Ini naskah gagal, hiks. Saya kalah dari lomba esai FLP tentang pemuda. Mohon dibantai.
Naskah Kategori Umum
Sumbangan Apa yang Bisa Kau Berikan
Pada Bahasa Indonesia, Pemuda?
Oleh Rohyati Sofjan
Apakah bahasa Indonesia tak lebih dari perkara remeh-temeh semata? Kalah perbawa
dibandingkan dengan hal-hal lain yang dianggap lebih utama? Lalu,
bagaimana sesungguhnya cara pandang kita terhadap Sumpah Pemuda nun 28
Oktober 1928 silam? Apakah perjalanan panjang yang diikrarkan para
pemuda kala Indonesia masih dalam fase dijajah dan baru
idealisasi cita-cita suatu nation merdeka, akan kita abaikan
karena telah merasa bebas lepas dari penjajahan padahal di depan mata
tersaji ancaman penjajahan lain dalam bentuk yang lebih menggurita;
semacam neoliberalisme yang kita "persilakan" menggilas harkat bangsa
dan negara, juga bahasa!
Jadi, sumbangan apa yang bisa kau berikan pada bahasa Indonesia, Pemuda?
Mungkin
ada di antara kita yang hebat dalam berbagai bidang. Disegani pihak
luar dan dalam karena sarat prestasi, tidak cuma di kancah dalam negeri
semata, tetapi juga luar negeri. Sesuatu yang sungguh sangat
membanggakan sebab mereka juga bisa menjadi teladan.
Namun apakah kita merasa cukup dengan semua?
Di
antara ingar-bingar tabrakan kepentingan, konflik politik dan ideologi,
juga kemunduran ekonomi dan moral, ditambah beragam bencana alam sampai
buatan manusia, sesungguhnya bangsa kita menanggung
beban tak tertanggungkan. Beban yang menuntut tanggung jawab dari kaum
muda agar bisa mengatasinya. Mengapa yang muda? Ya, karena merekalah
generasi harapan setelah kaum tua terlalu lelah atau berbuat banyak
kesalahan.
Masalahnya, dengan cara apa kita berbuat, Pemuda?
Sanggupkah
kita menjadi generasi yang mengemban amanat besar agar bisa mengangkat
martabat Indonesia dari jurang kehancuran? Apalagi, jika cuma sebagian
kecil saja dari populasi kaum muda yang bisa diharapkan sebagai generasi
ideal. Sisanya pada kocar-kacir ke arah berlainan, tumpang
tindih digerus peradaban atas nama modernisasi (atau westernisasi?) yang
disalahtafsirkan sesuai Kamus Besar Hidup Mereka (KBHM). Lu ya lu, gue ya gue. Lalu lu di mana saat gue bagaimana? Sesuatu yang membuat mereka kehilangan arah atau malah berakhir sebagai sampah.
Jadi, kita akan ke mana, Pemuda?
Masihkah Sumpah Pemuda yang diikrarkan kaum muda-mudi
perindu hawa merdeka, nun 78 tahun silam, cuma berakhir sebagai ajang
seremoni tahunan hampa makna, tak mengendap dalam ruang renung. Padahal
berbagai ancaman siap memangsa, memangsa jiwa dari bangsa yang mudah
melupa.
Sesungguhnya kita belum sepenuhnya merdeka.
Penjajahan ada di mana-mana. Bahkan media pun terang-terangan menjajah
kita dengan beragam acara dan berita yang didiktekan pihak luar, atas
nama kapitalisme, agar dikonsumsi masyarakat lemah tak berpendirian.
Semacam pembodohan.
Apakah kita akan diam saja, Pemuda?
Sudah
cukup masalah datang bertubi-tubi, silih berganti. Akan tetapi, bisakah
kita terus bangkit meski sering jatuh bangun demi menyongsong fajar
baru alih generasi dengan kepemimpinan pemuda yang lebih baik dan sarat
keteladanan. Bercermin dari masa lalu demi masa mendatang. Mengubah
energi
negatif menjadi positif: dari mental pecundang menjadi pemenang, dari
peran korban bermetamorfosis menjadi pemeran, dari pendendam menjadi
pengambil hikmah. Demikianlah.
Sekarang,
mari kita telaah makna bahasa Indonesia di mata kaum muda. Bukan tanpa
alasan jika butir ketiga dari Sumpah Pemuda berisikan: Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia; yang alhamdulillah tetap bergaung sampai sekarang menjadi lingua franca (bahasa
pengantar)!
Namun gaung itu nihil arti jika tidak ada kepedulian dari
kaum muda untuk terus-menerus mengembangkan bahasa Indonesia sebagai
sesuatu yang sarat dinamika.
Seorang
kawan ngotot berpendapat bahwa penjajahan itu ada di berbagai bidang,
termasuk bahasa Indonesia yang telah terkontaminasi sebagai alat untuk
dijajah dan menjajah. Ketika sifat bahasa yang semula netral berubah
menjadi bias dan sarat ambiguitas. Saya setuju dengan makna
penjajahan yang ditawarkan sang kawan, sebab ada berbagai kepentingan
yang mengintai dan bahasa menjadi mediumnya. Dari sosial, politik,
ekonomi, teknologi, agama, budaya, sampai gender. Akan tetapi,
terlalu naif jika menyalahkan bahasa sebagai biang kerok dari berbagai
"musibah", semuanya berpulang pada pelaku kebahasaan sendiri. Bagaimana
mereka akan berbahasa dan meresepsi bahasa?
Sesungguhnya,
sejarah bahasa Indonesia itu panjang sebagaimana sejarah bahasa-bahasa
lain di dunia. Pelan namun pasti, ada semacam metamorfosis tersendiri
yang mengiringi dinamika berbahasa di negeri ini. Sayangnya,
metamorfosis tersebut kurang disadari sebagian besar pengguna bahasa.
Yang lebih dominan malah masuknya peristilahan asing yang digunakan
secara semena-mena oleh pelaku kebahasaan, baik kalangan tua maupun
muda.
Itu memprihatinkan sebab ada pengaburan nilai ketika
tanpa disadari mereka tercerabut dari akar. Merasa gagah
mencampur kosakata bahasa asing atau gaul ke dalam bahasa Indonesia,
tanpa memedulikan situasi atau konteks yang menyertainya. Walhasil,
campur-aduklah jadinya. Apakah serendah itu nilai bahasa Indonesia dalam
relasi komunikasi antarsesama? Belum lagi diperparah oleh
ketidaktepatan pengungkapan, baik secara lisan maupun tulisan, seolah
mereka gagap mengonsepsikan imajinasi dan gagasan dalam kerangka bahasa
karena ketidakcakapan mereka sendiri untuk menyerap hal-ihwal tebaran
kehidupan.
Memang,
kehadiran bahasa asing pada hakikatnya bisa memperkaya khasanah bahasa
Indonesia. Bahkan bahasa daerah pun ikut andil. Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) edisi ketiga yang tebalnya 1.382 halaman (plus xxxv
lampiran), memuat berbagai lema dari bahasa Indonesia, daerah, Melayu,
Arab, sampai bahasa asing yang masuk sebagai kata serapan.
Persoalannya,
semua itu berpulang pada kecakapan kita dalam memperlakukan bahasa.
Apakah akan
peduli pada kaidah-kaidah yang telah dibuat dan disepakati dengan
susah-payah? Dibutuhkan tanggung jawab personal dari insan-insan penutur
bahasa, bahwa mereka bisa menjadi teladan bagi semua. Terutama generasi
muda. Sudah cukup kenyang bangsa kita dicekoki sekian dogma dari gaya
tutur petinggi negeri (sampai kaum selebriti) yang tak becus
berkonsepsi. Kata-kata itu ajaib, bebas dan tak mengikat; namun
kata-kata pun bisa menjadi bumerang atau menuntut tanggung jawab,
Saudara!
Lalu bagaimana cara kita bertanggung jawab?
Bacalah
tanda, pelajarilah isi semesta. Asah kepekaan panca indra dan akal
pikiran. Lalu songsong perubahan dengan ketajaman berikut kejernihan
perspektif. Semua itu membutuhkan daya kritis dari kaum muda agar sudi
menjadi teladan demi regenerasi bagi insan-insan masa depan. Untuk itu
dibutuhkan bimbingan dari kaum tua yang cendekia dan bijaksana. Sebab
siklus kehidupan senantiasa menuntut perbuatan sebagai
semacam daur ulang.
Saya
prihatin karena sehebat-hebatnya kaum muda di berbagai bidang, sampai
menjadi aktivis kepemudaan dan lingkungan, ada semacam kevakuman alih
generasi atau regenerasi untuk bidang kebahasaan.
Apakah ilmu bahasa
Indonesia itu memang mubazir? Berapa banyak sarjana sastra dan bahasa
yang dicetak Indonesia, namun berapa pula yang berkontribusi demi
kemajuan bahasa Indonesia?
Sebenarnya,
yang ingin saya sorot adalah kemampuan pemuda sendiri dalam berbahasa.
Apa pun strata pendidikan dan status sosial-ekonominya. Sebab, bahasa
Indonesia berada dalam perkembangan mengagumkan sekaligus
memprihatinkan. Mengagumkan karena sempat membuat "gentar" negeri-negeri
jiran terhadap hegemoni bahasa Indonesia, berkaitan dengan era
teknologi informasi masa kini. Ketika Indonesia dianggap pesat dalam
perkembangan sastranya.1 Memprihatinkan karena pada hakikatnya tak banyak muda-mudi Indonesia yang peduli pada
perkembangan bahasa nasional mereka.
Secara umum, penutur bahasa Indonesia terbagi dalam tiga kubu: pakar bahasa, kaum profesi, dan masyarakat umum.2
Mereka saling melengkapi dan menunjang. Pakar berbuat demi kemajuan
bahasa dalam masyarakat; kaum profesi menggunakan hasil kerja pakar
sebagai elemen kinerja mereka kala melebur dalam kehidupan
bermasyarakat; dan masyarakat umum berbahasa sesuai acuan yang diserap
dari pakar, kaum profesi, sampai persentuhan dengan sesama mereka yang
awam sekalipun. Tanpa salah satu elemen, maka akan timpang. Jadi, tak
bisa salah satu dianggap lebih daripada lainnya. Akan tetapi, kehadiran
pakar bahasa rasanya masih kurang dibanding dengan mayoritas
penggunanya. Itu berkaitan dengan regenerasi. Ibarat alih tongkat
estafet kepemimpinan.
Dalam
Konvensi Bahasa Forum Bahasa Media Massa (FBMM) ke III yang membahas
topik mengenai bahasa periklanan di Wisma Kompas-Gramedia Pacet,
Cianjur; saya amati bahwa kebanyakan peserta sudah sepuh dan berusia di
atas tiga puluh tahun. Yang berusia di bawah tiga puluh cuma
segelintir. Ada rekan asisten editor dari Mizan, editor bahasa dari Gatra dan Trust,
beberapa rekan editor bahasa dari media massa lain (cetak dan
elektronik), penerjemah lepas, staf peneliti dari divisi Laboratium
Geografi UI, dan saya sendiri untuk kategori freelance sebagi penulis lepas cum karyawan biasa yang ikut forum tersebut karena anggota milis guyubbahasa FBMM cukup aktif.
Dari
beberapa makalah yang dipresentasikan kalangan senior, mulai dari Ernst
Katoppo, Irmina Irawati, dan Zainal Arifin; ternyata di tangan beberapa
insan pencinta bahasa, bahasa bisa diuraikan secara ramah, kocak,
bersahabat, cerdas, bernas, sekaligus tegas.
Betapa menyenangkan berada di ruang konvensi itu. Menambah wawasan dan ruang lingkup pergaulan di antara sesama
(minoritas) pencinta bahasa Indonesia yang berusaha keras agar penggunaan bahasa tersebut sesuai ritme kehidupan.
Akan
tetapi, dalam konvensi itu, ada semacam kerisauan: masalah regenerasi
dan involusi yang berputar-putar. Boleh dikata, yang muda cuma sedikit
ikutnya, dan rasanya belum bisa diandalkan untuk menjadi pakar selain
tuntutan profesi semata. Padahal FBMM telah membuka diri pada berbagai
elemen media massa dan mengundang mereka untuk bergabung, namun selalu
terbentur pada kebijakan masing-masing perusahaan media yang diundang.
Ada juga beberapa kalangan muda sesama guyuber (sebutan untuk anggota milis guyubbahasa),
namun tampaknya mereka kurang aktif dalam jalur diskusi, berkesan cuma
mengamati atau miliser pasif. Bisakah mereka mengambil-alih tongkat
estafet? Semacam regenerasi dari orang dalam demi dunia luar? Padahal,
tak ada salahnya mereka aktif berbicara dan bertanya dalam ajang diskusi
tersebut demi mengasah potensi diri. Bahwa bahasa bukanlah sesuatu yang
pasif apalagi stag, dan itu membutuhkan dukungan dari banyak
pihak. Betapa jauhnya pencapaian dan ketekunan yang diteladankan Anton
M. Moeliono, J.S. Badudu, sampai Pamusuk Eneste.
FBMM
memang khusus untuk editor media massa cetak dan elektronik, termasuk
media penerbitan lain, namun mereka pun membuka diri pada khalayak luas
yang tertarik dan serius untuk bergabung.
Masalahnya, lagi-lagi, ada
semacam involusi dalam diskusi FBMM di milis guyubbahasa,
berkaitan dengan kaum profesi lain dan masyarakat kebanyakan yang tak
akrab dengan penggunaan bahasa Indonesia cara FBMM (yang sebenarnya tak
bermaksud menyaingi Pusat Bahasa sebagai lembaga resmi utama).
Ada "lelucon" yang disodorkan Agus R. Sarjono dalam esainya, "Bahasa Indonesia dan Orang Asing" (Pikiran Rakyat, 11 April 2004). Bahasa Indonesia adalah bahasa yang mudah
dipelajari! Begitulah kesan yang diberikan hampir semua mahasiswa semester satu sampai empat Jerman -- juga Belanda -- yang
mengambil studi bahasa Indonesia. Dalam satu-dua semester saja, seorang
mahasiswa sudah dapat melakukan percakapan sederhana dalam bahasa
Indonesia; sesuatu yang tidak mungkin mereka lakukan dengan bahasa Arab,
Jepang, atau Cina. Namun marilah bertanya pada mahasiswa yang sudah
lulus sebagai sarjana bahasa Indonesia di tempat yang sama, maka hampir
seluruhnya bergumam serempak: bahasa Indonesia adalah bahasa yang paling
sulit dikuasai.
Mengapa
demikian? Itu berkaitan dengan cara tutur orang Indonesia sendiri dalam
berbahasa. Mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa daerah, gaul, atau
asing; kalimat-kalimat yang kehilangan subjek atau predikat; sampai
ketidaklogisan dan ketidakjelasan dalam berbahasa. Termasuk "kesaktian"
imbuhan yang bisa mengubah suatu kata menjadi beragam makna.
Begitulah bahasa Indonesia, jangankan rumit bagi orang asing, kaum pribumi pun bisa pusing.
Akan
tetapi, ada yang lebih memusingkan bagi saya. Berkaitan dengan tanggung
jawab profesi di kalangan muda pengguna bahasa Indonesia. Mereka bisa
saja pelajar, santri, mahasiswa, pengajar, jurnalis, ekonom, pengacara,
peniaga, politikus, aktivis, dan sekian profesi lain yang menggunakan
bahasa Indonesia sebagai medium aktivitasnya. Sampai sejauh mana
kepedulian mereka dalam berbahasa? Tidak cuma mengikuti kaidah
gramatikal dan leksikal semata.
Saya
ingin menyorot "kekonstanan" berbahasa di kalangan penulis muda. Mereka
yang sangat potensial dalam ide dan imajinasi namun stagnan dalam
bingkai. Mulai dari kesalahan sederhana macam ketidaktepatan berbahasa
(atau ketidaktahuan karena memang tidak tahu atau kesoktahuan dan
kemalasan tak mau membaca buku acuan gramatika apalagi kamus bahasa
Indonesia). Seperti penggunaan
kata depan dan imbuhan yang sering bertukar tempat tidak pada
tempatnya. Padahal itu sangat besar dampaknya, mendorong orang awam
untuk ikut-ikutan salah kaprah tanpa tahu maknanya.
Kalau
sudah demikian, maka repotlah semua. Pakar bahasa terpaksa buang-buang
energi untuk membetulkan, segelintir kaum profesi yang peduli dan mau
mengerti mencoba mengikuti kaidah demikian.
Namun akibatnya hal itu
seperti menyita energi dan waktu untuk fokus pada hal lain yang lebih
penting.
Pembahasan kosakata baru sesuai dinamika teknologi informasi,
misalnya. Seperti pembahasan kata serapan dari istilah komputer dan
telekomunikasi. Bagaimana "memasarkan" tetikus sebagai kata serapan dari
mouse, pindai/pemindai dari scan, penggandaan dari back-up, sampai Surat Menyurat Singkat (SMS) dari Short Message Service (yang pernah jadi bahan debat kusir di antara beberapa guyuber, apakah "pesan pendek" itu akan diubah jadi Sandek [konon ada
suku bernama demikian] atau Pepen [nama orang], atau apa saja sesuka mereka, hehehe…).
Itu
baru teknologi informatika, masih banyak bidang lain yang menanti
"sentuhan" diskusi bahasa seperti kedokteran, pertanian, kelautan,
perdagangan, kedirgantaraan, otomotif, kuliner, olah raga, ilmu-ilmu
eksakta, dan sebagainya. Jadi, sesungguhnya dibutuhkan kerja sama
semacam simbiosis mutualisme antara pakar bahasa dengan kaum aneka
profesi, secara profesional, demi memajukan dan mengenalkan dinamika
tersebut pada masyarakat luas bahwa bahasa Indonesia bukanlah sesuatu
yang stagnan.
Saya
tertarik pada bahasa Indonesia karena sifatnya yang fleksibel. Namun
fleksibelitas itu membutuhkan pengikut, terutama dari kalangan muda,
sang calon pemimpin bangsa; agar bisa sama-sama berkembang tanpa diburu
kekhawatiran bahwa tak akan ada pakar bahasa di kalangan muda. Sebab
mereka terlalu sibuk dan asyik sendiri dengan dunianya. Cuek pada
bahasa Indonesia karena dianggap mudah jadi disepelekan, atau sukar
lalu dipersetankan. Padahal mempelajari dan mengajinya adalah hal yang
mengasyikkan; syaratnya, dibutuhkan kecintaan dan kepedulian.
Dan saya miris karena tak semua media massa sudi bergabung dan asyik berdiskusi soal bahasa di milis guyubbahasa@yahoogroups.com
atau pertemuan bulanan FBMM. Soalnya, dalam pengamatan saya,
ketidakkonsistenan berbagai media dalam berbahasa itu tak cuma
membingungkan masyarakat awam (termasuk kaum profesi dan pakar yang
peduli), tetapi juga menyesatkan. Bukankah pekerja media merupakan ujung
tombak transformasi gagasan dan pemikiran pada khalayak banyak? Namun
dibutuhkan kerendahhatian dari kubu pakar bahasa, kaum profesi, sampai
masyarakat.
Ya,
mari kita bekerja sama, membuang ego dan sinisme, demi memperjuangkan
eksistensi bahasa sebagai identitas bangsa yang sangat
signifikan untuk kita wariskan pada generasi mendatang. Juga
menunjukkan pada dunia bahwa bahasa Indonesia cukup bermartabat sebagai lingua franca
sebab telah diakui oleh berbagai kalangan di beberapa negeri jiran.
Siapa tahu pula kelak, bahasa Indonesia bisa masuk kategori bahasa
pergaulan utama dunia.
Prosesnya memang panjang dan melingkar. Namun
mengapa tidak? Tinggal, seberapa kuat dan gigih tekad kita untuk menjadi
teladan? Menyumbangkan segenap potensi diri demi kemajuan bangsa,
agama, dan tanah air.
Mari, Tuan-Puan muda!***
Limbangan, 17-21 Juli 2006
Catatan akhir:
1 Segenggam Gumam, Helvy Tiana Rosa, hlm. 128.
2 Bahasa dan Bonafiditas Hantu, Agus R. Sarjono, hlm. xi; merupakan bagian pengantar dari Hasan Alwi, Kepala Pusat Bahasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D