Malam yang Hangat
(Semacam Oleh-oleh Cerita)
Suatu
hari di bulan Maret, saya terima surel dari Pak Tendy di japri (jalur
pribadi), isinya tentang pertemuan dengan Pak Thahir D. Asmadi (TDA)
yang berkunjung ke Bandung. Beliau ingin bertemu saya. Tentu saja saya
heran namun segera menjawab surel tersebut untuk mengiyakan pertemuannya
karena berpikir barangkali soal pembentukan cabang FBMM di Bandung.
Begitulah, kami sempat berbalas surel tentang konfirmasi acara sampai saya terima surel
dari Pak TDA yang mengonfirmasikan pertemuan di Hotel Santika, belakang
BIP, tempatnya menginap bareng Sang Nyonya (Bu Aisyah). Namun Pak Tendy
punya rencana lain dalam surel berikutnya.
Maka demikianlah, saya segera balas surel beliau berdua (Kamis, 31 Maret 2005), sekira jam sebelas malam sambil chat di YM bareng tiga kawan sekaligus (Wida, Meli, dan Fans; Meli off,
lalu digantikan Hari). Sempat tak fokus juga mengetiknya, namun intinya
setelah tiap hari terpaksa ke warnet, saya sepakat dengan Plan A Pak
Tendy untuk “kabur” dari tempat kerja jam 19.00 WIB, lebih awal dari
jadwal toko yang tutup jam 20.30. Biar tak terlalu malam dan tak
kehabisan mienya. Syukurnya bos mengizinkan, dan dua rekan saya yang
lain tak ribut ditinggal “kabur” salah seorang personelnya -- meski
sempat bersitegang dengan seorang rekan yang berubah pikiran dan
depresinya kumat, jelang magrib. Biasa, anak itu memang moody banget
dan tak tahu saya sudah minta izin pada bos. Pernah menyarankan saya
agar keluar dari toko untuk berbagai alasan yang membuatnya depresi
karena belum bisa buka toko sendiri seperti rekan lain yang join
dengan bos. Pas saya benar-benar hendak mewujudkan sarannya,
pertengahan Mei nanti, ia malah keberatan sebab bakal kekurangan orang
(padahal masih ada rekan lain di cabang Yogya yang bisa diover); apalagi
perempuan macam saya yang tak malu atau sungkan mengerjakan pekerjaan
lelaki selain urusan pembukuan, sampai melayani pembeli dengan cara
“unik”: meminta pesanan ditulis karena telinga saya tak berfungsi, hehe…
Baiklah, mari lupakan pekerjaan, hidup memang harus penuh tekanan sebab segala sesuatu tak selalu konstan.
Bandung
masih juga hujan, selepas zuhur sampai malam. Pak Tendy benar-benar
menjemput saya di toko. Waktu itu saya ke toko buku Suci dulu untuk beli
notes sebagai “lahan” mengobrol nanti. Dan saat menyeberang jalan untuk
kembali ke toko, Pak Tendy melintas dengan motornya, wajahnya basah
oleh tempias hujan. “Hayu!” sapanya mengejutkan. Lalu dengan
diiringi tatap heran sekian “tetangga sekitar” melihat saya dibonceng
“orang asing”, akhirnya jadi juga kami menembus malam berhujan. Tidak
deras, memang, namun saya sempat jet lag karena harus “ngumpet”
di balik jas hujan tanpa tahu arah, hehe… Itu pengalaman pertama saya
dibonceng Pak Tendy. (Abah dan Fans, kapan kalian bonceng saya untuk
keliling Yogya? Santai, saya bisa menjaga jarak. :p)
Malam yang dingin mengantarkan kami
dengan selamat di restoran Bakmi Jogja, Jalan Bengawan. Itu kunjungan
pertama bagi saya, dan keempat bagi Pak Tendy setelah dua kali dengan
keluarganya berikut sekali dengan temannya.
Kami
duduk di meja luar sembari menunggu Pak TDA dan Nyonya. Sedikit
berbincang pakai tulisan, ditemani teh hangat yang langsung dituang dari
poci tanah liat dan kacang tanah berrsalut tepung. Harum bakmi godok,
salah satu makanan favorit saya, menggugah selera. Hujan membingkai
atmosfer tradisional restoran. Saya teringat pada malam-malam berhujan
yang pernah singgah dalam sejarah kala menjelajahi acara seni di Kota
Bandung sebelum terjebak pada ritme kerja yang padat. Dari CCF de
Bandung, sampai Goethe Institute untuk menonton pembacaan puisi Rainer
Maria Rilke. Bagi saya, hujan selalu menakjubkan. Suasana muram yang
mengundang kehangatan bagi sesiapa yang sedang bercengkerama dalam
kebersamaan.
Begitulah,
akhirnya mobil Pak TDA melintasi Jalan Bengawan. Parkir di luar halaman
restoran. Pak Tendy dan saya bangkit dari kursi, menyalami Pak TDA dan
Nyonya, serta seorang perempuan muda yang ternyata keponakan beliau
berdua yang masih kuliah di Unpad untuk jurusan ekonomi (Lia).
Kami memilih pindah ke ruang dalam. Berlima menyantap bakmi godok yang terasa baru bagi lidah saya. (Lian dan Ical, jangan ngiler baca adegan makan, hehe…)
Pak Tendy benar, itu bakmi paling enak yang pernah saya cicipi, setelah mie tek-tek keliling.
Lalu,
apakah tujuan kami bersilaturahmi cuma untuk makan saja atau ada yang
lainnya? Ada yang bilang bahwa makan bersama bisa mempererat
persaudaraan. Itulah yang saya rasakan. Dari Pak TDA yang spontan
meledek “kumis tipis” saya (huu, pengaruh hormonal dan tak perlu
bercukur kayak Pak Tendy yang jenggoter -- eh, jangan
dicukur, ya? Hehe…), sampai usia pernikahannya dengan Bu Aisyah yang
sudah 37 tahun (salut!). Ada beberapa hal yang terekam dalam benak saya
dari pertemuan singkat itu. Tidak banyak percakapan yang saya lakukan
karena tak tahu harus bagaimana di antara riuh kehangatan. Namun Pak TDA
mengejutkan saya dengan memberi special gift berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Ketiga yang masih baru, sebagai tanda mata darinya dan Nyonya.
Jujur,
saya memang sangat membutuhkan KBBI, namun jika ada yang memberi itu
sebagai tanda mata, saya tak tahu harus bereaksi bagaimana. Ada rasa
sungkan, boleh dikata tak nyaman, sebagaimana tak nyamannya saya kalau
ada yang baik pada saya dengan memberi atau melakukan sesuatu. Seperti
Sheila dalam novel karya Torey Hayden pinjaman Rusi;
“Kok kamu lakukan itu?”
“Lakukan apa?”
“Kok kamu mau baik padaku?”
(Rusi, punya edisi lanjutan Sheila II?)
Saya
tak tahu banyak tentang Pak TDA, butuh waktu lama untuk mengenalnya
luar-dalam. Namun ia mengingatkan saya akan figur ayah. Dari kacamata
sampai karakter tulisan tangannya dalam hal tekanan yang mirip dengan
almarhum bapak saya -- yang berkacamata pada usia
sekira 40-an dan akan mengejek saya jika harus berkacamata lebih awal
soalnya punya kebiasaan membaca “gaya bebas”, kecuali jungkir balik,
hehe…
Jika
Mishbahul Munir (Abah) merasa Pak TDA sebagai ayahnya, saya hanya
berharap Pak TDA bisa mengayomi sesiapa selain keluarganya. Terutama
Keluarga Besar FBMM. Bahwa apa yang dilakukannya pada saya adalah
semacam “berbagi peran” secara adil bagi siapa saja. Semoga Pak TDA dan
Bu Aisyah benar-benar ikhlas berbagi malam di Bakmi Jogja. Juga pada Pak
Tendy yang jadi sponsornya..
Itu special gift
yang sangat berarti bagi saya kala membukanya di rumah. Bukan soal
nilai nominal yang saya ukur melainkan daya gunanya. Di sana saya bisa
lebih mengenal dunia kata sebagai makna kala segala sesuatu di sekitar
saya serba “steril”.
Terima kasih banyak Pak TDA dan Nyonya.
Hanya
Allah-lah yang bisa membalas kebaikan Anda berdua dengan cara-Nya.
Dengan rasa tawadu dan haru, saya terima tanda mata itu sebagai sesuatu
yang sulit dijabarkan bagi bekal saya dalam mengarungi dunia
kepenulisan.
Ya,
seperti Pak Tendy di Bakmi Jogja tentang jalan hidupnya; “Saya tidak
berencana untuk meneliti bahasa, tapi hidup saya membawanya ke sana.”
Semoga
kepemimpinan Anda di FBMM makin membuat Anda bijaksana dengan cara yang
tawadu, juga menyatukan rasa persaudaraan bagi yang merasa seperti Pak
Tendy.
Saya
di sini untuk sesuatu. Mengenal Pak Tendy, Anda dan Nyonya, Lia, juga
sekian kawan-kawan lain -- berikut lawan. Demi pendewasaan peran yang
saya yakini.
Terima kasih.
Saya akan berjuang untuk FBMM dengan cara yang saya bisa.
Salam
hangat di malam yang kembali berhujan sepulang dari Bakmi Jogja setelah
diantar Pak Tendy lagi dengan tak kurang suatu apa. (Anda tak kehujanan
lagi, ‘kan?)
Bandung, 1 April 2005
Yang berbahagia,
Rohyati Sofjan/penulis lepas dan karyawati toko elektro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D