Rabu, 27 Desember 2017

Armand dan Pengkhianatan pada Delapan (3)



Serial Rohyati Sofjan


JIKA aku ingin tahu bagaimana kelanjutan hubunganku, sampai hubungan kelompokku dengan Armand pasca ciao-nya ia dari hidup kami, Inilah yang terjadi! Ia menganggap kami semua orang asing! Atau ia menjelmakan dirinya sebagai the stranger.
Aku sakit hati!
Aku tidak tahu apakah Armand masih menganggapku sebagai pacarnya, ia tampak tak peduli. Kupaksakan diriku memberi senyum manis yang dulu selalu membuatnya luluh begitu aku menghampirinya, namun matanya seakan tak melihatku. Aku menggeram!
“Armand!” Aku tak ingin merusak pagi yang damai pada hari Jumat. Sangat buruk memancing perselisihan pada hari sakral bagi umat Islam. Aku tak ingin berselisih, sungguh, namun aku butuh jawab untuk Rabu kelabu ketika Armand memutuskan ciao dari kelompok kami di parkiran sudut jalan Paskal yang rindang.
Hari Kamis aku sungguh tersiksa dengan pemikiran tentang mengapa Armand bisa demikian. Aku bahkan tak bisa menikmati acara piknik dengan kelompokku di Loji, Bogor. Membaur dalam keramaian situasi pencarian dan spekulasi tentang pesawat superjet Sukhoi yang kebetulan jatuh di Gunung Salak. Apalagi merasakan keindahan alami di sekitar Suaka Elang dan Curug Cibadak. Aku hanya merasa hampa dan berduka di sana saat kawan-kawanku, kecuali Sami mungkin, bergembira.
“Armand!” suaraku naik sekian oktaf, reaksi pada aksinya yang seakan tuli atau tak peduli pada suara dan hadirku. Ia duduk di bangkunya dan asyik bermain BB, BB-nya baru! “Armand!” Aku mengguncang bahunya.
Kali ini ia bereaksi atas aksiku, mendongak menatapku, namun tatapannya itu membuatku lunglai. Tatapan tak senang dari seseorang yang pernah kukenal namun menganggapku seakan orang asing tak dikenal lagi, dan mungkin tak dianggap penting untuk hadir.
“Bisa kita bicara?” cicitku lemah. Aku seperti burung elang kecil yang terluka. Jatuh dihantam kenyataan. Aku duduk di bangku kosong di depannya, berharap tak ambruk.
“Maka bicaralah!” Tuhan, dingin sekali nadanya. Aku sampai terpaku, lidahku kelu, otakku buntu. Apa yang ingin kubicarakan kini? Aku tidak tahu. Aku ingin memastikan hubungan kami, namun aku takut pada kenyataan bahwa ia tak peduli lagi. Memutuskanku dengan cara kejam demi Prita gebetan barunya yang pernah diincar Sami. Apa yang kuharapkan? Aku takut putus dan diputuskan Armand, aku mencintainya! Aku tidak ingin kehilangan!
“Waktu habis!” Armand tiba-tiba bangkit dan berlalu dariku, langkahnya cepat sekali. Aku tergeragap.
“Ar!”
Namun ia tak peduli, bergegas ke pintu kelas, bahunya bertubrukan dengan Uji yang berjalan masuk sambil mengobrol dengan Zara.
“Hei, lihat matamu!” Uji kesal. “Eh, Armand?!” seru Uji begitu menyadari siapa yang menubruknya. Namun Armand telah menghilang di tikungan kelas. Aku menangis, segala rasa kecewa dan luka bercampur aduk. Aku merasa tidak punya harga diri lagi di depan Armand, untuk kesalahan yang bahkan tak kutahu apa hingga ia berpaling pada Prita dan meninggalkan Kelompok Delapan kami.
Zara melihatku menangis. Ia bergegas menghampiri dan duduk di sebelahku. “Ada apa, Ris?”
Dan tangisku yang kian hebatlah sebagai jawaban bagi tanya Zara. Kutelungkupkan mukaku ke meja.
“Aduh, Risa, pagi-pagi sudah nangis gini. Armand, ya?”
Aku mengangguk di sela sedu sedanku. Zara mengusap-usap bahuku lembut.
“Armand perlu kuhajar, Ris?” Uji nimbrung bicara. Nada suaranya kentara geram.
“Jangan!” Aku sontak bangkit. Kupandang Uji yang merah padam.
“Apa yang dilakukannya padamu, Ris?”
“Ia, ia... mengabaikanku, huhu....” Aku memeluk Zara, aku butuh bahu untuk bersandar.
“Abaikan, abaikan!” seru Uji ketus. “Abaikan Armandmu yang lupa daratan!”
“Ji, tolong,” aku memohon agar ia tak memancingku dengan emosinya yang eksplosif. Aku capai.
“Sudah, sayang, Uji benar, abaikan Armand untuk saat ini. Jangan siksa dirimu, Risa.”
“Aku tak bisa!”
“Keras kepala!” Uji berlalu meninggalkan kami. Ia keluar kelas.
“Hei, Ji, ke mana?” Aku kaget pada reaksinya. Kuatir ia akan berantem dengan Armand karena aku.
“Ke luar, aku tidak tahan lihat cewek mewek karena urusan gombal!”
Argh! Kasar sekali Uji. Namun aku lega jika ia tidak berantem dengan Armand.
Sami muncul diiringi Keanan dan Lian. Terheran-heran melihatku seperti habis menangis. Mereka bertiga merubung bangkuku.
“Armand?” tanyanya. Aku hanya mengangguk lemah.
“Kalian bertengkar?” Sami tampak geram. Aku menggeleng.

SAVED by the bell. Hidup Armand seperti diselamatkan (atau berlindung pada) dentang bel. Ia masuk kelas lagi kala bel berdentang dan kami harus bersiap mengikuti pelajaran. Saat bel istirahat berdentang, ia bergegas keluar, dan menghilang entah ke mana. Aku ingin menyusul untuk mencarinya, namun Sami mencegahku.
“Biarkan saja!” Sami mengabaikan protesku.
“Aku harus bicara dengannya, Sami!” Aku berontak dari cengkeramannya.
Cooling down, Sis!” Sami bersikeras. “Jika saat ini sikapnya begitu berarti ia tak siap bicara, denganmu atau dengan kami yang lainnya.”
“Sami....” Aku merasa lelah dan putus asa.
“Apa yang harus kita lakukan?” Zara memelukku.
“Biarkan Armand dulu. Ada sesuatu yang tak kita pahami. Kalau kita langsung bertanya, aku khawatir malah memicu emosi dan menyulut pertengkaran....”
“Sekaligus perkelahian,” sela Uji sebal. Kedua lengannya terkepal dalam posisi siap tinju.
Zani protes, “Hormon cowok cuma mikir berantem mulu!” Ia ngeri kalau skizofrenik Uji kumat lagi. Tak habis pikir mengapa Zara, kembarannya, mau pacaran dengan Uji. Zani sendiri ogah punya pacar. Pacar cuma bikin ribet, katanya. Tak habis pikir dengan sikap Armand juga.
Lian mengajak kami melupakan dengan cara makan-makan. Katanya, ia yang traktir. Duit hadiah dari lomba kontes kucing yang dulu diikutinya belum habis, dapat jutaan. Jadi ia berbaik hati mentraktir kami makan apa saja di kantin. Lian ingin menghiburku juga. Sami mengomandoi ke kantin. Bersenang-senang dan sejenak melupa duka cita atas apa yang tak kami pahami tentang Armand.
Aku tak suka ide itu. Namun terpaksa kuikuti saran Sami. Kami sekarang bertujuh ke kantin. Armand tak tampak di sana. Entah di mana.
Ketika bel jam istirahat usai berdentang dan kami telah duduk manis di bangku masing-masing, Armand muncul bareng Pak Sadikin. Ia duduk di bangkunya bareng Salman alias Ical di baris belakang. Tekun menyimak pelajaran. Mengabaikan kami semua.
Begitu terus. Aku tak bisa menghampiri Armand kala pergantian jam pelajaran. Malu jika memancing keributan. Namun bel seolah memihak Armand, atau ia mulai menggunakannya pada saat yang tepat, untuk menghindar.
Jam pelajaran usai, Armand bergegas keluar. Langkahnya sangat cepat. Oh, aku lupa, ia masih atlet sekolah. Selain basket yang diikutinya bareng Sami dan Uji, ia pelari maraton yang andal. Sejak kecil selalu ikut lomba lari. Uang adalah alasan utamanya jika ikut lomba. Dan Armand sering jadi juara. Sampai sekarang saja masih ikut lomba maraton yang ada K-nya.
Aku hanya bisa terpaku di parkiran sekolah. Kehilangan jejak Armand yang sudah mengegas Terriosnya dan meninggalkan gerbang. Meninggalkanku dalam kesunyian di antara keramaian hiruk-pikuk anak-anak yang bubaran.
Bahuku ditepuk. Tanpa menoleh pun aku tahu yang melakukannya adalah Sami. Ia punya sentuhan khas yang kukenal. “ Mari kita pulang!” Kubiarkan Sami menuntunku pada Daihatsu Espass-nya. Langkahku terayun gontai. Dan air mata yang sejak tadi mengambang kini berjatuhan.
Di mobil, aku menangis lagi. Sami tak berkata apa-apa. Hanya merengkuhku, membisikkan kata-kata penghiburan. Namun yang kubutuhkan saat ini adalah kehadiran Armand!

AKU telah berupaya. Dan ini upaya kesekian kaliku agar bisa mendekati Armand hanya untuk BICARA! Aku sungguh lelah dan tersiksa memendam tanya tak berjawab. Dan aku sungguh sangat butuh JAWAB!
Armand menunduk, menghindar tatapku. Tatap yang kurasa sangat memelas. Aku sungguh nelangsa beroleh perlakuan demikian. Dihindari seolah hama tanpa tahu di mana letak salahnya.
“Kamu tak salah apa-apa,” kata Armand akhirnya.
So?”
“Aku hanya harus keluar saja dari Kelompok Delapan.”
“Karena apa? Karena aku atau demi Prita?” Sungguh pahit menyebut nama itu. Ia bidadari, penjelmaan Vanessa Paradis muda, pacar Johny Depp itu. Sanggup membuat Armand berpaling, dariku, dari kelompok kami.
“Secara tidak langsung.” Armand mengucapkannya dengan kaliamat bias. Aku bingung.  
“Apa maksudmu?”
Armand menatapku. Mata itu, aku melihat ada pijar hangat yang menenteramkan. Ia menggenggam kedua tanganku. Menyatukannya dalam kedua genggaman tangannya. Lalu mengecupnya. Aku merasa melayang. Itu masih kecupan terhangat, tidak sedingin sikapnya dulu. Tapi, Armand lalu mengucapkan kalimat yang menghempaskan, “Maafkan aku, Marisa, tapi alur hidup kita sekarang beda.”
“Apa maksudmu? Kamu memutuskanku?!” Tanganku masih berada dalam hangat genggaman Armand. Armand menggeleng.
“Aku tidak tahu. Terserah kamu. Tapi suatu saat mungkin kamu akan tahu dan mengerti.”
“Jangan berteka-teki!”
“Semua yang terjadi di luar kuasaku.”
“Kamu tak kuasa terpikat Prita?”
Armand menggeleng, kali ini wajah tampannya berubah sedih. Tangan kanannya memegang pipiku, mengusapnya. Tiba-tiba ia mendekapku. Begitu erat sampai aku merasa sesak. Armand!
“Aku harus pergi, bisiknya. “Maafkan aku, dan biarkan aku memilih alurku.”
“Alur mana?” Protesku. “Kamu tak bisa pergi begitu saja dari hidupku, hidup kawan-kawan kita, tanpa kami tahu di mana letak salahnya. Jika kami salah, setidaknya tunjukkan agar bisa diperbaiki.”
“Tak ada yang salah denganmu atau kawan-kawan kita. Aku hanya harus pergi.”
“Kamu mengkhianati kami?” Aku menangis. Armand mengusap punggungku.
“Jika itu sebutan yang tepat untukku, aku ikhlas. Tapi semua kulakukan demi kamu, Marisa. Kuharap suatu saat kelak kamu akan mengerti.”
“Kamu sakit?” Aku sungguh terkesiap dan melepaskan diri dari pelukan Armand hanya untuk melihat reaksinya atas tanyaku. Namun sekali lagi Armand hanya menggeleng. Ada senyum tipis sekaligus pahit tergurat di bibirnya.
“Selamat tinggal, Marisa....” Armand mengecup keningku lembut.
“Jangan pergi,” pintaku. “Aku tak mengerti, sungguh!”
“Kamu akan selalu melihatku, untuk saat ini, namun maaf aku tak bisa menyertaimu dan kawan-kawan kita. Aku ada di antara kalian, tapi sebagai orang luar.”
“Armand!” Kugenggam lengannya yang hendak beranjak. Erat. “Aku tak bisa kehilangan. Apalagi dalam ketidakpastian.”
“Jika kamu menginginkan Sami atau lelaki lain yang terbaik untuk hidupmu, aku ikhlas. Tapi jika kita memang jodoh, semoga suatu saat kita bisa bersatu lagi. Aku hanya harus temui takdirku.” Armand mengecup kepalaku, lalu melepaskan genggamanku. Aku ternganga. Bukan karena kecupan di kepalaku yang dalam terasa, kalimat Armand barusan tentang Sami dan lelaki lain.  Apa maksudnya?
“Apa maksudmu tentang Sami?!” seruku. Namun Armand hanya menoleh untuk tersenyum dan melambai, lalu ia menghilang di tikungan Taman Cilaki tempatnya biasa joging pagi.
Aku hanya bisa terpaku di samping kursi beton tempat kami duduk tadi. Berdiri dalam kesunyian pagi. Merasa tambah tak mengerti. Ada apa dengan Sami, tetangga sebelah rumahku yang sudah akrab sejak batita dan kuanggap abang sendiri?
Ada apa dengan Sami?! Aku ingin meneriakkan itu agar gemanya terdengar Armand. Namun gema itu hanya memantul di bilik jiwaku. Aku tak kuasa berteriak. Pagi hanya menjawab dengan angin dan helaian daun gugur. Di luar taman, suara-suara kendaraan menderum.***
Loji, 14 Juni 2012



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D