Oleh Rohyati Sofjan
KETIKA masih
kecil, sekira usia belum genap 6 tahun, bapak melanggankan majalah Bobo yang biasa ia bawa sepulang dari
kantornya di Balai Besar PJKA, Bandung, setiap Kamis malam. (Selain Hai untuk abang saya.)
Meski
saya belum masuk sekolah apalagi bisa membaca, saya sangat takjub dan menikmati
aneka gambar berwarna di dalamnya. Pada tahun 1980 itu, bahan bacaan yang
melimpah ruah merupakan anugerah bagi siapa pun yang menghargai budaya baca dan
haus informasi karena era kurang hiburan. Ketika itu telinga saya masih
berpendengaran normal dan menikmati lagu anak-anak yang dinyanyikan Chica
Koeswoyo atau Adi Bing Slamet.
Dan
ketika saya beroleh musibah hilangnya fungsi pendengaran kala berusia 6 tahun
lebih -- padahal baru masuk SD yang ditujukan untuk anak berpendengaran normal
--, Bobo masih dan kian menjadi
sahabat pelipur lara dunia sunyi saya. Melalui Bobo-lah saya kian lancar membaca dan memahami lebih banyak kosakata
yang mencakup kehidupan. Dan saya menjelma bocah haus baca apa saja, dari
komik, novel sampai majalah lainnya.
Mungkin
filosofi kanak-kanak yang tidak saya sadari kala itu adalah kesepian karena
terjebak dalam dunia sunyi. Asing sendiri seakan insan dari planet lain yang
terisolasi, maka saya mencoba mendobrak batas isolasi tersebut dengan membaca.
Lambat laun menabung lebih banyak lagi pengetahuan sampai kosakata dalam bahasa
Indonesia -- yang mengantarkan saya menjadi penggiat dunia literasi.
Sampai
sekarang pun, saya masih belajar memahami suatu maksud kata dengan melihat
pertautan dari kalimat (yang tertulis), seperti daring yang pada mulanya saya belum paham benar artinya apa selain
berkaitan dengan online atau
terhubung dengan internet.
Pada
akhirnya, setelah membaca tulisan yang gamblang memaparkan, ”Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam
jaringan (online)”, mendadak saya
paham arti sesungguhnya dari daring
yang kerap saya gunakan namun belum dipahami benar selain kata serapan dari
bahasa asing untuk istilah online. Daring ternyata akronim alias singkatan
dari dalam jaringan. Makanya saya
tidak menemukan arti daring dalam KBBI hingga penasaran.
Saya
merasa lucu dengan polah sotoy
(bahasa gaulnya untuk ‘sok tahu’) yang saya lakukan, menggunakan suatu kata
setelah yakin sudah tepat penggunaannya dalam konteks kalimat meski, ternyata,
belum paham benar maknanya. Seperti daring
yang saya kira padanan untuk online,
dan daring sebagai kata serapan
ternyata bermakna akronim (singkatan kata) pula.
Jadi,
suatu hari, dengan entengnya saya pernah mengirim pesan singkat pada teman
sesama penulis, mengabarkan belum bisa terhubung dengan daring karena netbook dan
modem Smartfren rusak. Saya tidak
tahu apakah kalimat dalam SMS itu sudah tepat, saya hanya merasa konyol
sekarang setelah sadar makna dari daring.
Saya pikir hanya satu kata, ternyata gabungan dari dua kata yang
disingkat/diakronimkan.
Sebagai
ibu rumah tangga yang bersuamikan buruh tani dan bangunan dengan keterbatasan
daya beli, saya jarang turun gunung ke kota kecamatan untuk beli koran (bisa
beberapa bulan sekali). Dan ketika membaca koran lokal Jawa Barat, saya
kebingungan mengartikan gawai.
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga, gawai bermakna, kerja (nomina), pekerjaan; sedang pegawai bermakna pekerja di kantor,
karyawan. Untungnya saya tidak sempat mengartikan gawai sebagai penyingkatan kata dari pegawai karena halaman koran tersebut memuat kumpulan artikel
mengenai gadget seperti ponsel
terbaru atau informasi lainnya yang berkaitan dengan teknologi multimedia. Jadi
otomatis saya mengartikannya sebagai gadget,
hanya sempat bingung dan merasa tertinggal jauh dari pergerakan arus informasi.
Saya
hanya kagum membaca arti kedua dari gawai,
dari bahasa klasik untuk alat atau perkakas (untuk zaman sekarang, perkakas
barangkali lebih sering diartikan sebagai perangkat [alat perlengkapan]).
Timbunan
kosakata bahasa kita sangat kaya, jadi apa salahnya menghidupkan bahasa klasik
lagi sebagai padanan yang berterima, unik, dan mudah diucapkan untuk istilah
bahasa asing macam gadget.
Memopulerkan bahasa klasik untuk modernitas, ha!
Alat
dalam KBBI bermakna banyak: 1 benda yang dipakai untuk mengerjakan sesuatu,
perkakas, perabotan; 2 yang dipakai untuk mencapai maksud; 3 sebagai kiasan
yang dipakai untuk mencapai suatu maksud; 4 bagian tubuh manusia; 5 yang
dipakai untuk menjalankan kekuasaan negara; 6 perlengkapan; 7 istilah
antropologi untuk benda budaya yang dikembangkan manusia dalam usahanya
memenuhi segala macam kebutuhan hidupnya, atau sebagai penyambung keterbatasan
organismenya.
Sedang
perkakas bermakna kata benda untuk segala yang dapat dipakai sebagai alat
(seperti untuk makan, bekerja di dapur, perang, atau pekerjaan lainnya).
Dua
makna di atas, alat dan perkakas, barangkali tidak digunakan sebagai padanan
untuk gadget karena terlalu umum.
Butuh sesuatu yang lain untuk itu, memadankan dengan kata yang unik, lebih
spesifik, dan mudah diucapkan. Maka, gawailah sebagai pilihan.
Menghidupkan
kembali bahasa klasik sekaligus menunjukkan kekayaan kosakata bahasa Indonesia.
Meski untuk itu, sebagai seorang disabilitas pendengaran, saya sempat alami
kesulitan dalam memahami arti gawai. Entah orang berpendengaran normal.
Saya
sangat senang jika berhasil memahami suatu makna kata, seperti menyatukan
kepingan puzzle rumit hingga
membentuk gambaran yang jelas dan bermakna. Dan saya bisa frustasi kalau belum
memahami makna kata. Seperti ada bagian kehidupan yang kurang atau belum jelas
dan menuntut penjelasan; atau suatu renik kecil yang harus diperjelas.
Pada
dasarnya, kita hidup dalam kumparan ketidaktahuan, hanya upaya keras dari luar
atau dalam diri sendirilah yang sanggup mengubah pengetahuan kita hingga
bertambah. Dan bagi seorang disabilitas, butuh kerja ekstra keras, meski hanya
untuk memahami bahasa.***
Cipeujeuh, 14 November
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D