Sebab Itu Ada di sana
Oleh Rohyati Sofjan
(Foto diambil dari internet)
Meski tinggal di lereng gunung, saya
tak pernah mendaki gunung sebagaimana pencinta mountaineering. Ya, gunung yang ada puncaknya dan merupakan puncak
tertinggi. Bukan saya tak mau atau tak pernah diajak. Saya penggemar tulisan
mengenai petualangan mendaki gunung di majalah Intisari lawas -- yang jumlah tersisanya cuma 98 eksemplar,
mestinya jika tak hilang bisa mencapai 150 eksemplar kurang lebih.
Dari Intisari-lah, saya kenal Norman Edwin, Sang Beruang Gunung,
berikut segala sepak terjangnya yang mengagumkan. Saya sungguh sangat
terinspirasi dan ingin sepertinya, meski yang saya bisa cuma jiwa berani
bertualang saja. Belum ada kesempatan untuk itu, termasuk mendaki Gunung Gede
dan Pangrango yang populer di kalangan pencinta alam di Pulau Jawa. Dulu Chie, adik saya yang penggemar berat daki-mendaki
gunung dan pernah aktif di klub pencinta alam Mahacita UPI, pernah mengajak
saya mendaki gunung, namun dengan berat hati terpaksa saya tunda untuk batas
waktu yang entah sampai kapan dengan alasan tiada libur dari pekerjaan. Namun
saya sungguh sangat ingin tahu bagaimana rasanya mendaki gunung.
Lalu tulisan Denny Prabowo (atau Denny
Baonk yang pernah menanggapi surel saya di milis penulislepas?) di Annida
No. 20/XIV/1-15 Agustus 2005, yang berjudul “Because It’s There”, menggugah kenangan
akan gunung. Sekarang saya tak punya alasan untuk menunda mendaki gunungnya
karena telah keluar dari pekerjaan dan separuh menganggur, namun entah apakah
Chie bisa libur dari pekerjaannya untuk kembali jadi anak gunung. Saya ingin
merasakan kedekatan kami seperti dulu setelah ruang dan waktu menciptakan jarak
demi alasan pengembangan diri dalam karier dan masa depan. Hanya gununglah yang
bisa menyatukan kebersamaan meski entah kapan.
Akan tetapi, saya tak tahu apakah akan
kuat mendaki puncak yang tak terlalu tinggi (yah, sekira 1000 m dpl) bagi
pemula. Paru-paru saya masalahnya. Pernah digeber asap ala the chamber untuk episode
tentamen suicide yang gagal, dulu sekali. Lalu sering terpapar udara malam
harian kala pulang kerja, bagaimanapun cuacanya. Saya hanya tahu harus sadar
kapasitas diri dan tak sok kuat atau sok gengsi yang ujung-ujungnya menyusahkan
orang lain dan diri sendiri.
Bagaimanapun, mendaki gunung adalah
semacam tadabur alam. Dan Denny Prabowo dalam esainya itu (rubrik Male 1269),
mengajarkan bahwa tujuan utama mendaki gunung bukanlah menaklukkan puncak
melainkan menaklukkan diri sendiri.
(Foto diambil dari)
Meskipun demikian, soal George Leigh
Mallory dan Andrew Irvine yang gugur di medan gunung kala hendak mencapai
Puncak Everest yang tingginya 8.848 m dpl pada 8 Juni 1924, merupakan teka-teki
besar yang pernah menjadi sorotan.
Dalam artikel di majalah Intisari edisi September 1999,
disebutkan bahwa mayat Mallory menjadi marmer, membeku oleh proses alam yang
terus-menerus dengan pergelangan kaki patah dan wajah terbenam ke bawah setelah
terjatuh bersama tali pengamannya oleh sebab misterius, pada ketinggian 8.300 m
dpl. Sedang Irvine, rekannya, tak diketemukan dan entah ada di mana.
Kamera Kodak Mallory yang mestinya bisa
menjadi bukti dokumentasi apakah mereka telah mencapai puncak, hilang. Entah
waktu itu dipegang oleh siapa, sebab Irvine suka memotret. Jadi tak diketahui
apakah Mallory (dan barangkali juga Irvine) jatuh kala naik atau turun.
(Foto diambil dari)
(Foto dari)
Lalu timbullah berbagai spekulasi
tentang siapa yang pertama kali menaklukkan Puncak Mount Everest: George Leigh
Mallory dan Andrew Irvine yang lewat jalur Utara, atau Edmund Hillary dan
Tenzing Norgay yang lewat jalur Selatan. Kedua nama terakhir merupakan
orang-orang pertama yang berhasil menjejakkan kaki di sana, beberapa tahun
kemudian setelah ekspedisi Mallory dkk. yang gagal.
Namun bukan berarti Hillary dan Tenzing
mencapainya dengan segala kemudahan. Berulang kali mereka gagal. Terutama
Tenzing yang sebelumnya pernah mencoba untuk mencapai Puncak Everest sebagai sherpa pendamping bersama beberapa
pendaki asing yang salah satunya adalah Raymond Lambert, ia sempat jadi sahabat
Tenzing (Intisari, Mei 1991).
Lalu, apakah mendaki gunung merupakan
pengendalian ego semata? Tahu dan sadar kapasitas diri itu sangat penting.
Mundur begitu sadar saatnya belum memungkinkan untuk dilanjutkan namun bukan
berarti menyerah sebab masih ada kesempatan lain untuk diperjuangkan.
Demikianlah Edmund Hillary dan Tenzing Norgay menaklukkan puncak diri sampai pada akhirnya berhasil mencapai
Everest dengan selamat pada 29 Mei 1953; tak penting benar apakah mereka
menjadi yang pertama atau kedua sesudah perjuangan Mallory dan Irvine. Mereka
berempat sama-sama pelopor dan inspirator. Mallory dan Irvine tatap dikenang
orang, bagaimanapun persepsi orang tentang perjuangannya untuk mencapai puncak.
(Foto diambil dari)
Cuaca, misalnya, terus terang saya tak
pernah bisa memprediksikan apakah hujan akan turun atau tidak karena mendung
semata. Meski saya pencinta hujan, saya bukan pawang hujan. Jadilah saya
sedikit payungholik seperti Nia, istri Andi rekan kerja saya. Alasannya: saya
tak mau hujan menghambat mobilitas. Lebih asyik berjalan di bawah guyuran hujan
dalam naungan payung daripada basah kuyup kehujanan, untuk alasan praktis semata
payungholiknya.
Bagi saya, alam dan cuaca tak mudah
ditebak meski saya mencoba akrab. Termasuk berusaha mengakrabi kampung halaman
dengan sesekali trekking yang cuma
jalan kaki pagi menyusuri jalanan desa menuju tempat paling tinggi.
(Foto hasil jepretan netbook sendiri, sebagai tambahan ilustrasi panorama kampung)
Saya selalu penasaran akan puncak, kebetulan saya tinggal di daerah yang menanjak. Jadi, ada apa di tempat yang lebih tinggi selalu menggoda saya untuk bertualang, termasuk memerhatikan bentangan pegunungan yang melingkupi kampung. Ya, sebab itu ada di sana. Ada sesuatu yang membuat saya harus tahu. Maka bertualanglah saya, seperti pengalaman tadi pagi (6 Agustus 2005).
Saya selalu penasaran akan puncak, kebetulan saya tinggal di daerah yang menanjak. Jadi, ada apa di tempat yang lebih tinggi selalu menggoda saya untuk bertualang, termasuk memerhatikan bentangan pegunungan yang melingkupi kampung. Ya, sebab itu ada di sana. Ada sesuatu yang membuat saya harus tahu. Maka bertualanglah saya, seperti pengalaman tadi pagi (6 Agustus 2005).
(Foto hasil jepretan netbook Acer Aspire One Pro 10.1)
#Bersambung
Catatan ini saya temukan di milis, merupakan surel lama, sayang kertas sambungannya hilang dan saya bingung gimana cara merangkai ingatan perjalanan lama.---------------------------------
Get your own web address.
Have a HUGE year through Yahoo! Small Business.
[Non-text portions of this message have been removed]
Rohyati Sofjan
Message 2 of 5 , Apr 2, 2007
View Source
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D