bagi kita. Demi menunjang
kelancaran mobilitas atau sekadar alat pencari nafkah. Kecil sekaligus efisien.
Namun ironisnya bermotor pun rawan alami kecelakaan lalu lintas. Menjadi korban
bagi para predator jalan raya. Celaka badan atau nyawa melayang seakan santapan
lumrah harian yang kerap mengintai.
Cobalah kita tengok sekitar, apakah ada keluarga, kerabat, tetangga,
kenalan dekat atau jauh, atau sekadar orang tak dikenal pernah jadi korban atau
sekadar menyaksikan kejadian? Tabrakan antara motor dengan motor, motor dengan
kendaraan roda empat atau lebih, motor dengan becak atau gerobak yang sedang
didorong pedagang naas yang kebetulan melintas, atau motor menabrak anak kecil.
Begitu kerap.
Abang saya pernah tabrakan dengan motor orang lain, kecelakaan tragis yang
membuat jari kelingking kakinya diamputasi. Anehnya ia tidak kapok punya motor.
Terpaksa demi mobilitas pencari nafkah sebagai pedagang keliling agar anak
istri bisa makan dan sekolah. Meski untuk itu ia memaksa ibu dengan cara tak
terpuji agar ikut membayar kredit motornya.
Anak perempuan teman saya kala pulang sekolah di kawasan Cijolang,
Limbangan, yang kebetulan sedang sepi, diserempet motor lain dari belakangnya
yang menyalip. Motor berikut dirinya sampai jatuh terseret beberapa meter.
Pergelangan kaki kanannya sempat “dimakan” aspal hingga menyisakan luka berupa
kehilangan daging. Notebook-nya ikut rusak di bagian “jeroan”, hingga ia
sempat frustrasi karena semua tugas sekolahnya pada hilang. Ironisnya yang
menabraknya, seorang bapak separuh baya, malah menyalahkan karena dianggap
menghalangi jalan. Padahal sebagai anak sekolah ia mencoba berkendara agar
aman. Dari segi cara, kecepatan maksimal sampai helm standar.
Barangkali adab kian rawan di jalanan. Sebagai pengendara atau sekadar
pejalan. Adab dikalahkan egoisme diri agar cepat sampai, melupakan unsur
selamat bagi diri dan orang lain.
Seperti suatu pagi yang sibuk dan macet, kala dibonceng kawan ke kampus Unpas Bandung untuk ikut mengajar, kami sempat nyaris
bertabrakan dengan sepeda motor lain yang enak saja main salip. Beruntung kawan saya bisa menguasai motornya. Betapa
gegabahnya orang itu. Mengabaikan adab yang nyaris mencelakakan orang lain
bahkan dirinya. Dan enak saja melenggang setelah mendahului kami yang mengalah.
Suatu siang di Jakarta, setelah melewati jalan layang Jagorawi sampai jalur
busway, di jalan satu arah yang luas
dan tak terlalu macet, di dalam mobil sedan Hyundai milik tuan rumah yang nyaman kami menyaksikan -- tak jauh
di depan lampu merah -- dua motor bersenggolan dengan keras. Entah apa
sebabnya. Keduanya jatuh. Masing-masing tertindih motornya, dua orang
anak sekolah berseragam putih-abu, laki-laki dan perempuan. Bisa bangkit meski mungkin alami luka-luka juga.
Beruntung keduanya memakai helm standar.
Kala meneruskan perjalanan ke kawasan Koja, dua orang lelaki membawa motor
yang didorong gerobak, rusak parah. Dan di jalan lain, seorang bapak menuntun
motornya yang ringsek. Hebat! Cuma tiga kecelakaan saya saksikan di Jakarta
dalam satu tarikan perjalanan.
Unsur utama bermotor semestinya memahami etika berkendara, selain kelaikan perawatan
kendaraan dan memerhatikan panduan agar aman. (Juga apakah memang sudah lolos
seleksi kepemilikan STNK berupa pemahaman rambu-rambu berlalu-lintas.) Namun
sulit memang jika masyarakat mulai terkikis adabnya. Jadilah bermotor memangsa
korban atau dimangsa predator lain!***
Cipeujeuh, 28 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D