Kalau boleh
memilih, selepas magrib ini, aku ingin ditusuk akupuntur saja seperti Po dalam
film “Kung Fu” Panda. Film favorit anakku di netbook yang suka
dimonopolinya. Namun aku tak punya pilihan selain menerima kala diurut Wa Odir.
Bu Bidan desa sedang keluar, dan Sabtu
ini Pak Mantri yang rumahnya di kampung sebelah barangkali sedang libur. Terlalu
merepotkan jadi orang sakit itu!
Cerpen Rohyati Sofjan
TENTU saja aku kesakitan kala Wa Odir langsung
mengurutku, jarinya yang kuat menekan bagian punggungku di beberapa titik
tertentu, menembus baju
yang tak kuganti sedari mandi pagi. Sangat berbeda kala diurut Ma Isah paraji
desa yang sudah renta. Namun aku tak punya pilihan selain menerima. Disaksikan
suamiku dan keluarga Bi Dede kerabat kami yang rumahnya di depan.
Diagnosisnya maag akut! Kata Wa Odir. Jangan terlalu banyak pikiran, kata Bi Dede. Jangan telat makan, imbuh Mang Ateng suaminya. Dan kedua anak
mereka, termasuk anakku, cuma bengong menonton.
Aneh memang, setelah diurutnya, rasa sakit dan perih di bagian perut
kananku hilang begitu saja. Rasa mual berkepanjangan yang menyiksaku kala Zuhur
tadi tak terasa lagi. Aku cuma masih pusing dan lelah. Efek muntah-muntah. Yang
tersisa adalah rasa muak dan kecewa akan ibuku!
Pada akhirnya selepas Isya mereka pergi. Dengan wanti-wanti dan harapan
agar lekas sembuh lagi. Rumah berantakan bekas tadi aku tak mengurusnya,
berikut tempat tidur yang jadi korban muntahan. Suamiku yang baik dan sabar
malah membereskannya dan langsung membawa ke jamban.
“Nanti akan dicuci, sekarang istirahat dulu,” katanya lembut. Memenuhi
keinginanku yang masih ingin diurut dengan Tarason. Aku butuh sentuhan
tangannya yang hangat agar nyaman dan lelap.
“Kamu jangan sakit,” katanya. “Kasihan Si Ujang anak kita.” Dan Palung yang
usianya baru 3 tahun berada di dekat kami. Bingung dan khawatir. Namun
tertawa-tawa kembali, mencari perhatian kami. Kasihan anak itu, tadi ia
menangis terus kala aku kesakitan dan suamiku sedang tidak ada.
Bisakah bayangkan anak seusia itu harus “mengurus” ibunya yang berkali-kali
ambruk dan muntah-muntah dan nyaris pingsan?
Tadi suami menemukanku telungkup di ambang pintu jamban, kaget, namun aku
menolak bangkit, rasa mual dan pusing berkepanjangan membuatku muntah untuk
kali pertama, dan rasanya masih ada lagi yang ingin keluar. Duniaku menggasing,
aku seolah berada di pusaran gempa dalam pusat sarafku.
Tadi Palung bilang begini pada ayahnya begitu pulang, “Mamah geubis...,”
sambil menangis, lalu kembali fokus menonton film di netbook, mengenyot jempolnya.
Untuk sampai ke ambang jamban saja aku harus merangsek ibarat bayi, dan
tadi limbung lagi hingga Palung melihatku jatuh. Apa yang bisa dilakukan anak
itu? Tak bisa keluar karena pintu dikunci. Tak bisa mengangkatku karena
bobotnya cuma 12 kilogram. Lucu.
Suami begitu pulang dari kebun langsung pergi lagi, ke warung Mang Haji
untuk beli pupuk dan bibit jagung. Musim tanam telah dimulai seiring musim
hujan yang kian deras di bulan Desember ini.
Aku merasa kekuatan air yang indah itu menyakitkan untuk mengiring
kenangan. Kenangan akan ibuku yang masih hidup namun jiwanya lapuk dimakan
kedengkian dan perilaku buruk.
SMS dari A Tedi, yang diaku ibuku anak angkatnya sejak bayi tapi almarhum Bapak tak setuju mengurusnya. Barangali ia lakukan itu, angkat anak tanpa bahas dulu. Seperti biasa, ibu
selalu berbuat sekehendak hati. Dan hasil dari SMS-an dengan A Tedi di Bandung
malah membuatku pusing. Tidak, ia tidak berbuat buruk dalam kata-kata, jika kau
kira. Ayah tiga anak dan kakek satu cucu itu justru berlaku seolah kakakku,
keluarga yang hilang.
Fakta mengejutkan tentang kebusukan ibuku terungkap. Ia anak kandungnya
dari suami ibu terdahulu. Ayah A Tedi tentara. Dan sebagai TNI sudah pasti
sering ditinggal tugas. Namun sebagai istri ibu tak terima. Ia kawin muda,
namun jiwa kekanakannya, yang seperti anak kecil, tak lekang dimakan usia,
bahkan sampai menginjak di atas kepala enam. Jika di kampung ini ada yang kawin
muda, seiring waktu bisa bersikap matang dan dewasa meski pendidikannya tidak tinggi,
ibuku tidak.
Semua orang mengatainya berpikir dengan dengkul. Hanya menurutkan hasrat
sesat akan kemegahan dan apa-apa yang melekat. Namun aku tak pernah mengira
masa lalu ibu bisa seburuk itu. Pada anak kandung sendiri yang masih bayi tega
memberikannya kepada orang
lain, seolah membuang anak kucing.
Padahal masih ada suami yang sedang bertugas keluar. Padahal ada aki
ayahnya dan Mang Kosim adik bungsunya yang bisa ikut mengurus. Entah apa yang
ada di benak ibu sehingga bisa sekalap itu?
Almarhum Bapak bisa jadi
tak tahu menahu. Ia berasal dari keluarga orang kaya lama yang terpelajar.
Masih keturunan priayi Jawa. Entah dengan cara bagaimana ibu bisa memikatnya.
Mengaku sebagai gadiskah? Atau janda tanpa anak? Atau istri yang disia-siakan
suami? Padahal Bapak sudah beranak-istri -- yang lalu cerai kala Bapak
menikahi ibu.
A Tedi membeberkan aib ibu lagi kala aku tanya muasalnya. Waktu itu ia
habis dimandikan aki dan Mang Kosim di kampung. katanya (entah
benar atau tidak). Ibu datang dari
Bandung. Membawanya pergi ke kota tempat mengadu nasib. Padahal ia bisa saja
tinggal dan hidup di kampung dengan cara bersahaja, namun ibu terlalu silau
akan kehidupan kota.
Ketika ibu kembali lagi, tanpa bayi, tentu saja membuat kaget Aki dan Mang
Kosim. Ibu mengaku anak itu telah diberikannya pada orang lain. Keluarganya
murka. Ibu diusir. Suaminya kala kembali menemukan anak semata wayangnya telah
“dilenyapkan” langsung menceraikan ibu.
Kenapa ibu bisa
setega itu? Jika dirunut perilakunya sampai sekarang, aku tak tahu apakah ia
jenis pengidap skizofrenia atau kurang iman. Apa bedanya? Terlalu
menyakitkan bagiku sebagai anak. Sikap-sikapnya yang kasar dan tak bisa menjaga
omongan, orang Sunda bilang poksang. Ditambah prasangka buruk dan
kedengkian, berikut kegemarannya menghasut siapa saja yang
mendengarkan meski omongannya tak lebih dusta dan fitnah belaka; membuatku tertekan.
Ia tidak mengikuti pengajian seperti kaum ibu sini. Kala aku menegurnya, ia
bilang tidak suka pada mereka yang ikut pengajian sebab pamer baju bagus.
Padahal tak semua ibu yang menghadiri majlis tersebut berpakaian bagus. Ada
yang bersahaja.
Apakah ibuku iri atau kecewa pada kemiskinan yang dirasakannya, atau tak
suka pada khtobah ustaz yang bisa jadi sangat menusuknya. Menusuk seorang
pemuja kemegahan, terlilit utang pada sekian bank dan rentenir padahal riba itu
haram. Dan masih memiliki kepercayaan syirik dengan mendatangi dukun sampai
makam yang dianggap keramat. Belum lagi ia sering ditipu pemangsa yang memahami
wataknya.
Ibuku cuma pintar berdalih, alasan picik yang menggambarkan bagaimana
dirinya. Berdusta agar orang lain simpati atau murka. Menghamburkan rezeki dari
almarhum Bapak yang PNS dengan cara mubazir. Memegangnya seolah untuk dirinya
saja. Tak berpikir waktu Bapak baru meninggal aku masih kelas 3 SMU dan butuh banyak tabungan untuk bekal
melanjutkan sekolah lagi.
Waktu itu ibuku malah bikin skandal memalukan dengan lelaki yang sudah
punya anak-istri di desa tetangga. Mang Kosim dan Bi Wati istrinya murka. Aku
tak berdaya. Aku tak butuh ayah baru jika cuma bawa masalah. Namun haruskah aku
terus mengikuti keinginan ibu yang egois tanpa berpikir akibat ke depan,
tunjangan dari Taspen bisa dicabut padahal aku masih butuh biaya? Apa yang bisa
dilakukan ibu untuk menghidupi keluarga? Melupakan amanat Bapak tentang
mengurus anak dengan benar?
Dan rasa sakit menahun yang akut itu terakumulasi lewat muntah-muntah. Aku
berpikir mungkin keracunan atau salah makan. Aku sempat makan petai dari kebun
dan sambal, lalu rujak karena pusing rumah ini lagi-lagi diagunkan surat tanahnya ke bank oleh ibu yang
suka memegang uang banyak untuk entah apa.
Ketika suami mengangkatku dari ambang jamban itu, pusingku menghebat. Ia
pikir lebih baik aku berbaring di kasur. Namun saat berdiri, aku limbung. Aku ambruk mengikuti
gravitasi jagat antara ada dan ketiadaan. Aku merasa sangat ringan. Seringan
kapas. Disedot pusaran menyakitkan agar meninggalkan kefanaan. Namun aku coba
melawan, melawan pingsan yang menghebat itu. Ingin kembali pada dimensi
kesadaran. Demi anak dan suami! Aku belum siap meninggalkan mereka. Tak ingin
sekarat begini.
Suami duduk sambil memangkuku. Tangisnya meraung diikuti Palung. Aku
mencoba bangkit lagi. Masih separuh pingsan yang berusaha keras kulawan. Kini
aku mengerti bagaimana rasanya dunia pingsan yang bukan dibius itu. Namun aku
tak berdaya. Mengikuti suami yang mengangkatku ke kasur. Begitu tiba di kasur,
rasanya isi perutku ingin keluar. Dan aku muntah lebih hebat daripada tadi.
Isi perutku menyembur dari mulut, seakan mulutku keran air deras. Dan aku
terempas lemas. Cemas pada muntahan yang telah berhamburan mengotori seprai,
selimut, dan pakaian.
Kupikir setelah muntah dan minum obat keadaannya akan membaik. Aku merasa
masih ada muntah yang tertahan lagi. Kejang-kejang. Beruntung Wa Odir punya
keahlian hingga aku tersembuhkan. Namun luka karena ibu tetap tak terobati.
Kekecewaan bahwa ia mengkhianati kami, anak-menantu-cucu-cicit-dan para
suaminya, membuatku tak mengerti.
Ia bisa saja mengambil jalan tenang dan senang, namun yang diambilnya
adalah lubang kesengsaraan yang menyeret kami semua. Aib dan timbunan utang
yang melilit. Ditambah perlakuannya pada abang sulung sebapak pada orang-orang;
bahwa ia bukan anak kandungnya, bayi yang tertukar di rumah sakit, dan ia
bawa-bawa nama Bapak bahwa Bapak yang mengatakannya sebagai anak tertukar.
Mengapa harus bawa-bawa nama orang mati untuk mendukung ambisi sekaligus
dustanya?
Rasa sakit itu menekanku. Ia ibuku yang rambutnya sudah beruban, keriput,
dan semua giginya yang habis disangga gigi palsu. Selalu berselisih dengan
anak-anak, dan pada siapa saja. Sampai abangku kalap. Lewat SMS yang masuk ke
ponsel suami, ia mengumpati
ibu akan suatu soal pelik di antara mereka, berkaitan dengan uang. Mengancam
akan melaporkan ke Taspen agar tunjangannya dicabut sebab sudah dua kali kawin
(tapi cerai lagi karena ibu seolah kena karma), mencoreng nama baik suami dan
memberatkannya di alam kubur dengan perilaku tak semestinya sebagai seorang ibu
dan istri.
Jika itu terjadi, aku tak peduli, tak ingin ikut campur dalam masalah
mereka. Kebenaran di mata ibu selalu dibiaskan. Abangku di hari pernikahanku
pernah bilang, “Ibu mawa karep sorangan!” Kami sama-sama kecewa
pada tingkah ibu yang belanja banyak bahan untuk hajat nikahan aku yang
rencananya akan sederhana malah dibuat berlebihan. Uang dari mana? Dari hasil
berutang ke orang, bukan bank, dan itu menyakitkan.
Jika ibu selalu mengatai kami semua sebagai anak durhaka tak berguna,
sekaligus sering main usir, bagaimana sebenarnya dirinya di mata orang lain?
Tidak takutkah ia pada azab Allah sebagai istri dan ibu yang durhaka tak bisa
mengemban amanat? Hanya bisa menyalahkan? Dan arti mawa karep sorangan
itu mau menang sendiri padahal salah.
Ibu sekarang di Bandung, berjualan daging ayam keliling, mengontrak
kamar di lingkungan kumuh, dan modal untuk dagang sekaligus kontrak kamar
didapatnya dari berutang! Begitu
menyedihkan. Tak bisa dicegah karena ia akan beralasan dan marah-marah.
Aku, suami, A Tedi dan keluarganya tidak memendam dendam. Hanya rasa iba kronis
menjurus muak dan kehilangan hormat.
Apalagi ibu masih ingin kaya dan jaya seperti dulu kala Bapak masih ada,
ingin punya rumah di Bandung lagi, ingin kawin lagi!***
Cipeujeuh, 19 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D