DATA
BUKU
JUDUL : Kunang-kunang dalam Gelas, Antologi
Puisi Pilihan JPIN 2013
PENULIS : Tri Harun Syafii, dkk
PENERBIT : Pustaka Nusantara
CETAKAN : Pertama, Oktober 2013
TEBAL : 156 Halaman
ISBN : 978-602-7645-14-1
HARGA : Rp35.000
MENERBITKAN buku
kumpulan puisi adalah pekerjaan berisiko, apalagi dari penyair yang tak begitu
dikenal khalayak luas. Namun syukurnya masih ada penerbit yang rela menempuh
risiko demikian demi idealisme. Meskipun hanya penerbit indie.
Pustaka
Nusantara (Oase Qalbu) merupakan penerbit indie yang menaungi komunitas penulis
nasional Jaringan Pena Ilmu Nafia (JPIN). Kunang-kunang
dalam Gelas adalah antologi puisi pilihan edisi perdana tahun 2013, diisi
oleh 20 penyair dengan latar belakang berbeda dari berbagai daerah se-Nusantara
yang bernaung dalam komunitas JPIN.
Dari
total 113 puisi karya Asidia Akasa, Azizah Nur Fitriana, Bondan al Bakasiy, Buk
Nung, Corny Azis, Dwiyanto Susilo, Irma Safitri, Kuntum Khoiru Ummah, Kurniawan
Al Isyhad, Lathifah Edib, Meidi Candra, Mulyoto M., Nadia Aslima, Nasta’in
Ahmad, Nenny Makmun, Novy Noorhayati Syahfida, Titi Haryati Abbas, Tri Harun
Syafii, Wahyu Prihartini, dan Wyaz Ibn Sinentang; ada yang berpijar terang
sinarnya.
Asidia
Akasa barangkali tak begitu terkenal, namun perempuan kelahiran 6 Mei 1995 dan
lulusan SMA 1 Pegandon, Kendal, tahun 2012 itu layak diperhitungkan. Meski
menekuni dunia menulis sejak pertengahan tahun 2012, imajinya dalam memainkan
metafora puisi tidak mentah.
Mengentak
dalam “Otoredoks”: Kau orang yang
membuatku berarti sekaligus tak berarti/ Yang membangun kuil cinta dan
meruntuhkan dengan tanganmu// Yang memberiku mimpi untuk diterbangkan dengan
balon udara/ Tapi, mengkaitkan jangkar di kakiku// Yang menghembuskan semangat/
Bersamaan menjejali jiwa dengan keputusasaan// Jika cinta yang membuat
segalanya indah/ Dan menaikkan bentang tekad berjuang/ Adalah reduktor// Dan
lawan cinta memberikan gemuruh tak berasas/ Agar aku mundur menjadi oksidator//
Kau adalah keduanya/ Yang begitu otoredoks/ Membuatku berharap tanpa bertahan sakti
di harapanku//
Kerumitan
pemikiran Asidia menggambarkan betapa puisi sering takluk dalam himpunan rasa
tak terdefinisikan. Meskipun demikian, ia masih harus belajar mengolah susunan
kalimatnya agar selaras dengan kekinian gramatika. Seperti meluluhkan
‘mengkaitkan’ jadi ‘mengaitkan’, dan ‘menghembuskan’ jadi ‘mengembuskan’.
Novy
Noorhayati Syahfida, termasuk penyair yang produktif. Karyanya bertebaran dalam
banyak antologi puisi bersama sampai tunggal. Ada 10 puisi Novy dalam antologi
ini. Sebagian masih bercerita tentang senja dan samudra. Ditambah langit dan
angin. Seakan empat hal itu merupakan sumber inspirasi terbesarnya untuk
mendedahkan perasaan.
“Kudekap
Angin” begitu melodius sekaligus meruah. kudekap
angin yang menderu-deru di samping tidurmu/ ketika bintang mengukir namanya
pada jam waktu// hujan terbatuk-batuk di luar jendela/ menawarkan gelisah mimpi
pada senja/ dan kau pun terbangun dari tidurmu// kudekap angin yang menderu/
yang suaranya tiba-tiba menyeru kepadaku/ bahwa kau tak lagi di sisiku//
Seperti
biasa, Novy masih lihai mengolah kata untuk menggambarkan perasaannya
bagaimana. Pada dasarnya perasaan yang terdedah memiliki ukuran kedalaman yang
sulit diuraikan oleh rangkaian kata. Hanya penyair yang pantang menyerahlah
mampu menaklukkan kata agar gemanya mengada kala dipuisikan.
Seperti
dalam tulisan saya yang pernah dimuat koran Jawa
Pos, (baca “Puisi yang Dimabuk Senja”, ==Februari 2014, Novy lemah dalam
gramatika. Menulis ‘dimana’ sebagai imbuhan padahal mestinya kata depan yang
dipisahkan jadi ‘di mana’. Dalam puisi “Dimana Kau Berpijak”. Semoga ke
depannya Novy berubah lebih baik dalam gramatika. Memahami EBI (ejaan Bahasa
Indonesia) terkini.
Dalam
puisi pun, tanpa kita sadari malah bisa membuat semacam quote, tanda kutip, atau ungkapan kalimat pilihan yang mengena
dalam kehidupan. Hal itu dilakukan Lathifah Edib. Entah apakah ia merasakan
semacam delirium (ketidaksadaran) kala
menulis, “Suatu hari puisimu pun akan
sembunyi. Lalu hidup kembali./ Binarnya melebihi pelangi. Tahukah kau, apa yang
membuatnya/ begitu berarti meski jasad kita mati?”//
Pada
umumnya penyair memilih daya ungkap yang dirasa tepat untuk mewakili
perasaannya. Pengaruh bacaan yang beragam, terutama puisi karya siapa saja,
akan membawa sapuan warna jiwa pada karyanya. Untuk bermain rima atau metafora.
Meidi
Chandra membiarkan puisinya kaya pengaruh untuk bermain rima. Entah bentuk
syair lama yang akhir suku katanya serupa. …Membunuhku
dalam gigil/ Menyuling lengang jalan-jalan kecil/ Membaca pesan rintik mungil/
Menikmati gemericik di atas hangatnya katil// (“Delia Kasih-Mu Tak Akan
Pernah Purba”).
Rima
(pengulangan bunyi yang berselang, baik di dalam larik sajak maupun pada akhir
larik sajak yang berdekatan), banyak dipilih penyair untuk memperkuat estetika
puisi mereka, agar isi yang disampaikan beroleh bingkai bahasa puitis melodius.
Ada
rima yang mengalun lembut dan lamban atau meruah cepat seperti yang dipilih
Widia Aslima dalam “Bersimpuhlah di Telaga Kasih”. (1) Dekapanmu begitu hangat.
Biaskan cahaya yang menggugah/ semangat di kala jiwaraga ini sudah goyah diamuk
resah. Saat tiada yang bisa mengerti, hanya engkau yang setia di sisi…..
Widia
bermain dengan repetisi yang berganti. Seperti akhiran -at, -ah, -i, dan
sebagainya. Bentuk puisi terkini. Sebuah bentuk hasil adaptasi dari beberapa
pengaruh puisi beragam angkatan.
Titi
Haryati Abbas pandai memilih judul panjang yang puitis, “Akulah Debu yang Ingin
Memeluk Matahari”. Kalimat puisinya yang panjang-pendek seakan mengikuti
suasana hatinya yang meruah, atau stimung
(suasana hati yang menggejela) tanpa jeda.
Sementara gerimis tergesa menuntaskan
tetesan terakhirnya/ Mimpiku meruah di ruas-ruas pekatnya/ Tentang sebongkah
harap yang kusimpan diam-diam/ Melintasi cakrawala, membingkai pelangi//
Beberapa
penyair tampaknya butuh sentuhan editor bahasa agar karya mereka apik dibaca.
Bukan sekadar karya cukup jadi yang seadanya tanpa suntingan jeli. Masih ada
penyair yang typo atau tak paham
kaidah kebahasaan. Kurang penguasaan dasar ejaan bahasa Indonesia. Semoga JPIN
dan Penerbit Pustaka Nusantara bisa membimbing mereka.
Kunang-kunang dalam Gelas
adalah antologi puisi yang mendedahkan sekian “warna jiwa” beragam penyair dari
berbagai daerah di Indonesia. Antologi se-Nusantara. Penuh sesak dengan beragam
gaya ungkap, bahkan bahasa daerah. Mereka bicara mengenai cinta, luka, bahagia,
kritik sosial secara liris metaforis maupun verbal. Dan hal-hal lainnya yang
berkaitan dengan hidup sendiri, ketika pengalaman butuh ruang kontemplasi agar
tak pudar digerus arus waktu hingga lupa.
Mereka
yang mengisi puisi ini mungkin kebanyakan bukan penyair terkenal. Ada yang
pemula, bahkan puisinya terasa mentah karena penyairnya belum lihai mengolah
kata. Namun buku ini merupakan dokumentasi abadi bagi perjalanan berkarya
mereka. Siapa tahu buku ini merupakan awal, agar para penyair yang terlibat
dalam kolaborasi mengantar puisi menjadi pemuisi yang lihai menangkap momen
puitik, agar mengada sebagai puisi sendiri. Puisi yang beresonansi!***
Cipeujeuh, 29 Desember 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D