Cuma ingin semangat menulis saja,
maka saya kumpulkan petikan kalimat dari beberapa cerpen saya yang tak
seberapa. Belum bisa jadi semacam quote,
cuma sekadar menikmati keajaiban rangkaian kata.
Gayanya berbeda-beda, ada yang ngepop sampai sastra. Bergantung
pada media mana ditujukan.
Selamat menyimak, semoga Anda menikmatinya.
Salam,
~ Rohyati Sofjan/Gurun ~
Tentu setiap orang punya rahasia. Dan biarkan
itu menjadi misteri jika pada akhirnya hanya akan melukai. Namun kebenaran,
sepahit apa pun, lebih baik diungkapkan. Meski kebenaran itu sendiri nisbi.
(“Lingkaran”)
Dan di kamar berkelambu dengan beberapa bagian
dari dinding gedek yang bolong-bolong kapurnya, ia melihat dunia sebagai
kenyataan yang apa adanya bukan seharusnya. Mereka baru menikah sudah dihantam
masalah, dan orang lainlah yang bikin ulah. Ia merasa istrinya kian hari kian
lelah. Wajah itu telah berubah: seperti dipaksa menyerah namun bersikeras tak
ingin menyerah. Dan ia merasa bersalah. (“Baru Menikah”)
Jadi begitulah kita saling memainkan peran.
Bersahabat dan belajar, namun tetap dalam batasan formal. Dan aku menghargai
caramu yang lebih suka demikian. (“Delirium”)
“Ah, Kawanku.
Jika kita membahas soal binatang mana yang terlamban atau tercepat, bagiku itu
pekerjaan sia-sia. Alam menganugerahi kita kelebihan dan kekurangan
masing-masing. Amat merugilah mereka yang tak mensyukurinya dengan pongah atau
menyesali diri.” (“Binatang Tercepat”)
Ia
terengah. Tubuh dan kakinya begitu lelah. Dengan waspada ia memerhatikan
sekitar, adakah hal mencurigakan. Namun kesunyian menguar sebagai jawaban.Tak
ada suara-suara selain deru napasnya sendiri, tak ada langkah kaki yang
mengikuti. Hanya desir angin dan orkestra binatang di kejauhan. (“Ramadan di
Hati Neng”)
Aku
memiliki harapan, pijar yang semoga tak padam, setidaknya ada kamu yang melihat
dari kejauhan dengan tatapan menguatkan. Namun diam-diam aku takut gagal dan
kamu mengecamku pecundang. (“Enigma”)
Aku merasa kekuatan air
yang indah itu menyakitkan untuk mengiring kenangan. Kenangan akan ibuku yang
masih hidup namun jiwanya lapuk dimakan kedengkian dan perilaku buruk.
(“Ibu Mawa Karep Sorangan”)
Di luar sana, adakah lelaki idaman? Tempat
berbagi hidup sampai ajal memisahkan? Seseorang yang tak perlu ia jadikan
korban? Terlalu menyakitkan jika kau harus membunuh orang yang kau cintai
karena telah membuat kesalahan. (“Kamu Harus Mati, Zan!”)
Tanpa kata ia keluar. Mengisap tembakau dan
melihat bintang-bintang. Malam begitu tenang. Sedang apa istrinya sekarang? Ia
merindukannya. Tubuh dan jiwanya. (“Kemarau Tama”)
Dengan
gontai ia menuju pintu depan. Betapa ia tidak ingin sampai. Kalau bisa, ia
ingin melangkah mundur dan tak memasukinya sebab tak pernah menghuni rumah itu.
(“Menuju Titik Nadir”)
Aku merasa jiwaku terbang, layar plasma besar berpendar
buram ganti menyilaukan, segala yang kulihat hanya bayang-bayang abstrak.
Suara-suara serupa dengungan, mungkin tawon atau helikopter? Dan kudengar
sesuatu berdenting nyaring menerpa lantai pualam. Aku tak peduli apakah gelas wine
yang kupegang jatuh tergelincir. (“Aku Telah Membunuh
Orang, Hari Itu”)
Jadi saya putuskan berhenti cemas dan tak percaya
peramal. Tidak juga ramalan nasib macam shio atau zodiak di bacaan mana saja.
Semuanya gombal. Saya mati-matian menyangkal. Lalu sampai usia separuh baya ini saya bisa anteng menjalani kehidupan.
Lupa pernah diramal. (“Baby Hunkwe”)
“Namanya Edmund,” Edna mengucapkan nama itu seolah
semacam puisi, begitu melodius. Menyentakkanku kembali pada dunia real.
Rupanya kami seolah mengembara dalam alur pikiran kemasing-masingan.
(“Edmund Edna”)
Seperti biasa, pikirku, setelah tiga tahun perpisahan tanpa sekali pun
pertemuan, ia seolah tak ingin waktu berubah! Padahal hidupku telah berubah,
sedangkan hidupnya entah.
(“Jannah”)
Penduduk kampungku
terjerat utang. Ada banyak. Dan ibuku salah satunya. Utang tak perlu yang
membuatku meradang. Ibu akan tetap berutang, dengan atau tanpa sepengetahuanku.
Percuma aku melarang, ibu akan selalu beralasan, alasan bodoh yang membuatku
tak berdaya. Marah pun percuma. (“Rente”)
Apa
arti lebaran? Ia tidak tahu. Namun rindu itu kian menderu. Ia hanya ingin
pulang untuk berkumpul dengan orang tercinta. Sama sekali tak pernah terpikir
bahwa lebaran harus jadi ajang pamer dan riya. Ia justru lebih memikirkan
kehidupan dan masa depan mereka. (“Seseorang Harus Pulang Sebelum Lebaran”)
Di luar kulihat matahari
senja yang bundar oranye menaungi langit kotaku, seolah tepat di atas Alfamart,
dan dilatarbelakangi gunung menjulang berwarna hijau kebiruan. Langit masih
terang berbaur warna merah keemasan. Subhanallah!
(“Suatu Senja Bersamamu”)
Aku
hanya terpesona pada prosesi penumbangan pohonnya. Pelan namun pasti, bagaimana
pohon besar yang barangkali usianya ratusan tahun bisa begitu saja tumbang
dihajar petir, lalu ikut menumbangkan barisan pohon lain. Bagaimana
kekokohannya tak abadi. (“Tumbangnya Beringin Kami”)
Ada apa dengan Sami?! Aku ingin meneriakkan itu agar
gemanya terdengar Armand. Namun gema itu hanya memantul di bilik jiwaku. Aku
tak kuasa berteriak. Pagi hanya menjawab dengan angin dan helaian daun gugur.
Di luar taman, suara-suara kendaraan menderum. (“Armand dan
Pengkhianatan pada Delapan”-Serial Kelompok Delapan #3)
Dhuha bagi Armand merupakan saat jeda agar ia beroleh
ketenteraman dari galau yang selama ini meraja. Menyangkut tanya tentang masa
depan dan keluarga. Di manakah kedua orangtuanya? Mereka boleh berpisah namun
haruskah menelantarkannya seperti ini? Tak ada kabar apakah mereka masih hidup
atau mati. (“Delapan Berkurang Jadi Tujuh-Serial Kelompok
Delapan #4”)
Acara hura-hura kami terhenti. Foto-foto bareng, main
air, dan musik harmonika Uji serasa tidak konstan dengan peristiwa yang
terjadi. Sepertinya kami “pesta” di tempat dan waktu yang salah. Di tengah
musibah.
(“Delapan yang Retak”-Serial Kelompok Delapan #1)
Maka di sinilah sekarang, semobil dengan Prita yang tak
ia tahu seperti apakah kepribadian aslinya. Merayakan kemerdekaan dari rasa
sesaknya. Cemburu bahwa pacarnya diam-diam dicintai sang sahabat sudah di
ambang batas, suatu saat bisa keluar dan meruyak. Armand takut pada dampak
perpecahan kelak. Jadi ia lebih memilih mundur sebagai pengkhianat.
(“Pretty Prita”-Serial Kelompok
Delapan #2)
Ia datang pada pagiku
yang muram, dengan senyum ramah
yang tak pernah kukenal.
Ya, aku tak mengenalnya. Dan terpana ketika ia mengulurkan lengannya, mengajak
salaman. Seperti orang dungu aku menyalaminya juga.
(“Pukau Wana”-Serial Kelompok Delapan #5)
Nir adalah dunia yang paling masuk akal,
setidaknya ia telah melebur dalam spektrum kehampaan.
(“Abu”)
Ia bangkit, kepalanya sakit. Juga tubuh dan
jiwanya. Telinganya berdenging, ada Chopin sekonyong-konyong memainkan partitur
murung, begitu menyayatkan. Kali ini ia benci musik demikian, jiwanya telah
berkubang dalam kemuraman. Langkahnya terhuyung menuju sumber bunyi. Membuka
pintu kaca. Tempias deras hujan dan dingin menerpa wajah dan tubuhnya. Ia
melangkah ke tengah balkon. Berdiri di antara kepungan pot-pot tanaman hias dan
herba yang kini ditelantarkan. Membiarkan jarum-jarum hujan menghunjam.
(“Abu”)
Ia memandang sekeliling, menyadari dirinya
seakan turis kesasar. Meski ia telah membekali diri dengan peta dan buku
panduan, berikut googling tentang
Nepal, rasanya ada yang berbeda. Perjalanan seorang diri ini seakan menapaktilasi
luka.
(“Abu: Napak Tilas Luka”)
Dan
sekarang, pada kenyataan asin laut, Gabriel menghirup udara dengan perasaan
asing. Ia mencium sesuatu yang samar, mengambang. Seperti tubuhnya diayun
lautan. Aroma mautkah yang diam-diam mengintai?
Ia
ingat Aceh. Ingat Nias. Ingat Yogya. Ingat sekian tempat lainnya yang diguncang
gempa dan meninggalkan gelimpangan mayat-mayat binatang sampai manusia. Akankah
Pangandaran digulung tsunami, ketika badai Laut Selatan membuat perhitungan
tersendiri? (“Apa Makna Maut, Gabriel?”)
Dari
jendela kaca di depannya, ia melihat keluar dengan perasaan mengambang. Langit
begitu bersih tiada berawan, dan di luar kehijauan menghampar dari taman yang setia dirawat istrinya. Ia
tersenyum getir. Ada kupu-kupu biru hinggap di rumpun mawar. Seperti itukah
kehidupan? Keindahan berjalan selaras dengan kesedihan. (“Lelaki di
Persimpangan”)
Mengapa
merah? Seperti genangan darah. Ingatan lain menyerbu dari berbagai arah. Minta
diurai, minta diberi makna. Akan ingatan yang pada akhirnya lekang karena
pemilik kenang meregang ajal. (“Merah”)
Barangkali
di Stasiun Tugu ada loket dengan tiket menuju Negeri Senja yang didongengkan
Seno Gumira Ajidarma. Akan ia naiki kereta itu jika memang ada; sebagai bagian
kembara. Namun ia di sini dan tak bisa ke mana-mana. Menanti kereta khusus yang
akan mengantarkannya menuju Negeri Barzah. Dan ia menunggu dengan gelisah.
(“Merah”)
Tristan,
lelaki dalam usia senjanya itu seolah disadarkan akan makna pencarian yang
telah lama ia lakukan. Telah tibakah ia di batas temu bahwa hidupnya bukanlah
sesuatu yang semu? Puluhan tahun ia mencari sesuatu yang bernama “temu” dengan
mengarungi lautan, terkadang sendirian, agar dahaganya akan temu itu
terpuaskan. (“Pelayaran Tristan”)
Ia gelisah.
Menanti detik-detik azan yang seolah berabad-abad lamanya. Langit masih terang
menyulam warna senja. Magrib selalu mengingatkannya akan metamorfosis kematian.
Masa mudanya yang segar dan gemilang, sampai usia senjanya yang renta dan
suram. Kapankah seseorang datang dari seberang lautan, sesama pelayar yang
mengerti makna gelombang, membawa cahaya dan kabar gembira mengenai agama penuh
salam? (“Pelayaran Tristan”)
Ia
merasa terhina. Begitu cepat Run beralih setelah hampir dua tahun mampu
menyamarkan ketidakberesan yang menghantam mereka. Namun haruskah ia
menyalahkan Run? Perempuan mana yang rela berbagi suami dengan perempuan lain?
Namun apakah ia akan rela berbagi istri dengan lelaki lain? (“Poli”)
Mata
Ibrahim menerawang ke depan, angannya menengok ke belakang, ke masa di mana ia
hidup dalam tatanan yang tak terpahamkan. Dan Run menunggu jawaban. Bisakah
Ibrahim memuaskan keingintahuan yang penuh cabang. Kapan bisa Run hentikan,
sebab hanya dia sendiri yang menciptakan? (“Rahim”)”
Tempias hujan tidak deras lagi, namun kesedihan itu masih
menghantam ruang terdalam. Aku butuh kawan. Kamukah orangnya? (“Surat
dalam Hujan”)
Suami akan berusaha lagi
dan lagi sampai saya orgasme. Ia bahkan rela memenuhi keinginan saya jika tak
puas dan ingin lagi, bukan karena tak memuaskan melainkan saya menyukai
persetubuhan kami. Saya hanya suka jika tubuh kami sudah menyatu, seperti ada
ikatan agar tak terpisahkan. Apakah semua perempuan menikah demikian?
(“Menanti Suami”)
Tristan muncul seperti dari ketiadaan. Sekonyong-konyong yang diam. Dan aku hanya bisa terpaku di ruang tamu ini
menyaksikan sosok yang masuk begitu saja tanpa salam. Wajahnya beku, ia bahkan
tidak melihat ke arahku, sang tamu. (“Tristan”)
Apakah kedekatan dan rasa cinta harus selalu diungkapkan
dengan kata-kata verbal macam I love you atau aku cinta padamu? Abu
tidak tahu. Andai ia mudah ucapkan kata itu mungkin Rana bisa mengerti
perasaannya. Namun Abu kesulitan dengan kalimat verbal, ia lebih suka perbuatan. Dan sialnya Rana tak mampu
menangkap sinyal. (“Cinta Rana Mengepak Bebas”
Ah jadi penasaran sama konflik cerita di cerpen "baru menikah".kira -kira apa yg terjadi di atas kelambu. Eh
BalasHapusHahaha
Lanjutkan mbaaa... kutipannya bagus2.. pgn juga baca cerpennya
Haha, saya lupa rasanya sudah dipajang di blog apa belum. Gak ada adegan kelambu ala bokep, kok. Becanda.
HapusMakasih pom-pom semangatnya. Mari menulis cerpen yang puitis, hihi.
Dari kutipan-kutipan di atas, bisa keliatan bahwa Mbak bacaannya berat-berat ya. Jujur, dari semua judul yang tertulis di atas, tidak ada satupun yang pernah saya baca hahaha. Jadi malu, keliatan nih jarang bacanya hehehe.
BalasHapusItu dari cerpen yang saya buat sendiri. Justru dengan menulis semua kutipan favorit dari cerpen saya bisa tahu gaya menulis saya seperti apa. Cenderung bagaimana. Semacam warna jiwa, gitu, hehe. Makasih apresiasinya.
HapusKayaknya gak ada yang pernah saya baca kak. Hehe
BalasHapusEntah seneng aja kutipan "Surat dalam Hujan" agaknya sih bagus. Btw, semangat terus untuk menulis kak. Terus berkarya. hehe
Hehe, gak masalah. Mungkin nanti akan saya bagikan sebagai promo di froup BE.
HapusRifqi juga, semangat berkarya.
Mari.
Dari sekian banyak kutipan cerpen, tidak ada juga yang pernah saya baca, seperti teman-teman yang lain.
BalasHapusFavorti dari semuanya sih 'binatang tercepat'. Lugas namun sarat makna.
Nulis dongeng itu sulit banget, Dongeng yang ditujukan bagi anak harus mudah dipahami sesuai usia mereka.
HapusMakanya saya harus banyak baca dngeng agar bisa belajar lebih baik. Dongeng yang saya tulis murni dari hasil perenungan sendiri tanpa plagiasi. Terinspirasi ada banyaknya cerita tentang balapan lari antar binatang jadi mikir bagaimana dengan binatang yang lanpelan jalannya?
Kata kata yang mendalam :D baru sebagian di baca saya bokmark dulu aja kali ya hehe
BalasHapusOk. Terserah bacanya kapan saja jika Kang Maulana senggang dan lagi pengen baca. Cuma jangan lupa, ya. He he....
HapusItu kan kutipan dari cerpen. berarti ada full cerpen dong yang di posting, kuy ah hunting. Dari kutipan aja udah penasaran, lebaran ah sebentar lagi.
BalasHapusbtw aku baru sekali kesini, hallo Mba :)
Hai, met datang, Cicajoli. Makasih dah bertandang. Met baca jika sempat mampir ke sini lagi. Hatur nuhun dah ninggalin jejak agar tak ngilang. Hi hi....
HapusEpic teh. :)
BalasHapusBW