Mengapa Nepal
Seno Gumira Ajidarma dalam artikel
perjalanannya di majalah Intisari dan
Jakarta-Jakarta membuatku penasaran
untuk menjelajah Nepal. (Intisari No. 390, Januari 1996;
Intisari No. 395, Juni 1996; Jakarta
Jakarta No. 500, 3-9 Februari 1996.)
Aku suka alunan bahasa Seno yang
puitis, berat dan mengalun. Membuatku berimajinasi tentang Nepal. Kathmandu dan
lorong-lorong jalannya yang dipenuhi geletakan sapi-sapi putih tanpa diusik
sesiapa; upacara di kuil-kuil Hindu dan Budha; para Hippie yang keleleran ngeganja;
melihat Puncak Himalaya; sampai bagaimanakah demonstrasi berlangsung di sana.
Dan artikel langlang Seno melambungkan
imajinasiku merangkai fiksi dalam bingkai Kathmandu. Sebuah cerpen berjudul
“ABU”. Dimuat di majalah Kartika edisi Juli-Agustus 2010, dan kupajang di
blogku ini.
Aku terobsesi untuk mencari tahu lebih
banyak tentang Nepal, terutama Kathmandu. Blogwalking
ke sekian travelblog. Aku butuh lebih
banyak info demi melanjutkan kisah Abu yang lainnya. Sahabatku Mutiara Aryani
ngotot bahwa aku harus melanjutkan kisah Abu. Aah, gila rasanya karena aku ingin memakai latar Nepal lagi. Kalau
bisa lebih mendetail.
Jadi, inilah alasanku mengapa ingin
melanglang ke Nepal sebagai destinasi tujuan. Aku mencari eksotisme dari
petualangan. Tapi aku hanya seorang pemimpi, emak satu anak dan istri seorang
buruh tani yang tak mungkin bisa ke sana selain mengisahkan impianku di sini.
Kupikir kisah tentang Nepal jarang
difiksikan. Makanya aku penasaran ingin menjelajahinya. Aku ingin berkisah
tentang sebuah tempat yang eksotis dan dengan cara yang eksotis. Apakah
sapi-sapi di sana masih berkeliaran dan bergeletakan sedemikian rupa tanpa
diganggu gugat sesiapa?
Kubayangkan aku, anak, dan suamiku
melanglang di kota asing dengan makanan yang rasanya pasti bikin perut
campur-aduk karena konon cara masak Nepalian amburadul bagi lidah orang
Indonesia. Bumbu kari tajam menyengat, nasi yang keras dan lebih pera, juga
yoghurt yang menjadi menjadi makanan tambahan keseharian. Namun semuanya tak
menyurutkan rasa penasaranku akan Nepal!
Di Nepal juga ada komunitas muslim dan
masjid besar. Dan semoga kutemukan makanan halal yang enak dan ramah di perut.
Dari info yang kudapat setelah
menjelajah beberapa travelblog, aku
bisa beroleh gambaran tentang beberapa lokasi yang pernah disambangi Seno.
1.
Freak Street, tempat para hipi keleleran mengganja
di tahun ’60-‘70-an, Jalannya yang sempit dan ramai mengingatkanku pada Jalan
Dalem Kaum di Bandung. Nama aslinya tulis Seno adalah Jhocheen Tote. Dan
ternyata di tempat itu masih terdapat hipi jenis baru yang disebut Gumpal Awan.
Seperti yang ditulis Travelblog Agustinus
Wibowo di http://lipsus.kompas.com/jalanjalan/read/2008/09/30/0753041/Titik.Nol..42.:.Freak.Street.
2.
Thamel, hem nama tempat itu mengingatkanku pada
sesuatu, kayak camel alias onta,
hehe. Namanya yang eksotis merupakan kawasan ramai. Seperti kampung Kuta di
Bali. Segala bar, restoran, penginapan, sampai pertokoan berebut tempat mengundang
pelancong. Thamel tak lebih dari kampung internasional tempat berbagai bangsa
dan nama membaur. Namun di dekatnya terdapat pasar tradisional.
3.
Lapangan
Durbar merupakan kota kuno yang ramai dan terdapat istana berikut kuil pemujaan.
Pedagang kaki lima, wisatawan, sampai demonstran membaur di sana.
4.
Istana Lama
Hanuman Dhuka, sekarang jadi museum peninggalan Raja Tribhuvan.
5.
Kuil
Swayambhu, adalah kuil dengan undakan tangga tinggi menjulang, di ketinggian
inilah orang akan lebur dalam pemujaan.
6.
Nagarkot,
Pokhara, dan Sarangkot di sanalah bisa mendaki untuk melihat jajaran pegunungan
Himalaya.
Dan aku tambahkan dengan hal terbaru
yang menarik perhatianku di Nepal seperti:
1.
Masjid Khasmiri
Panca Thaqiya dan Masjid Jami’ Kathmandu terletak di Durbar Mar, Manhattan-nya
Kathmandu. Tempat yang bersih dan teratur
2.
Bandara
internasionalnya bernama Tribuvhan Kathmandu.
Sebaiknya jangan mengunjungi tempat
pembakaran mayat di Pasopatinath jika tak ingin terganggu dengan bau daging
manusia yang dikremasi. Aku gak merekomendasikan
tempat gitu. Lagian serem aja membayangkannya,
hehe. Barangkali bagi hardcore traveler gak masalah. Tapi bagi family traveler mending cari suasana lain yang gak horor.
Hem, tapi untuk apa jauh-jauh mencari
eksotisme sampai ke Asia Selatan macam Nepal? Negeri itu masih miskin dan
terbelakang, sebagaimana negeriku ini. Bukankah Indonesia sendiri kaya akan
eksotisme?
Barangkali yang ingin kucari adalah
hasrat mengetahui sesuatu. Sesuatu yang bernama Shangri-La atau nirwana? Merasakan seperti apa berada di tempat
yang begitu dekat dengan atap dunia. Menjelajahi wilayah asing demi menemukan “diri”.
Merasakan kebesaran Ilahi.
Maroko
Setelah Nepal, adalah Maroko negeri
yang ingin kutapaki karena memoar Fatima Mernissi. Ya, Teras Terlarang memikatku dalam setiap lembar halaman. Aku suka
untaian bahasa Fatima, lahir di sebuah harem di Kota Fez pada tahun 1940.
Baginya dunia luar dibatasi tembok pagar menjulang dengan gerbang berat
berukiran.
Meski hidup terkurung dalam sangkar
harem, namun pemikirannya mampu menjelajah ke luar batas wilayah. Menuliskan buah
karya pemikiran feminis. Aku sangat suka Teras Terlarang. Sebaiknya baca deh.
Entah apakah Mizan masih menerbitkan. Buku itu cetakan I, November 1999. Kubeli
di Pameran Buku Bandung, Landmark Building, 10 Agustus 2003. Buku yang
membuatku girang karena sudah lama kuidamkan setelah membaca resensinya di
koran.
Aku terpesona dengan cara Fatima
mendeskripsikan banyak tempat sampai makanan khas Maroko. Sejarah, tradisi,
politik, dongeng, sampai bualan dengan renyah namun bernas disajikan. Sungguh
aku ingin menjelajah ke sana!
Kelemahan
sebagian feminis favorit Chama, khususnya generasi awal, adalah bahwa mereka
tidak banyak menulis karena terkungkung di dalam harem. Itu berrati tidak
banyak aksi yang bisa dilakukan; kami hanya duduk dan mendengarkan Chama
menyuarakan protes dan keluhan dalam bentuk monolog. Kehidupan Aisyah Taymour
adalah yang terburuk. Lahir di Kairo pada 1840, yang dia lakukan -- tanpa
henti-henti hingga kematiannya pada 1906 -- adalah menulis puisi-puisi yang
menentang keras hijab. Dia menulis dalam beberapa bahasa, Arab, Turki, dan
bahkan Persia, dan itu sangat mengesankan bagiku. Seorang perempuan yang
terpingit di sebuah harem mampu berbahasa asing! Menguasai bahasa asing berarti
membuka sebuah jendela dari dalam dinding gelap. Menguasai bahasa asing di
harem berarti menumbuhkan sayap-sayap yang memungkinkan kita terbang ke budaya
lain, meski batas dan juga si penjaga pintu itu masih ada di sana. (Halaman 143.)
Bagaimana aku tidak kagum buah karya
Fatima. Aku lahir dan besar pada era kekinian, tidak dibatasi tembok pemisah
bernama harem. Yang harus kudobrak adalah tembok keterbatasan dalam diri.
Tapi, baiklah, kita akan membahas soal
tempat wisata impian. Aku ingin mengunjungi Maroko bukan sekadar wisata biasa.
Aku ingin menjelajahi satu petualangan spiritual yang pernah kuperoleh dari
buku!
Karena itulah aku pernah ingin mencari
tahu sebanyak-banyaknya mengenai Maroko dengan tak melewatkan acara televisi
mengenai jalan-jalan ke sana. Ada beberapa tempat yang menarik perhatianku:
1.
Pasar malam
Jemaa El Fina di Marakesh, aku
pertama kalinya tahu dari acara televisi. Wow, asyik rasanya bisa menjelajah
kuliner dalam satu tempat dengan beragam variasi. Berikut atraksi seni.
2.
Fez, di
kota itulah Fatima Mernissi berasal. Ada banyak bangunan rumah harem dengan
arsitekturnya yang unik. Ingin kuresapi aroma kota perempuan yang kukagumi.
3.
Ah,
sudahlah. Banyak sekali tempat lainnya yang ingin kusambangi. Seperti Casablanca. Tapi
kalau kutambahi lagi catatannya, akan panjang sekali.
Inilah #MyDreamVacation gila-gilaanku. Aku mengeluarkan timbunan impian
ini, berharap suatu saat kelak bisa berkunjung ke sana, bukan lagi impian yang
mustahil. Wallahua’lam.
Limbangan,
Garut, 17-18 Maret 2014
* Sumber foto Nepal dari http://bujangmasjid.blogspot.com,
*Sumber foto Maroko dari http://wisatamaroko.blogspot.com
Mak Rohjati....luar biasaaa dari Nepal ke Maroko dan semuanya terinpirasi tulisan apik ....Saya belumpernah ke Nepal dan ingin ke sana one day..alhamdulillah sudah menjejakkan kaki di Marrakesh dan memang cantiiiiik....makasih sudah ikutan GAku yaaaa..
BalasHapusDuh, Mak Indah bikin saya tambah ngiler saja. Sudah ke Marakesh. (*Guling-guling penasaran!) Saya mudah ngiler akan suatu tempat setelah baca kisah atau perjalanan seseorang ke sana. Seru banget bisa menjelajahi wilayah yang berada di belahan tempat kita tinggal.
HapusPasar Malam Marakesh pasti bikin Mak Indah betah ya. Saya kalau bisa di sana pasti akan kalap pesan macam-macam makanan, hehe. BTW, makanan khas Maroko yang ditulis Fatima dalam teras Terlarang saja sudah bikin saya penasaran banget pengen icip-icip, pstilla, semacam penganan yang rasanya manis dan asin. Terbuat dari irisan daging merpati, kacang, gula,dan kayu manis. Mak Indah sudah pernah coba? :)
Buku atau bahan bacaan bagi saya tidak hanya mengajarkan sesuatu, tetapi membuat penasaran. Hehe.
Semoga Mak Indah bisa melanglang ke Nepal. :)
Makasih juga sudah adain GA tentang perjalanan impian. Jadi ada sarana untuk mengkhayal, haha. Dipancing, gitu. ;)
saya juga selalu iri sama temen2 yang bersekolah di Maroko, mak.. kapanya bisa kesana.. heuheu
BalasHapusSemoga suatu saat kelak bisa ke sana juga, Mak Damae Wardani. Berjuang mewujudkan impian. Sebab Maroko sangat-sangat-sangat menggiurkan. :)
Hapuswaw pengen jalan ke sana juga mba :)
BalasHapusMari bermimpi suatu saat kelak bisa ke sana. :) Semoga impian itu bisa terwujud. Aamiin. :)
HapusKenapa nggak sekalian mendaki HImalaya mak? nanggung lho udah sampe Nepal kan :P Semoga impiannya tercapai ya mak :)
BalasHapusterima kasih atas partisipasinya :)
Enggak kuat mendaki Himalayanya, Mak Muna Sungkar. Biarlah nanti kalau anak sudah besar semoga jadi pendaki tangguh. Dan bisa ke Himalaya.
HapusMakasih sudah mampir.
Aamiin doanya.
Wah wawasannya begitu luas banget ya, seakan-akan diriku juga menjelajahi negeri antah berantah ini. Salam kenal, sukses untuk menulis dan Give awaynya juga,jgn lupa folbek daku @cputriarty :)
BalasHapusSalam menulis...