Rabu, 19 Maret 2014

Semangat Menulis



Esai

Semangat Menulis

Oleh Rohyati Sofjan

*Penulis Lepas Cum Ibu Rumah Tangga, Tinggal di Limbangan Garut


S
iapa bilang menulis itu gampang? Bagi yang berkecimpung dalam dunia literatur sebagai profesi, boleh jadi selalu dan selalu alami kekecewaan.  Apalagi jika berkaitan dengan penolakan, sampai yang paling ekstrim tiada kabar.
Kawan saya,  lajang 27 tahun, di Batusangkar yang baru meniti karier sebagai penulis sering merasa patah arang kalau kedua hal itu mendera, belum lagi jika buntu karena writing block. Sudah sering ponsel saya dijadikan dermaga bagi kegundahannya yang selalu berlayar. Saya berusaha menanggapinya dengan hangat agar ia kembali termotivasi dan bersemangat.
Padahal, kerap pula saya alami nasib serupa dengannya, tiga hal yang sangat berpengaruh bagi kinerja saya. Belum lagi kesibukan sebagai ibu RT yang harus mengurus rumah, anak, dan suami. Saya bisa sangat bersemangat menulis dan menulis meski ditolak atau tiada kabar. Atau sebaliknya:  masa bodoh karena capai dengan urusan harian, atau butuh lebih banyak referensi dan menunggu saat yang tepat untuk ke warnet -- download atau copas sebanyak-banyaknya.
Saya menyadari untuk menjadi penulis yang berhasil, atau setidaknya sanggup bertahan di tengah arus deras persaingan, mesti punya perbekalan memadai: selain kecakapan yang berdasar bakat atau minat, itikad dan nekat, semangat dan niat,  jangan bosan atau malas untuk terus meng-update dan upgrade diri. Pun manajemen waktu! 
Menulis berkaitan dengan disiplin jika memang ingin menjadikannya sebagai mata pencaharian. Kawan saya yang lajang itu sebenarnya sangat potensial, namun ia butuh dukungan nonstop agar tetap sabar dan gigih berjuang. Saya menyadari peran lingkungan terdekat sangat menunjang agar pejuang teks tersebut tidak patah arang total dengan menggantungkan “pedang”.
Kemampuan dan kemauan untuk update diri dengan mengikuti perkembangan kekinian, mutlak penting. Kita tentu tidak mau dianggap sudah kedaluwarsa. Pun upgrade, jika tak ingin alami titik stagnan jangan bosan atau malas belajar, menambah kapasitas memori penyimpanan agar jiwa semakin kaya dengan pengalaman. Kelak cadangan itu bisa kita tuangkan sebagai bekal kepenulisan untuk dibagi pada banyak orang,  mudah-mudahan pula bisa menginspirasi dan memotivasi. Berdayagunalah hidup kita yang fana.***
Limbangan, Garut, 19 Oktober 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D