OLEH Rohyati Sofjan
PADA umumnya kata yang berasal dari bahasa asing beroleh
istilah baru sebagai kata serapan. Kata serapan adalah kata yang diserap dari
bahasa lain. Akan tetapi, tidak serta-merta kita menyerap suatu kata dengan
mengindonesiakannya sesuai pelafalan dalam bahasa kita. Masih ada jalan lain
untuk menerjemahkan suatu kata (benda, sifat, kerja, dan lainnya) ke dalam
padanan bahasa Indonesia yang sesuai.
Jika
KBBI IV saja memiliki lema sebanyak kurang lebih 78.000 buah, baik dalam kata
asli atau serapan, berarti bahasa kita sangat kaya kosakatanya. Dan ketika
suatu kata atau istilah asing sedang populer penggunaannya, berkaitan dengan
situasi yang ada; kata tersebut ramai digunakan, dan ramai pula pelaku kebahasaan
yang peduli berdiskusi demi mencari padanan yang tepat ke dalam bahasa
Indonesia.
Media
massa lebih banyak berperan dalam menyebarkan penggunaan istilah asing. Akan
tetapi, ironisnya, media massa, terutama cetak, pun berupaya menjadi penyebar
informasi bagi masyarakat untuk memadankan istilah tersebut ke dalam bahasa
Indonesia, dan masyarakat awam yang pada mulanya tidak tahu bisa sangat
terbantu.
Ketika suatu istilah asing tengah ramai
diperbincangkan, masyarakat bisa ikut-ikutan memopulerkan istilah tersebut karena
ketidaktahuan padanan. Sayangnya, jika pelopor pemopuleran istilah asing
tersebut (media massa) terlambat mengantisipasi dengan mencari padanan kata, lalu
entah karena koreksi dari pakar bahasa atau kesadaran internal mulai memadankan
istilah tersebut ke dalam bahasa Indonesia, masih ada sebagian orang awam yang
bingung kala disodorkan padanan tersebut karena tidak dijelaskan artinya.
Ambil
contoh, isi berita suatu harian Pikiran Rakyat yang memuat kalimat perundungan seksual pada awal Januari 2016. Kita terbiasa dengan
kalimat dirundung nestapa atau dirundung kemalangan. Dirundung seakan
merupakan hal negatif, tidak baik, sial, dan sejenisnya.
Dan
ketika membaca perundungan seksual
mungkin ada yang bingung mengartikannya sebagai apa. Perundungan sebagai kata
berimbuhan awalan dan akhiran (konfiks), merujuk pada suatu kejadian atau hal
yang dialami dari kata dasar rundung.
Rundung
sendiri memuat dua arti: 1. Ganggu, usik,
usik terus-menerus; untuk pekerjaan atau perbuatan negatif. 2. Tertimpa suatu
kejadian buruk dan biasanya kecelakaan, bencana, kesusahan, dan sebagainya.
Arti
kedua lebih populer penggunaannya daripada arti pertama. Karena itu kalimat perundungan seksual yang bermakna penggangguan atau pengusikan seksual
terasa asing daripada kalimat pelecehan seksual
yang kekerapan pemakaiannya lebih sering.
Beberapa
tahun yang lalu, dalam diskusi di milis guyubbahasa
Forum Bahasa Media Massa (FBMM), Pak T. D. Asmadi pernah membahas soal padanan
kata untuk bully atau bullying. Maka ramailah anggota milis
sumbang saran. Ada yang memadankan dengan menggencet, menggertak dan menindas.
Menggencet
berarti menekan. Menggertak berarti mengancam dengan suara keras. Tindas
bermakna tindih, himpit, tekan pula. Menindas berarti memperlakukan pihak lain
dengan lalim, sewenang-wenang, atau kekerasan.
Memadankan
suatu kata atau istilah asing ke dalam bahasa Indonesia harus mempertimbangkan
rasa bahasa atau nuansa bahasa untuk kalimat yang akan digunakan.
Pada
umumnya pemakaian bully atau bullying digunakan untuk kasus kekerasan
yang dilakukan oleh pihak yang lebih kuat pada yang lemah. Entah senior pada
yunior di sekolah atau kampus. Karena itu, kasus bully dikalangan anak-anak dan remaja lebih rentan, dan kekerapan
pemakaiannya pun lebih sering.
Entah
terpengaruh bahasa dari film tentang kekerasan, maka bully atau bullying pun
dipakai tanpa dicarikan padanannya, padahal KBBI telah memuat beragam padanan
yang ada.
Seperti
contoh hasil diskusi guyubbahasa di
atas, bisa sebagai pilihan padanan bully.
Namun ada nuansa bahasa yang dirasa kurang pas karena bersifat situasional.
Maka, ada media yang beralih memilih padanan macam rundung lalu risak.
Menurut
Tendy K. Somantri, sesama anggota FBMM, rundung atau risak sudah ada dalam KBBI
yang bisa dipadankan dengan bully.
Penggunaannya kembali sudah cukup lama juga, sejak 2014, bahkan mungkin
sebelumnya.
Bagi
yang belum tahu, risak (kata sifat) bermakna mengusik, mengganggu. Sama dengan
makna pertama dari rundung. Di google,
kata kunci risak berada di urutan
pertama untuk nama orang asing seperti Martin Risak. Hanya sedikit link yang memuat perihal risak sebagai
pengganti bully.
Di situs Tribun
Medan, Abul Muammar menulis judul
“Perkenalkan Risak Pengganti Kata Bully”.
Atau dalam situs lain, Ketika Sandiaga
Uno Sudah Mulai Curhat Kena Risak _ layanan_publik _ tempo.co.htm.
Dalam pernyataannya, anggota Komisi X DPR, Venna
Melinda mendukung kebijakan Mendikbud yang melarang kegiatan MOS (Masa
Orientasi Siswa). Menurutnya PLS (Pengenalan Lingkungan Sekolah) harus
bertujuan memberikan kesan baik bukan malah merisak. (Pikiran Rakyat, 15/7/2016)
Entah Venna atau redaktur yang mengambil istilah
merisak, namun itu semacam terobosan baru agar risak bisa populer sebagai
padanan bully.
Sebab,
risak sebagai kata yang "baru" dan dipopulerkan lagi terasa asing dan
kurang populer penggunaannya. Entah penulis atau penutur bahasa ragu bahwa kata
tersebut akan berterima dan mudah dipahami oleh pembaca atau lawan bicaranya.
Maka kata asing pun kerap dipakai dengan beragam alasan, entah agar keren atau
gagah, meski pemakaian bully atau bullying bersifat negatif.
Ambil
contoh kasus tetikus yang kurang laku
sebagai kata serapan dari mouse
karena pengucapannya agak ribet. Beda
dengan unggah (upload) atau unduh (download) yang lebih sering digunakan
karena mudah diucapkan.
Mengungkapkan
sesuatu ke dalam istilah asing tak ada salahnya, namun jika telah ada padanan
dalam bahasa Indonesia, lebih baik kita pergunakan padanan tersebut.
Bagaimanapun,
peran media massa cetak (berikut pemuatan rubrik/kolom bahasa Indonesianya)
sangat besar manfaatnya bagi kita untuk menyebarkan dan menjelaskan suatu kata
atau istilah yang telah lama ada.
Indonesianisasi
adalah suatu sikap agar kita tak minder dengan bahasa sendiri. Kita harus punya
konsep kesadaran pada kapasitas diri yang tak terbatas untuk digali dan
dieksplorasi.
Sudah
saatnya kita punya identitas diri yang tak membeo pada istilah
"asing". Bahasa mencakup nasionalisme pada kebangsaan: BANGSA
INDONESIA!(*)
#Cipeujeuh, 14 Agustus 2016
~Gambar hasil paint
sendiri~
#NasinalaismeBahasa #BahasaIndonesia #PadananKata
Bagus banget tulisannya kak.
BalasHapusSaya baru tau ada bahasa Indonesia risak dan memang penggunaan bahasa asing untuk nunjukin identitas diri keren deh kak. Terlebih kebarat-baratan lagi banyak-banyaknya masuk, terutama untuk anak milenial. Bahkan penggunaan beberapa kata atau kalimat bahasa Indonesia sudah diganti ke bahasa asing biar keren, dan terkesan smart gitu (nah saya pun sok pake bahasa asing, haha)
Bagus nih tulisan, banyakin nulis yang beginian kak. Jadi buka orang yang ngaku cinta Indonesia tapi sukanya pake bahasa asing.
Terima kasih, Teh.
HapusRisak hanyalah satu contoh kata yang yang dianggap asing bagi generasi pengguna bahasa yang lebih suka memakai bahasa asing secara selipan atau keseluruhan dalam percakapan lisan maupun tulisamn.
Secara psikolinguistik pemakai bahasa akan memakai apa yang dirasa nyaman dan mengena sesuai identitas diri mereka. Ada kesan ekslusif namun mereka memang ingin terlihat ekslusif jadinya lebih memilih istilah asing.
Sama seperti fenomena which is yang dilakukan generasi milenial, ada banyak alasan untuk itu. Namun semoga mereka pun menghargai bahasa nasionalnya karena bahasa indonesia menyangkut bahasa persatuan.
Jangan sampai karena ingin identitas diri diakui atau terakui maka lebih condong pakai bahasa asing namun amburadul susunannya atau campur-campur. Bolehlah bercampur namun tetap perhatikan kaidah. :)