Menanti Suami
Saya tak bisa mengenyahkan mimpi buruk itu. Sudah lama
sekali. Apakah arti mimpi, semacam ketakutan alam bawah sadar atau firasat yang
mungkin terjadi? Namun mimpi yang satu ini memang sialan! Saya takut jadi
kenyataan.
M
|
impi saya: mendatangi rumah suami. Ia sedang di teras bersama seorang
perempuan cantik dan sedang hamil juga. Saya tidak kenal siapa ia. Bingung dari
mana muasalnya. Ia lebih rapi dan berperhiasan, rambutnya lurus sepundak.
Memakai baju hamil yang bagus, perawakannya lebih besar daripada saya, pun
gundukan perutnya.
Sedang saya? Ampun, lusuh juga. Pakai kaus hijau belel,
rambut tergerai sepunggung dan berantakan. Tak memakai riasan apalagi
perhiasan. Saya menarik lengan suami agar menjauh dari perempuan itu. Namun
tangan mereka malah saling erat berpegangan. Saya berusaha keras menarik suami
sampai mendekati sumur. Dan tak tahu mengapa saya sudah berada di mulut sumur
dengan sebelah kaki di dalamnya. Seolah hendak menceburkan diri berikut suami
jika bisa. Mimpi itu tak jelas akhirnya, saya sudah terjaga. Sendirian di
ranjang. Suami kerja jauh jadi buruh bangunan di Tangerang. Saya kesepian
sekaligus ketakutan!
Cemburu? Tentu setiap istri miliki rasa itu. Apalagi jika
harus tinggal berjauhan, pasti ada syak wasangka. Apalagi sudah dari sononya
saya termasuk cemburuan. Saya mengkhawatirkan suami dan takut kehilangan!
Beginilah nasib istri yang ditinggal jauh suaminya
mencari nafkah di luar kota. Sesuatu yang bahkan tak pernah terbayangkan.
Menikah saja masih dalam hitungan bulan. Dan saat lajang jika dalam kendaraan
melihat sepasang suami-istri, terkadang dengan anak mereka, saling berpamitan;
saya hanya melihatnya sebagai adegan wajar. Tak pernah merasa harus sentimental
karena bukan pemeran demikian. Namun setelah menikah segalanya berbeda. Saya
menjadi bagian dari peristiwa-seorang-istri-ditinggal-suami-untuk-kerja.
Belajar memahami lintasan kehidupan. Dan saya mencintai suami meski tidak tahu
seberapa besar rasa cintanya pada saya. Saya takut perempuan itu menjadi sosok
nyata di kemudian hari. Bahwa saya harus kalah bersaing dalam banyak hal. Kurus
mungil dan tak seksi, berpenampilan sembarangan dan tak pandai menggunakan
riasan meski punya seperangkat kosmetik dari seserahan. Perempuan itu
cantik dan tahu bagaimana merawat penampilan. Bukan berarti saya tak bisa
dandan dan mengurus penampilan, namun harus saya akui kurang peduli untuk
selalu apik sepanjang hari. Saya ibu rumah tangga yang cukup sibuk dengan
dunianya. Dulu suami tak pernah meributkan penampilan, namun sejak pulang ia
protes menyuruh saya selalu dandan, barangkali terpengaruh pada selera orang
kota, atau hanya ingin bangga bahwa istrinya cantik senantiasa.
Saya merindukan suami.
Ia lelaki yang baik meski sering dicela orang lain.
Setidaknya ia cukup baik pada saya. Saya
membutuhkan lelaki macam demikian, yang tidak kasar pada istri dan bertanggung
jawab. Jika bercinta, ia selalu tanya apa saya sudah orgasme atau belum. Dulu
saya tak tahu apa arti orgasme, tetapi saya menikmati persetubuhan kami karena
tidak macam-macam dan cara konvensional. Tak bisa saya bayangkan jika
bersuamikan macam Wen Fu tokoh rekaan Amy Tan dalam novel The Kitchen God’s
Wife, lelaki kasar bahkan dalam percintaan. Itu mengerikan!
Suami akan berusaha lagi dan lagi sampai saya orgasme. Ia
bahkan rela memenuhi keinginan saya jika tak puas dan ingin lagi, bukan karena
tak memuaskan melainkan saya menyukai persetubuhan kami. Saya hanya suka jika
tubuh kami sudah menyatu, seperti ada ikatan agar tak terpisahkan. Apakah semua
perempuan menikah demikian?
Ia lebih suka bercinta dengan lampu menyala, katanya
lebih menggairahkan jika sambil melihat wajah saya. Ekspresi aneh yang tak
dijumpai dalam rutinitas keseharian selain di atas ranjang. Apakah pasangan
yang sedang bercinta selalu jauh lebih rupawan?
Saya tertawa dan menceritakan hal demikian pada seorang
kawan yang sudah dianggap abang. Kami selalu blak-blakan jika chatting
di YM! sebab entah mengapa merasa nyaman. Ia belum menikah juga meski
usianya sudah 35. Namun ia minta saya mendoakan agar bisa menikahi perempuan
pilihan yang dikenalnya. Ia begitu bahagia cerita perihalnya, dan
kebahagiaannya meresap pula pada saya. Kami bisa bicara berjam-jam perihal apa
saja, ia berbeda dan tak membuat saya terhakimi jika bercerita mengenai hal
pribadi yang paling memalukan. Padahal kami hanya dipertemukan jaringan Multiply,
dan dulu saya sering baca tulisannya karena kagum pada keahliannya dalam
membuat desain grafis sampai fotografi. Ia yang mulai meng-add saya,
kawan Fakhurradzie Gabe yang jurnalis juga. Padahal Radzie hanya kawan maya
saya di milis guyubbahasa. Radzie sudah lama tak berkabar. Mungkin masih
sibuk jadi aktivis LSM kemanusiaan. Saya juga sudah lama tak nongkrong di milis
guyubbahasa, terlalu sibuk memasarkan tulisan ke berbagai media.
Segalanya berbeda, apalagi setelah menikah kini. Lebih fokus pada kehamilan dan
suami.
Kembali pada suami, pernah di awal pernikahan kami, saat
bangun pagi saya merasa lemas sekali. Ia membangunkan saya sampai menyadari
sakit sungguhan untuk pertama kali dalam pernikahan. Ia cemas sekali. Saya
berantakan daripada biasanya. Kelelahan dan kurang makan. Juga demam. Jadi,
ialah yang mengerjakan aktivitas harian. Sampai membangunkan saya lagi untuk
mandi air panas. Ia yang memasaknya. Katanya saya harus makan dan minum obat,
jadi diminta mandi dulu agar mendingan. Lalu boleh tidur lagi, ia yang
menyelimuti. Namun saya bosan jadi pesakitan, jelang sore kembali beraktivitas
mengabaikan sarannya agar beristirahat. Saya tak suka terus-menerus menggigil
kedinginan dan butuh gerak. Ia tak bisa melarang. Namun saya menyukai
perlakuannya dalam merawat istri.
Kami tak pernah bertengkar hebat, hanya perselisihan
kecil yang tak meninggalkan riak. Namun pernah satu kali kami berselisih untuk
hal konyol. Saya ingin bercinta sedang ia terlalu lelah dan tak bergairah. Saya
marah dan memunggunginya, ia merasa bersalah dan coba mengalah. Berupaya
menghidupkan “peralatannya” agar siap tempur dan mencumbu saya. Namun saya
terlalu marah dan sok jual mahal. Gantian ia tersinggung dan kembali berpakaian.
Saya menyesal dan minta maaf, namun ia malah marah. Jadi begitulah, ketika ia
berpakaian, saya kembali mengenakan pakaian yang dilucutinya. Ditambah sarung,
dan bersiap pergi ke rumah ibu saya. “Mau ke mana?” tanyanya sambil berbaring.
“Pulang!” jawab saya, kesal karena tak beroleh keinginan
apalagi dimaafkan untuk yang tadi.
Ia pikir saya main-main, namun saya benaran keluar kamar
dan hendak membuka pintu ruang tamu. Ia menyusul dan mencegah saya. “Sudah
tengah malam,” katanya sambil menunjuk jam yang terpajang di dinding gedek.
Saya tercengang. Pukul dua belas lebih. Berapa lama tadi kami berselisih? Namun
saya terlalu egois dan kecewa padanya jadi tak peduli. Tiba-tiba ia malah
bersimpuh memegang kaki saya. Itu peristiwa paling mengagetkan, seumur hidup
baru ada yang demikian. Namun saya mendorongnya dan terpaksa berbalik ke kamar.
Lalu saya menyesal apalagi ia tidak ikut masuk kamar. Saya membuka tirai dan
masih melihatnya bersimpuh cara tadi, ia sedang tercenung dan tampak menyesal.
“Masuklah,” kata saya akhirnya, tak tega juga melihat
ekspresi wajahnya.
Ia mendongak tak percaya, dan saya harus minta maaf agar
ia kembali masuk kamar. Pada akhirnya kami saling meminta maaf dan memaafkan.
Kembali berbaring di kasur dan berpelukan. Tidak ada amarah apalagi kebencian.
Dan saya tak memaksanya jika ia enggan bercinta karena stres atau kelelahan.
Meski pada akhirnya saat lelah pun ia berusaha agar bisa memenuhi keinginan
saya maupun keinginannya. Ia seolah takut peristiwa tersebut berulang. Biasanya
jika sedang ingin, ia tanya dulu apa saya rida melayani dan tak memaksa jika
ternyata enggan. Kalaupun memaksa, ia tak kasar dan saya selalu luluh untuk
melayaninya toh juga menikmati. Saya hanya engan pada bulan ke-5
kehamilan karena khawatir pada bayi. Namun suami selalu melakukannya dengan
cara lembut dan pelan-pelan. Rasanya kami tidak bermasalah di atas ranjang.
Hanya kadang menjumpai masalah dalam hidup keseharian. Dan seks bagi kami bisa
jadi semacam pelipur lara, penghilang kesedihan agar tetap bahagia.
SMS dari Reni kawan saya di Bandung membuat heran. Ia
mengutip saran dokternya agar lebih sering bersebadan biar bayi kuat. Anaknya
satu, perempuan dan sudah masuk TK. Pasti cantik seperti ibunya. Saya kangen
dan ingin menjumpainya, namun tak boleh bepergian terlalu jauh. Suami akan
melarang untuk alasan apa pun. Ia mengkhawatirkan saya dan bayi, apalagi saya
pernah ambruk dan nyaris pingsan pada kehamilan bulan ke-3 karena kecapaian.
Menjadi pemalas dan sangat moody pada bulan ke-4, malah muntah-muntah pada
bulan ke-5. Lalu membaik pada bulan ke-6. Lalu masih mual dan kadang muntah
pada bulan selanjutnya jika di jamban.
Ada banyak peristiwa. Ia bukan lelaki yang romantis
apalagi sok puitis. Namun ia bisa romantis. Pernah suatu malam ia meninggalkan
saya tidur sendirian untuk nonton TV di tetangga sebelah. Ia merasa bersalah
meski saya tak melarang. Sebab begitu saya terjaga, mendapati lengannya sudah
memeluk tubuh dan kepala saya. Ia sendiri sudah terbaring nyenyak. Entah pukul
berapa. Namun biasanya ia tak pernah meninggalkan saya lama. Rumah suami
dikononkan angker lokasinya. Meski saya tak peduli dan biasa keluar sendiri
untuk panggilan alam, suami lebih sering menemani.
Ia menyuruh saya memakai sawen di kutang, katanya
untuk jaga-jaga. Entah jaga-jaga dari apa. Saya tak percaya klenik dan enggan
harus berjimat. Isi sawen lucu, kantung kain kecil beraroma bawang putih. Namun
saya terpaksa mematuhinya, ia hanya ingin mematuhi petuah orang tua tentang
kepercayaan karuhun.
Yang lucu adalah pada suatu malam ia mengupas bawang
putih dan menggosokkannya di jempol kaki saya. Disuruh neneknya. Penolak setan
yang barangkali doyan mengemut jempol perempuan hamil untuk diisap darahnya.
Ada-ada saja. Saya jadi berbau bawang putih dan tak menggairahkan untuk
bercinta. Lucunya ia tetap mengajak bercinta di antara aroma bawang yang
menguar.
Saya menanti suami pulang. Mencoreti angka di kalender
setiap hari. Berharap ia baik-baik saja dan dijauhkan dari perbuatan maksiat
maupun petaka. Saya mencintainya dengan doa yang melimpah. Ia lelaki bersahaja
yang tak keren dari segi penampilan. Celana dalamnya saja sudah belel dan
menyedihkan padahal cuma lima. Saya tak ada waktu untuk menjahit ulang dan
menyarankan beli lagi karena tak tahu ukurannya. Namun ia mengabaikan. Katanya
lebih mementingkan keperluan saya dan bayi.
Sekarang sejak kerja jauh, ia bertambah kurus. Saya sedih
melihatnya. Seperti interniran zaman perang. Hampir menyerupai jerangkong
terutama di tulang selangkangan. Namun ia hanya bilang, “Semua demi kamu.”
Membuat saya termangu.
Ia menjawab kecemasan saya kala melepasnya pergi atau
menyambutnya pulang, bahwa saya khawatir sesuatu menimpanya di perjalanan. Ia
rela mengorbankan nyawanya demi saya dan bayi. Saya tak tega dan tak ingin jadi
janda. Bayi kami membutuhkan figur ayah, bukankah ia sangat ingin jadi ayah.
Dan kami mensyukuri kehamilan ini sebab ada banyak pasangan yang sulit beroleh
keturunan. Namun kami sadar bahwa itu harus diperjuangkan dan butuh pengorbanan
besar.
Bayi selalu bergerak, kata orang pertanda sehat. Saya
melihat hidup dan bayi dan suami; sebagai bagian dari lingkaran takdir. Dan
saya tak berharap perkawinan kami kandas menuju titik nadir!***
Limbangan, Garut, 5 September 2009
#Telah dimuat di Khazanah "Pikiran Rakyat" tapi lupa tanggal berapa, gak dicatat. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D