Minggu, 23 Maret 2014

Penipuankah? Gak Pernah kirim Aplikasi ke Situs Careers!

Account Operator (IDR 1,100,000 - 1,600,000 per week) + 29 new jobs - Job Alert from JobStreet.com

Ke Saya
Mar21 pada 2:18 AM
Kami menghubungi Anda mengenai aplikasi Anda di situs Careers dan kami
menganggap Anda memenuhi kriteria kami untuk posisi . Payment Manager.
Perusahaan kami, Gran Turismo Club, sedang mencari karyawan paruh waktu.
Para pekerja yang baru kami rekrut memiliki kesempatan untuk mendapatkan
penghasilan dari Rp 1,100,000 hingga Rp1,500,000 per minggu.
Perusahaan kami berhubungan dengan orang-orang dan organisasi di belahan
dunia yang berbeda. Salah satu arah lapangan kerja kami adalah layanan
transfer di seluruh dunia. Ke mana pun orang ingin bepergian di mana pun
mereka berada, perusahaan kami ada di sini untuk membantu mereka dengan
tarif dan layanan konsumen terbaik! Untuk mengoptimalkan manajemen, kami
mempekerjakan orang-orang yang penuh perhatian, kreatif, dan bertanggung
jawab.

Untuk menjadi bagian dari tim besar kami, Anda perlu memiliki motivasi,
ijasah SMA atau universitas, keinginan untuk menghasilkan uang, serta
perhatian terhadap detil dalam proses transfer pelanggan. Anda juga
perlu memiliki keterampilan organisasi kerja dan pemecahan masalah
dasar.

Persyaratan Minimum:
- Berumur 21 atau lebih
- Memiliki KTP atau SIM yang masih berlaku
- Diperbolehkan bekerja di INDONESIA
- Tidak pernah melakukan tindak kriminal
Dengan menjadi bagian dari Gran Turismo Club, Anda akan memiliki
penghasilan tambahan yang baik dan kami juga memiliki sistem bonus yang
menggiurkan.

Jika Anda masih mencari pekerjaan, silakan email saya kembali -
rio.grande@gmx.com

Saya akan mengirimkan detilnya kepada Anda SECEPATNYA.
Kami akan meninjau jawaban Anda hanya dalam bahasa Inggris!
Periksa folder Junk pada email Anda jika email kami terkirim ke sana dan
bukan ke inbox Anda.

Best Regards,
JobStreet.com

PT JobStreet Indonesia, Wisma Bumiputera 5th floor, Jl. Jend. Sudirman,
kav. 75 Jakarta 12910

Privacy Policy - Copyright 2014 JobStreet.com
Klik untuk membalas se

Jumat, 21 Maret 2014

Menulis Biji Buah

Oleh Rohyati Sofjan 


 MUTIARA Aryani, kawan saya di Batusangkar, dengan riang menyatakan keheranannya kala membahas soal resep salad yang dimuat suatu majalah terbitan ibukota.
Satu sisir buah manggis….” Ia tertawa. Bukankah menurutnya yang benar adalah satu atau beberapa juring buah manggis. Barangkali redaktur majalah yang bersangkutan  tidak bisa membedakan bahasa yang tepat atau bingung bagaimana cara menulis biji buah manggis.
Analogi yang tepat, menurutnya adalah “juring”, sama seperti jeruk. Mutiara mengumpamakan jeruk karena susunan buahnya yang melingkar dan tinggal dicopoti dari cangkang atau kulit buah.
Demi ketenteraman bersama, SMS tersebut dengan jenaka saya teruskan pada Pak T.D. Asmadi, kawan saya yang bergiat di FBMM (Forum Bahasa Media Massa). Mengajukan argumen Mutiara dan argumen saya yang sependapat dengannya, sebab merasa “sisir” itu lebih tepat untuk hitungan buah pisang. Saat itu saya sedang berada di dalam elf  ke Bandung jadi tidak mungkin langsung merujuk pada kamus. Pak T.D.A. ternyata sependapat bahwa kata yang tepat untuk buah manggis adalah “juring” bukan “sisir”.

 
Persoalan bagaimana cara menulis “satuan” atau “bijian” petak buah ternyata bukan perkara remeh. Sekali saja media terpeleset dalam ketidaktahuan macam tadi, bisa fatal akibatnya. Pembaca awam bisa ikut salah paham. Padahal maknanya beda jauh dan berlawanan. Alangkah elok kiranya jika redaktur majalah yang bersangkutan memeriksa dulu kata yang meragukan itu ke dalam kamus macam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Satuan sisir biasa dikenakan pada buah pisang. Barangkali karena bentuknya yang mengingatkan pada sisir untuk merapikan rambut. Dalam KBBI edisi ketiga sisir (n: nomina/kata benda), selain sisir beneran, bermakna gugus pisang (bagian dari tandan).
Sedangkan juring (n) searti dengan ulas dan pangsa.
Menyusuri halaman lain dalam KBBI untuk memahami ulas ternyata berarti bagian buah-buahan (jeruk, durian, dsb) yang berbentuk  ruang atau petak-petak (mudah dilepas atau dibuka dari bulatan buahnya). Pun pangsa berarti petak-petak dalam buah-buahan (seperti buah durian).
Tidak bisa dibayangkan lucu dan ironisnya jika petak-petak dalam buah manggis yang manis dan menggiurkan disebut sisir.
Amboi, sertakan cermin!***
#Cipeujeuh, 23 Desember 2013

~Gambar hasil paint sendiri~
#Juring #UlasBahasa     

Kamis, 20 Maret 2014

Dan Alam pun Bertasbih



Jelajah Pustaka

Dan Alam pun Bertasbih

Oleh Rohyati Sofjan

*Penulis Lepas


S
aya iri pada anak zaman sekarang, mereka beroleh akses informasi dengan mudah, bagus pula. Syukur-syukur jika mereka bisa menggunakannya untuk mengoptimalkan potensi diri ke arah yang lebih baik secara positif. Apalagi dunia penerbitan sekarang lebih maju dibanding dengan zaman saya masih bersekolah dulu. Itulah sebabnya mengapa saya iri ketika membaca buku ajar biologi anak tetangga yang pelajar kelas XII Madrasah Aliyah. Judul di atas merupakan judul buku ajarnya, diterbitkan Balai Pustaka (cetakan pertama, Mei 2008), dengan stiker “Milik Departemen Agama RI Tidak Diperjualbelikan”, itu milik sekolah.
Dan Alam pun Bertasbih, begitu puitis. Andai saja semua buku ajar menggunakan metafora sastra baik sebagai judul maupun isi pasti itu akan sangat menggugah minat siswa agar mereka mencintai ilmu dengan kesungguhan hati. Pelajaran biologi bisa disampaikan secara menarik dengan ilustrasi berupa tabel, bagan, grafik, dan beragam foto berwarna yang bisa mempermudah siswa untuk mengenali bentuk sekaligus keagungan ciptaan illahi. Yang lebih penting lagi adalah bahasa! Bagaimana menyampaikan sesuatu yang dianggap berat secara ringan, jelas, bernas, dan meresap. Bahwa tidak zamannya lagi siswa harus hafal tanpa paham substansinya. Mereka bisa belajar dengan rasa cinta pada ilmu. Belajar dengan rasa syukur dan tawadu pada Allah Sang Maha Mencipta, sebab relung kesadaran mereka digugah untuk merenungkan makna kehidupan. Manusia tak lebih dari partikel kecil dari penciptaan jagat raya ini. Ilmu semestinya disampaikan secara bersahabat dengan bahasa yang komunikatif dan mengena. Bahasa kering dan bertele-tele hanya akan membuat anak didik merasa berjarak dengan ilmu sendiri. Ini pengalaman yang pernah saya rasakan selama 12 tahun bersekolah di sekolah umum. Apa yang pernah disampaikan menguap begitu saja. Buku ajar tak lebih dari materi yang membosankan, sekumpulan teks miskin imajinasi. Itulah sebabnya saya iri pada anak zaman sekarang, mereka beroleh kemudahan yang mestinya dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Jika pelajaran sastra dianggap terpinggirkan, tidakkah sastra sendiri bisa diaplikasikan dalam beragam buku ajar? Setidaknya keindahan dan fleksibilitas bahasa Indonesia menyentuh masyarakat banyak, secara dini pula. Dan dengan itu, siapa tahu masalah kekacauan berbahasa bisa diatasi. Tentunya sastra yang tak mengabaikan gramatika.
Dan Alam pun Bertasbih sesungguhnya bisa membantu siapa saja untuk memahami biologi secara keseluruhan, dengan kajian islami. Buku yang terasa istimewa karena terdapat beberapa kolom seperti Tahukah Kamu agar kita bisa tahu berbagai macam keterkaitannya dengan materi yang dibahas; Aplikasi Nyata yang memuat artikel penting tentang materi terkini; Ayat-ayat Qauliyah berisi kutipan arti ayat-ayat Al Qur’an yang berhubungan dengan materi; Mutiara Hikmah; Hadist yang mencantumkan hukum Islam; Tafakur yang memuat kontemplasi mendalam terhadap fenomena alam yang didasari atas keseimbangan daya pikir dan zikir; Tokoh Muslim yang menampilkan sosok-sosok pahlawan muslim biologi yang berjasa; dan Fakta yang Menakjubkan.
Ilmu sesungguhnya sangat bermanfaat jika disampaikan dengan bahasa yang jelas sekaligus mengena, bukan saatnya lagi siswa dicekoki buku ajar yang abai soal itu. Alangkah indahnya jika bahasa Indonesia tidak melulu mencakup sastra semata peruntukannya.
Limbangan, Garut, 17 April 2011

Rabu, 19 Maret 2014

Menanti Suami



Menanti Suami


Saya tak bisa mengenyahkan mimpi buruk itu. Sudah lama sekali. Apakah arti mimpi, semacam ketakutan alam bawah sadar atau firasat yang mungkin terjadi? Namun mimpi yang satu ini memang sialan! Saya takut jadi kenyataan.

M
impi saya: mendatangi rumah suami. Ia sedang di teras bersama seorang perempuan cantik dan sedang hamil juga. Saya tidak kenal siapa ia. Bingung dari mana muasalnya. Ia lebih rapi dan berperhiasan, rambutnya lurus sepundak. Memakai baju hamil yang bagus, perawakannya lebih besar daripada saya, pun gundukan perutnya.
Sedang saya? Ampun, lusuh juga. Pakai kaus hijau belel, rambut tergerai sepunggung dan berantakan. Tak memakai riasan apalagi perhiasan. Saya menarik lengan suami agar menjauh dari perempuan itu. Namun tangan mereka malah saling erat berpegangan. Saya berusaha keras menarik suami sampai mendekati sumur. Dan tak tahu mengapa saya sudah berada di mulut sumur dengan sebelah kaki di dalamnya. Seolah hendak menceburkan diri berikut suami jika bisa. Mimpi itu tak jelas akhirnya, saya sudah terjaga. Sendirian di ranjang. Suami kerja jauh jadi buruh bangunan di Tangerang. Saya kesepian sekaligus ketakutan!
Cemburu? Tentu setiap istri miliki rasa itu. Apalagi jika harus tinggal berjauhan, pasti ada syak wasangka. Apalagi sudah dari sononya saya termasuk cemburuan. Saya mengkhawatirkan suami dan takut kehilangan!
Beginilah nasib istri yang ditinggal jauh suaminya mencari nafkah di luar kota. Sesuatu yang bahkan tak pernah terbayangkan. Menikah saja masih dalam hitungan bulan. Dan saat lajang jika dalam kendaraan melihat sepasang suami-istri, terkadang dengan anak mereka, saling berpamitan; saya hanya melihatnya sebagai adegan wajar. Tak pernah merasa harus sentimental karena bukan pemeran demikian. Namun setelah menikah segalanya berbeda. Saya menjadi bagian dari peristiwa-seorang-istri-ditinggal-suami-untuk-kerja. Belajar memahami lintasan kehidupan. Dan saya mencintai suami meski tidak tahu seberapa besar rasa cintanya pada saya. Saya takut perempuan itu menjadi sosok nyata di kemudian hari. Bahwa saya harus kalah bersaing dalam banyak hal. Kurus mungil dan tak seksi, berpenampilan sembarangan dan tak pandai menggunakan riasan meski punya seperangkat kosmetik dari seserahan. Perempuan itu cantik dan tahu bagaimana merawat penampilan. Bukan berarti saya tak bisa dandan dan mengurus penampilan, namun harus saya akui kurang peduli untuk selalu apik sepanjang hari. Saya ibu rumah tangga yang cukup sibuk dengan dunianya. Dulu suami tak pernah meributkan penampilan, namun sejak pulang ia protes menyuruh saya selalu dandan, barangkali terpengaruh pada selera orang kota, atau hanya ingin bangga bahwa istrinya cantik senantiasa.
Saya merindukan suami.
Ia lelaki yang baik meski sering dicela orang lain. Setidaknya ia cukup  baik pada saya. Saya membutuhkan lelaki macam demikian, yang tidak kasar pada istri dan bertanggung jawab. Jika bercinta, ia selalu tanya apa saya sudah orgasme atau belum. Dulu saya tak tahu apa arti orgasme, tetapi saya menikmati persetubuhan kami karena tidak macam-macam dan cara konvensional. Tak bisa saya bayangkan jika bersuamikan macam Wen Fu tokoh rekaan Amy Tan dalam novel The Kitchen God’s Wife, lelaki kasar bahkan dalam percintaan. Itu mengerikan!
Suami akan berusaha lagi dan lagi sampai saya orgasme. Ia bahkan rela memenuhi keinginan saya jika tak puas dan ingin lagi, bukan karena tak memuaskan melainkan saya menyukai persetubuhan kami. Saya hanya suka jika tubuh kami sudah menyatu, seperti ada ikatan agar tak terpisahkan. Apakah semua perempuan menikah demikian?
Ia lebih suka bercinta dengan lampu menyala, katanya lebih menggairahkan jika sambil melihat wajah saya. Ekspresi aneh yang tak dijumpai dalam rutinitas keseharian selain di atas ranjang. Apakah pasangan yang sedang bercinta selalu jauh lebih rupawan?
Saya tertawa dan menceritakan hal demikian pada seorang kawan yang sudah dianggap abang. Kami selalu blak-blakan jika chatting di YM! sebab entah mengapa merasa nyaman. Ia belum menikah juga meski usianya sudah 35. Namun ia minta saya mendoakan agar bisa menikahi perempuan pilihan yang dikenalnya. Ia begitu bahagia cerita perihalnya, dan kebahagiaannya meresap pula pada saya. Kami bisa bicara berjam-jam perihal apa saja, ia berbeda dan tak membuat saya terhakimi jika bercerita mengenai hal pribadi yang paling memalukan. Padahal kami hanya dipertemukan jaringan Multiply, dan dulu saya sering baca tulisannya karena kagum pada keahliannya dalam membuat desain grafis sampai fotografi. Ia yang mulai meng-add saya, kawan Fakhurradzie Gabe yang jurnalis juga. Padahal Radzie hanya kawan maya saya di milis guyubbahasa. Radzie sudah lama tak berkabar. Mungkin masih sibuk jadi aktivis LSM kemanusiaan. Saya juga sudah lama tak nongkrong di milis guyubbahasa, terlalu sibuk memasarkan tulisan ke berbagai media. Segalanya berbeda, apalagi setelah menikah kini. Lebih fokus pada kehamilan dan suami.
Kembali pada suami, pernah di awal pernikahan kami, saat bangun pagi saya merasa lemas sekali. Ia membangunkan saya sampai menyadari sakit sungguhan untuk pertama kali dalam pernikahan. Ia cemas sekali. Saya berantakan daripada biasanya. Kelelahan dan kurang makan. Juga demam. Jadi, ialah yang mengerjakan aktivitas harian. Sampai membangunkan saya lagi untuk mandi air panas. Ia yang memasaknya. Katanya saya harus makan dan minum obat, jadi diminta mandi dulu agar mendingan. Lalu boleh tidur lagi, ia yang menyelimuti. Namun saya bosan jadi pesakitan, jelang sore kembali beraktivitas mengabaikan sarannya agar beristirahat. Saya tak suka terus-menerus menggigil kedinginan dan butuh gerak. Ia tak bisa melarang. Namun saya menyukai perlakuannya dalam merawat istri.
Kami tak pernah bertengkar hebat, hanya perselisihan kecil yang tak meninggalkan riak. Namun pernah satu kali kami berselisih untuk hal konyol. Saya ingin bercinta sedang ia terlalu lelah dan tak bergairah. Saya marah dan memunggunginya, ia merasa bersalah dan coba mengalah. Berupaya menghidupkan “peralatannya” agar siap tempur dan mencumbu saya. Namun saya terlalu marah dan sok jual mahal. Gantian ia tersinggung dan kembali berpakaian. Saya menyesal dan minta maaf, namun ia malah marah. Jadi begitulah, ketika ia berpakaian, saya kembali mengenakan pakaian yang dilucutinya. Ditambah sarung, dan bersiap pergi ke rumah ibu saya. “Mau ke mana?” tanyanya sambil berbaring.
“Pulang!” jawab saya, kesal karena tak beroleh keinginan apalagi dimaafkan untuk yang tadi.
Ia pikir saya main-main, namun saya benaran keluar kamar dan hendak membuka pintu ruang tamu. Ia menyusul dan mencegah saya. “Sudah tengah malam,” katanya sambil menunjuk jam yang terpajang di dinding gedek. Saya tercengang. Pukul dua belas lebih. Berapa lama tadi kami berselisih? Namun saya terlalu egois dan kecewa padanya jadi tak peduli. Tiba-tiba ia malah bersimpuh memegang kaki saya. Itu peristiwa paling mengagetkan, seumur hidup baru ada yang demikian. Namun saya mendorongnya dan terpaksa berbalik ke kamar. Lalu saya menyesal apalagi ia tidak ikut masuk kamar. Saya membuka tirai dan masih melihatnya bersimpuh cara tadi, ia sedang tercenung dan tampak menyesal.
“Masuklah,” kata saya akhirnya, tak tega juga melihat ekspresi wajahnya.
Ia mendongak tak percaya, dan saya harus minta maaf agar ia kembali masuk kamar. Pada akhirnya kami saling meminta maaf dan memaafkan. Kembali berbaring di kasur dan berpelukan. Tidak ada amarah apalagi kebencian. Dan saya tak memaksanya jika ia enggan bercinta karena stres atau kelelahan. Meski pada akhirnya saat lelah pun ia berusaha agar bisa memenuhi keinginan saya maupun keinginannya. Ia seolah takut peristiwa tersebut berulang. Biasanya jika sedang ingin, ia tanya dulu apa saya rida melayani dan tak memaksa jika ternyata enggan. Kalaupun memaksa, ia tak kasar dan saya selalu luluh untuk melayaninya toh juga menikmati. Saya hanya engan pada bulan ke-5 kehamilan karena khawatir pada bayi. Namun suami selalu melakukannya dengan cara lembut dan pelan-pelan. Rasanya kami tidak bermasalah di atas ranjang. Hanya kadang menjumpai masalah dalam hidup keseharian. Dan seks bagi kami bisa jadi semacam pelipur lara, penghilang kesedihan agar tetap bahagia.
SMS dari Reni kawan saya di Bandung membuat heran. Ia mengutip saran dokternya agar lebih sering bersebadan biar bayi kuat. Anaknya satu, perempuan dan sudah masuk TK. Pasti cantik seperti ibunya. Saya kangen dan ingin menjumpainya, namun tak boleh bepergian terlalu jauh. Suami akan melarang untuk alasan apa pun. Ia mengkhawatirkan saya dan bayi, apalagi saya pernah ambruk dan nyaris pingsan pada kehamilan bulan ke-3 karena kecapaian. Menjadi pemalas dan sangat moody pada bulan ke-4, malah muntah-muntah pada bulan ke-5. Lalu membaik pada bulan ke-6. Lalu masih mual dan kadang muntah pada bulan selanjutnya jika di jamban.
Ada banyak peristiwa. Ia bukan lelaki yang romantis apalagi sok puitis. Namun ia bisa romantis. Pernah suatu malam ia meninggalkan saya tidur sendirian untuk nonton TV di tetangga sebelah. Ia merasa bersalah meski saya tak melarang. Sebab begitu saya terjaga, mendapati lengannya sudah memeluk tubuh dan kepala saya. Ia sendiri sudah terbaring nyenyak. Entah pukul berapa. Namun biasanya ia tak pernah meninggalkan saya lama. Rumah suami dikononkan angker lokasinya. Meski saya tak peduli dan biasa keluar sendiri untuk panggilan alam, suami lebih sering menemani.
Ia menyuruh saya memakai sawen di kutang, katanya untuk jaga-jaga. Entah jaga-jaga dari apa. Saya tak percaya klenik dan enggan harus berjimat. Isi sawen lucu, kantung kain kecil beraroma bawang putih. Namun saya terpaksa mematuhinya, ia hanya ingin mematuhi petuah orang tua tentang kepercayaan karuhun.
Yang lucu adalah pada suatu malam ia mengupas bawang putih dan menggosokkannya di jempol kaki saya. Disuruh neneknya. Penolak setan yang barangkali doyan mengemut jempol perempuan hamil untuk diisap darahnya. Ada-ada saja. Saya jadi berbau bawang putih dan tak menggairahkan untuk bercinta. Lucunya ia tetap mengajak bercinta di antara aroma bawang yang menguar.
Saya menanti suami pulang. Mencoreti angka di kalender setiap hari. Berharap ia baik-baik saja dan dijauhkan dari perbuatan maksiat maupun petaka. Saya mencintainya dengan doa yang melimpah. Ia lelaki bersahaja yang tak keren dari segi penampilan. Celana dalamnya saja sudah belel dan menyedihkan padahal cuma lima. Saya tak ada waktu untuk menjahit ulang dan menyarankan beli lagi karena tak tahu ukurannya. Namun ia mengabaikan. Katanya lebih mementingkan keperluan saya dan bayi.
Sekarang sejak kerja jauh, ia bertambah kurus. Saya sedih melihatnya. Seperti interniran zaman perang. Hampir menyerupai jerangkong terutama di tulang selangkangan. Namun ia hanya bilang, “Semua demi kamu.” Membuat saya termangu.
Ia menjawab kecemasan saya kala melepasnya pergi atau menyambutnya pulang, bahwa saya khawatir sesuatu menimpanya di perjalanan. Ia rela mengorbankan nyawanya demi saya dan bayi. Saya tak tega dan tak ingin jadi janda. Bayi kami membutuhkan figur ayah, bukankah ia sangat ingin jadi ayah. Dan kami mensyukuri kehamilan ini sebab ada banyak pasangan yang sulit beroleh keturunan. Namun kami sadar bahwa itu harus diperjuangkan dan butuh pengorbanan besar.
Bayi selalu bergerak, kata orang pertanda sehat. Saya melihat hidup dan bayi dan suami; sebagai bagian dari lingkaran takdir. Dan saya tak berharap perkawinan kami kandas menuju titik nadir!***
Limbangan, Garut, 5 September 2009
#Telah dimuat di Khazanah "Pikiran Rakyat" tapi lupa tanggal berapa, gak dicatat. :)


Bahasa Alibi



Oleh Rohyati Sofjan

*Pencinta Bahasa


MARILAH menyimak kamus tentang arti “bahasa alibi”. Pisahkan dulu arti katanya satu-satu agar lebih jelas. Ternyata dalam KBBI 3, “bahasa” beroleh penjelasan yang banyak. Secara nomina/kata benda, bahasa berarti suatu lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengindentifikasikan diri.

Alibi berarti bukti bahwa seseorang ada di tempat lain ketika peristiwa pidana terjadi (tidak berada di tempat kejadian).

Dalam kehidupan ini, terlalu banyak bahasa alibi berhamburan dari tutur kata dan tindakan. Masyarakat Sunda terbiasa dengan ungkapan ‘teu apal’ (tidak hafal/paham), sebagai jawaban untuk sesuatu yang tidak dipahaminya benar atau tidak tahu. Namun jika menyimak KBBI, ungkapan itu terasa janggal, bahkan dalam kamus bahasa Sunda juga. Bukankah mestinya tidak tahu atau teu nyaho/teu terang/teu ngartos (Sunda).

Ada banyak bentuk bahasa sebagai alasan atau jalan aman agar terhindar dari kesulitan. Teu apal bisa berarti digunakan dalam makna sebenarnya atau sebagai alibi.

Syahdan, seorang terpidana kasus suap pemilihan deputi Gubernur Bank Indonesia, mengaku lupa akan apa yang dilakukannya. Lupa adalah jawaban aman bagi sang terpidana agar bebas dari jeratan hukum. Seakan amnesia dijadikan landasan untuk berdalih. Apa gunanya mengorek keterangan dari orang yang “lupa”? Di sini bahasa alibi dijadikan perlindungan diri. Lidah boleh mungkir, namun tangan tetap ingat dan kelak akan bersaksi di “pengadilan sebenarnya”, tak peduli seberapa berat sang terpidana amnesia. 

Dalam kehidupan bermasyarakat, bahasa telah dipelintir sedemikian rupa sehingga kehilangan esensinya. Bahasa menjadi alat untuk berbohong, jalan pintas mencapai tujuan, atau sekadar cari aman saja.

Saya seorang tunarungu, merasa steril dari ragam percakapan sehari-hari. Kala pertama kali “mendengar” ucapan teu apal, saya sempat heran. Yang saya tanyakan adalah letak benda ada di mana. Mengapa harus memakai ungkapan seolah seperti mengingat hafalan? Kemudian teu apal juga merujuk pada arah atau tempat, meskipun yang saya tanyakan adakah tanah kebun murah di suatu kampung untuk seorang kawan yang ingin berinvestasi menanam kayu sengon.

Mungkin bagi lidah orang Sunda, ungkapan itu dirasa lebih ringkas dan mengena padahal ada makna bias. Ungkapan duka, teuing, teu terang/teu nyaho seolah kurang pas untuk mengungkapkan makna sebenarnya. Adakah pengaruh bahasa politikus dalam kehidupan sehari-hari, lalu masyarakat menelannya bulat-bulat?

Lalu, sampai sejauh mana hafalan pelanggar aturan norma atau hukum? Mungkin teu apal.***

Limbangan, Garut, 9 Maret 2012