Serial Rohyati Sofjan
JIKA aku ingin tahu bagaimana kelanjutan hubunganku,
sampai hubungan kelompokku dengan Armand pasca ciao-nya ia dari hidup kami,
Inilah yang terjadi! Ia menganggap kami semua orang asing! Atau ia menjelmakan
dirinya sebagai the stranger.
Aku sakit hati!
Aku tidak tahu apakah Armand masih menganggapku sebagai pacarnya, ia tampak
tak peduli. Kupaksakan diriku memberi senyum manis yang dulu selalu membuatnya
luluh begitu aku menghampirinya, namun matanya seakan tak melihatku. Aku
menggeram!
“Armand!” Aku tak ingin merusak pagi yang damai pada hari Jumat. Sangat
buruk memancing perselisihan pada hari sakral bagi umat Islam. Aku tak ingin
berselisih, sungguh, namun aku butuh jawab untuk Rabu kelabu ketika Armand
memutuskan ciao dari kelompok kami di parkiran sudut jalan Paskal yang rindang.
Hari Kamis aku sungguh tersiksa dengan pemikiran tentang mengapa Armand
bisa demikian. Aku bahkan tak bisa menikmati acara piknik dengan kelompokku di
Loji, Bogor. Membaur dalam keramaian situasi pencarian dan spekulasi tentang
pesawat superjet Sukhoi yang kebetulan jatuh di Gunung Salak. Apalagi merasakan
keindahan alami di sekitar Suaka Elang dan Curug Cibadak. Aku hanya merasa
hampa dan berduka di sana saat kawan-kawanku, kecuali Sami mungkin, bergembira.
“Armand!” suaraku naik sekian oktaf, reaksi pada aksinya yang seakan tuli
atau tak peduli pada suara dan hadirku. Ia duduk di bangkunya dan asyik bermain
BB, BB-nya baru! “Armand!” Aku mengguncang bahunya.
Kali ini ia bereaksi atas aksiku, mendongak menatapku, namun tatapannya itu
membuatku lunglai. Tatapan tak senang dari seseorang yang
pernah kukenal namun menganggapku seakan orang asing tak dikenal lagi, dan
mungkin tak dianggap penting untuk hadir.
“Bisa kita bicara?” cicitku lemah. Aku seperti burung elang kecil yang
terluka. Jatuh dihantam kenyataan. Aku duduk di bangku kosong di depannya,
berharap tak ambruk.
“Maka bicaralah!” Tuhan, dingin sekali nadanya. Aku sampai terpaku, lidahku
kelu, otakku buntu. Apa yang ingin kubicarakan kini? Aku tidak tahu. Aku ingin
memastikan hubungan kami, namun aku takut pada kenyataan bahwa ia tak peduli
lagi. Memutuskanku dengan cara kejam demi Prita gebetan barunya yang pernah
diincar Sami. Apa yang kuharapkan? Aku takut putus dan diputuskan Armand, aku
mencintainya! Aku tidak ingin kehilangan!
“Waktu habis!” Armand tiba-tiba bangkit dan berlalu dariku, langkahnya
cepat sekali. Aku tergeragap.
“Ar!”
Namun ia tak peduli, bergegas ke pintu kelas, bahunya bertubrukan dengan Uji
yang berjalan masuk sambil mengobrol dengan Zara.
“Hei, lihat matamu!” Uji kesal. “Eh, Armand?!” seru Uji begitu menyadari
siapa yang menubruknya. Namun Armand telah menghilang di tikungan kelas. Aku menangis,
segala rasa kecewa dan luka bercampur aduk. Aku merasa tidak punya harga diri
lagi di depan Armand, untuk kesalahan yang bahkan tak kutahu apa hingga ia
berpaling pada Prita dan meninggalkan Kelompok Delapan kami.
Zara melihatku menangis. Ia bergegas menghampiri dan duduk di sebelahku.
“Ada apa, Ris?”
Dan tangisku yang kian hebatlah sebagai jawaban bagi tanya Zara.
Kutelungkupkan mukaku ke meja.
“Aduh, Risa, pagi-pagi sudah nangis gini. Armand, ya?”
Aku mengangguk di sela sedu sedanku. Zara mengusap-usap bahuku lembut.
“Armand perlu kuhajar, Ris?” Uji nimbrung bicara. Nada suaranya kentara
geram.
“Jangan!” Aku sontak bangkit. Kupandang Uji yang merah padam.
“Apa yang dilakukannya padamu, Ris?”
“Ia, ia... mengabaikanku, huhu....” Aku memeluk Zara, aku butuh bahu untuk
bersandar.
“Abaikan, abaikan!” seru Uji ketus. “Abaikan Armandmu yang lupa daratan!”
“Ji, tolong,” aku memohon agar ia tak memancingku dengan emosinya yang
eksplosif. Aku capai.
“Sudah, sayang, Uji benar, abaikan Armand untuk saat ini. Jangan siksa
dirimu, Risa.”
“Aku tak bisa!”
“Keras kepala!” Uji berlalu meninggalkan kami. Ia keluar kelas.
“Hei, Ji, ke mana?” Aku kaget pada reaksinya. Kuatir ia akan berantem
dengan Armand karena aku.
“Ke luar, aku tidak tahan lihat cewek mewek karena urusan gombal!”
Argh! Kasar sekali Uji. Namun aku lega jika ia tidak berantem dengan
Armand.
Sami muncul diiringi Keanan dan Lian. Terheran-heran melihatku seperti
habis menangis. Mereka bertiga merubung bangkuku.
“Armand?” tanyanya. Aku hanya mengangguk lemah.
“Kalian bertengkar?” Sami tampak geram. Aku menggeleng.
SAVED by the
bell. Hidup Armand
seperti diselamatkan (atau berlindung pada) dentang bel. Ia masuk kelas lagi
kala bel berdentang dan kami harus bersiap mengikuti pelajaran. Saat bel
istirahat berdentang, ia bergegas keluar, dan menghilang entah ke mana. Aku
ingin menyusul untuk mencarinya, namun Sami mencegahku.
“Biarkan saja!” Sami mengabaikan protesku.
“Aku harus bicara dengannya, Sami!” Aku berontak dari cengkeramannya.
“Cooling down, Sis!” Sami bersikeras. “Jika saat ini sikapnya begitu
berarti ia tak siap bicara, denganmu atau dengan kami yang lainnya.”
“Sami....” Aku merasa lelah dan putus asa.
“Apa yang harus kita lakukan?” Zara memelukku.
“Biarkan Armand dulu. Ada sesuatu yang tak kita pahami. Kalau kita langsung
bertanya, aku khawatir malah memicu emosi dan menyulut pertengkaran....”
“Sekaligus perkelahian,” sela Uji sebal. Kedua lengannya terkepal dalam
posisi siap tinju.
Zani protes, “Hormon cowok cuma mikir berantem mulu!” Ia ngeri kalau skizofrenik Uji kumat lagi.
Tak habis pikir mengapa Zara, kembarannya, mau pacaran dengan Uji. Zani sendiri
ogah punya pacar. Pacar cuma bikin ribet, katanya. Tak habis pikir dengan sikap
Armand juga.
Lian mengajak kami melupakan dengan cara makan-makan. Katanya, ia yang
traktir. Duit hadiah dari lomba kontes kucing yang dulu diikutinya belum habis,
dapat jutaan. Jadi ia berbaik hati mentraktir kami makan apa saja di kantin.
Lian ingin menghiburku juga. Sami mengomandoi ke kantin. Bersenang-senang dan
sejenak melupa duka cita atas apa yang tak kami pahami tentang Armand.
Aku tak suka ide itu. Namun terpaksa kuikuti saran Sami. Kami sekarang
bertujuh ke kantin. Armand tak tampak di sana. Entah di mana.
Ketika bel jam istirahat usai berdentang dan kami telah duduk manis di
bangku masing-masing, Armand muncul bareng Pak Sadikin. Ia duduk di bangkunya
bareng Salman alias Ical di baris belakang. Tekun menyimak pelajaran.
Mengabaikan kami semua.
Begitu terus. Aku tak bisa menghampiri Armand kala pergantian jam
pelajaran. Malu jika memancing keributan. Namun bel seolah memihak Armand, atau
ia mulai menggunakannya pada saat yang tepat, untuk menghindar.
Jam pelajaran usai, Armand bergegas keluar. Langkahnya sangat cepat. Oh,
aku lupa, ia masih atlet
sekolah. Selain basket yang diikutinya bareng Sami dan Uji, ia pelari maraton
yang andal. Sejak kecil selalu ikut lomba lari. Uang adalah alasan utamanya
jika ikut lomba. Dan Armand sering jadi juara. Sampai sekarang saja masih ikut
lomba maraton yang ada K-nya.
Aku hanya bisa terpaku di parkiran sekolah. Kehilangan jejak Armand yang
sudah mengegas Terriosnya dan meninggalkan gerbang. Meninggalkanku dalam
kesunyian di antara keramaian hiruk-pikuk anak-anak yang bubaran.
Bahuku ditepuk. Tanpa menoleh pun aku tahu yang melakukannya adalah Sami.
Ia punya sentuhan khas yang kukenal. “ Mari kita pulang!” Kubiarkan Sami
menuntunku pada Daihatsu Espass-nya. Langkahku terayun gontai. Dan air mata
yang sejak tadi mengambang kini berjatuhan.
Di mobil, aku menangis lagi. Sami tak berkata apa-apa. Hanya merengkuhku,
membisikkan kata-kata penghiburan. Namun yang kubutuhkan saat ini adalah
kehadiran Armand!
AKU telah berupaya.
Dan ini upaya kesekian kaliku agar bisa mendekati Armand hanya untuk BICARA!
Aku sungguh lelah dan tersiksa memendam tanya tak berjawab. Dan aku sungguh
sangat butuh JAWAB!
Armand menunduk, menghindar tatapku. Tatap yang kurasa sangat memelas. Aku
sungguh nelangsa beroleh perlakuan demikian. Dihindari seolah hama tanpa tahu
di mana letak salahnya.
“Kamu tak salah apa-apa,” kata Armand akhirnya.
“So?”
“Aku hanya harus keluar saja dari Kelompok Delapan.”
“Karena apa? Karena aku atau demi Prita?” Sungguh pahit menyebut nama itu.
Ia bidadari, penjelmaan Vanessa Paradis muda, pacar Johny Depp itu. Sanggup membuat Armand berpaling,
dariku, dari kelompok kami.
“Secara tidak langsung.” Armand mengucapkannya dengan kaliamat bias. Aku
bingung.
“Apa maksudmu?”
Armand menatapku. Mata itu, aku melihat ada pijar hangat yang
menenteramkan. Ia menggenggam kedua tanganku. Menyatukannya dalam kedua
genggaman tangannya. Lalu mengecupnya. Aku merasa melayang. Itu masih kecupan
terhangat, tidak sedingin sikapnya dulu. Tapi, Armand lalu mengucapkan kalimat
yang menghempaskan, “Maafkan aku, Marisa, tapi alur hidup kita sekarang beda.”
“Apa maksudmu? Kamu memutuskanku?!” Tanganku masih berada dalam hangat
genggaman Armand. Armand menggeleng.
“Aku tidak tahu. Terserah kamu. Tapi suatu saat mungkin kamu akan tahu dan
mengerti.”
“Jangan berteka-teki!”
“Semua yang terjadi di luar kuasaku.”
“Kamu tak kuasa terpikat Prita?”
Armand menggeleng, kali ini wajah tampannya berubah sedih. Tangan kanannya
memegang pipiku, mengusapnya. Tiba-tiba ia mendekapku. Begitu erat sampai aku
merasa sesak. Armand!
“Aku harus pergi,”
bisiknya. “Maafkan aku, dan biarkan aku memilih alurku.”
“Alur mana?” Protesku. “Kamu tak bisa pergi begitu saja dari hidupku, hidup
kawan-kawan kita, tanpa kami tahu di mana letak salahnya. Jika kami salah,
setidaknya tunjukkan agar bisa diperbaiki.”
“Tak ada yang salah denganmu atau kawan-kawan kita. Aku hanya harus pergi.”
“Kamu mengkhianati kami?” Aku menangis. Armand mengusap punggungku.
“Jika itu sebutan yang tepat untukku, aku ikhlas. Tapi semua kulakukan demi
kamu, Marisa. Kuharap suatu saat kelak kamu akan mengerti.”
“Kamu sakit?” Aku sungguh terkesiap dan melepaskan diri dari pelukan Armand
hanya untuk melihat reaksinya atas tanyaku. Namun sekali lagi Armand hanya
menggeleng. Ada senyum tipis sekaligus pahit tergurat di bibirnya.
“Selamat tinggal, Marisa....” Armand mengecup keningku lembut.
“Jangan pergi,” pintaku. “Aku tak mengerti, sungguh!”
“Kamu akan selalu melihatku, untuk saat ini, namun maaf aku tak bisa
menyertaimu dan kawan-kawan kita. Aku ada di antara kalian, tapi sebagai orang
luar.”
“Armand!” Kugenggam lengannya yang hendak beranjak. Erat. “Aku tak bisa
kehilangan. Apalagi dalam ketidakpastian.”
“Jika kamu menginginkan Sami atau lelaki lain yang terbaik untuk hidupmu,
aku ikhlas. Tapi jika kita memang jodoh, semoga suatu saat kita bisa bersatu
lagi. Aku hanya harus temui takdirku.” Armand mengecup kepalaku, lalu
melepaskan genggamanku. Aku ternganga. Bukan karena kecupan di kepalaku yang
dalam terasa, kalimat Armand barusan tentang Sami dan lelaki lain. Apa maksudnya?
“Apa maksudmu tentang Sami?!” seruku. Namun Armand hanya menoleh untuk
tersenyum dan melambai, lalu ia menghilang di tikungan Taman Cilaki tempatnya
biasa joging pagi.
Aku hanya bisa terpaku di samping kursi beton tempat kami duduk tadi.
Berdiri dalam kesunyian pagi. Merasa tambah tak mengerti. Ada apa dengan Sami,
tetangga sebelah rumahku yang sudah akrab sejak batita dan kuanggap abang
sendiri?
Ada apa dengan Sami?! Aku ingin meneriakkan itu agar gemanya terdengar
Armand. Namun gema itu hanya memantul di bilik jiwaku. Aku tak kuasa berteriak.
Pagi hanya menjawab dengan angin dan helaian daun gugur. Di luar taman,
suara-suara kendaraan menderum.***
Loji, 14 Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D