Podium
Bogor, Cuka dan Kuliner
Oleh Rohyati Sofjan
JIKA Bogor terkenal dengan asinannya dan
banyak diminati orang luar, barangkali kita harus melongok sejarah kuliner
Bogor, ada elemen penting yang sudah menjadi bagian keseharian bagi warganya
untuk masuk dalam hidangan: cuka!
Ya,
cuka merupakan bumbu penting sebagaimana kecap bagi almarhum ayah saya yang
menyukai makanan khas Jawa. Di rumah tidak boleh ada masakan yang pangsit atau
terlalu asin. Di sini, selama membaur dalam hitungan 3 bulanan, saya baru
menyadari bahwa cuka harus ada sebagai bumbu dapur. Sebelumnya saya hanya heran
ketika diajak ngarujak bareng tetangga seberang rumah, kok rujak
(atau lalap) daun singkong dan daun pepaya dikasih cuka. Dimakan ramai-amai,
langsung tandas segera. Apa tak salah sebut, itu ngalalap karena bahan
utamanya daun-daunan bukan buah. Komposisi rasa terasi, cabai rawit yang banyak,
gula merah, dan cuka, berikut bumbu lainnya memanaskan lidah.
Ternyata
gado-gado mentah di warung seberang rumah pun memakai cuka. Namun rasanya kok
enak dan pas. Tak kemasaman. Saya pikir selera orang sini pada cuka juga
ditentukan oleh sensitivitas rasa kala menakar dan menuang bahan. Bumbu saus
pedas mamang gorengan yang biasa ngider dari kampung ke kampung pun ada
rasa cukanya. Pas saya tanya, ternyata memang dicampur cuka. Paduan saus
sambal, kacang tanah, cabai rawit, dan cuka, plus bumbu lainnya terasa pas di
lidah. Unik dan berbeda daripada di kampung saya. Saus sambal cuma dicampur
cabai rawit plus garam dan vetsin doang. Biasa saja. Orang kampung saya
tak terlalu doyan pada yang namanya cuka untuk dicemplungkan dalam makanan
mereka. Cuka cuma untuk bakso atau rujak. Di warung sini cuka kemasan botol air
mineral ukuran sedang banyak diperjualbelikan. Di kampung saya cuka cuma
merupakan sesuatu yang ada untuk hal tertentu, dalam kemasan plastik kecil atau
botol khas cuka yang kecil saja. Tak ada kemasan besar macam sini.
Mie
goreng gopean yang terdapat di warung sebelah tonggoh ternyata
saus sambalnya dicampur cuka. Saya pikir telah menemukan makanan nostalgia
seperti di kawasan Kiaracondong, Bandung dulu. Mie gorengnya (mie basah dan
dengan campuran irisan kol) disiram sambal cabai rawit campur kacang tanah yang
sedap hingga membuat mie berasa khas. Di sini ternyata cuka dominan lagi.
Sampai saya bingung dari manakah muasal masakan mie tersebut. Dari warung di
Babakan Sari sampai Warung Jambu tak dicampur cuka dalam sambal pedasnya.
Apakah karena Bogor merupakan kota yang sejuk dan dingin, kerap hujan pula,
jadi warganya menjadikan cuka sebagai penghangat badan selain menambah citarasa
masakan?
Cuka
menurut Wikipedia telah dikenal sejak dahulu kala. Cuka dihasilkan oleh
bakteria penghasil asam asetat, dan asam asetat merupakan hasil samping dari
pembuatan bir dan anggur.
Omong-omong, selain untuk kuliner, cuka
ternyata bisa digunakan untuk bersih-bersih.***
Loji,
14 Juni 2012
Wah... baru tahu nih. TFS, Maaak :)
BalasHapusKangen pada lotek (gado-gado) Bu Haji depan rumah. Mantap rasanya.
BalasHapusDi kampung ini tak ada budaya makan cuka. Itu tulisan lama kala masih di Kecamatan Cigombong, Bogor. Sekarang di kampung nun di lereng gunung, daerah Kecamatan Limbangan, Garut. :)
Makasih sudah mampir.