BULLYING bisa bermakna
penindasan, penggencetan, penggertakan, atau pengancaman. Sebuah kosakata tidak
baru yang seakan membaru di zaman sekarang ini. Dan anak-anak kerap menjadi
korban, baik dari teman sebaya atau orang dewasa!
Anak,
bagaimanapun, adalah insan lemah yang masih butuh bimbingan dari orang dewasa.
Pola pengasuhan orangtua bagaimanakah yang akan membuat anak aman dari tindakan
bullying sekitar? Atau tidak menjadi
pelaku bullying alias pem-bully sendiri?
Palung,
anak saya yang masih balita kerap di-bully
anak tetangga kelas 5 MI kampung kami. Saya heran dengan pola asuh orangtuanya karena membiarkan anak tersebut
menjadi biang onar di sekitar, menganggu anak lain yang lebih kecil pula dengan
cara memukul, termasuk kebiasaan mencurinya yang akut sehingga mendapat stigma
negatif dari lingkungan. Anak pencuri karena orangtuanya terbiasa mengambil
yang bukan haknya, entah di kebun atau tempat orang lain dengan alasan
kemiskinan atau kemalasan. Anak pem-bully
karena orangtuanya terbiasa bersikap seenaknya dan sok berkuasa terhadap orang
lain dalam ucapan dan tindakan.
Ketika
biang onar itu dimarahi tetangga karena merusak properti pekarangan rumah,
ibunya malah tidak minta maaf pada tetangga itu. Pembiaran demikian tidak cuma
bisa menimbulkan rasa sakit hati pada orang lain, merusak anak tersebut untuk
beroleh label “abadi”.
Elia
Daryati dan Anna Farida penulis buku panduan fungsi keayahbundaan (parenting), membahas soal bullying dalam buku Parenting with Heart, Menumbuhkan Anak dengan Hati (Kaifa, Maret 2014).
“Bullying melibatkan tiga pihak:
penindas, korban, dan penonton. Penindas dan korban memiliki posisi yang jelas;
yang satu merasa ‘puas’, sedangkan yang lain sedih. Yang galau adalah para
penonton. Ketika anak-anak menyaksikan temannya ditindas, apa yang mereka
rasakan? Kebanyakan ingin membantu tapi takut, dan akhirnya memilih diam.”
Penyebab
apakah kian maraknya bullying
sekarang ini? Pengaruh media massa cetak dan elektronik dengan bias gaya hidup
hedonis dan kian permisif? Internet yang mudah diakses anak? Pergeseran peran
dan fungsi keayahbundaan sendiri? Mulai lunturnya tatanan moral dan spiritual
masyarakat? Atau sekadar pengaruh strata sosial?
Ketika
kanak-kanak, saya alami juga kasus di-bully
anak lain, kebanyakan pelakunya anak yang merasa diri dominan dalam
lingkungan dan pergaulan. Seiring usia saya sudah mulai bisa menjaga diri.
Lingkungan sekolah saya di SMU Al Fatah wilayah aman dari pem-bully-an. Entah karena masa itu hubungan
antara senior dan junior seakan tak lebih dari satu keluarga yang akrab dan
damai, atau kekerasan di tahun 1994-1997 bukanlah tren di Kecamatan Balubur
Limbangan.
Sekarang?
Keponakan perempuan saya yang sekolah di SMK swasta kecamatan mengeluh kerap
di-bully senior sampai teman
sekelasnya sendiri. Saya heran betapa kerasnya kehidupan remaja zaman sekarang.
Heran betapa agresifnya gadis remaja sehingga persaingan dan klik menciptakan konflik tidak perlu.
Entah demi eksistensi diri atau timpangnya fungsi keayahbundaan di rumah.
Tekanan
ekonomi bisa menyebabkan ibu harus bekerja bahkan sampai merantau ke luar
negeri, ayah sibuk sendiri atau abai di rumah, ada juga orangtua yang kualitas
hubungan kekeluargaan di dalam rumah tidak maksimal, sedangkan tatanan norma
sosial di kampung yang semula ketat mulai bergeser longgar; jadilah anak
berbuat sesuka hati dalam hal gaya hidup, berbusana, tutur kata, sampai
tindakan lainnya sebagai cara beroleh perhatian.
Kita
hidup di zaman yang penuh pergeseran, kemajuan teknologi jika tidak dibarengi
dengan kebijakan pemikiran maka akan cenderung destruksif/merusak. Elia dan
Anna memandu orangtua yang anaknya di-bully.
“Saat anak masih mengumpulkan keberanian untuk berpihak kepada yang benar, yang
harus kita lakukan adalah memberikan dukungan atau penguatan. Jika kita terus
mendesaknya untuk membuktikan keberanian, memaksanya untuk melawan, mencelanya
ketika dia takut, jangan-jangan kita juga telah memosisikan diri sebagai
penindas.”
Pertanyaan
penting lainnya, bagaimana panduan untuk orangtua yang anaknya senang mem-bully?***
Cipeujeuh, 9 Oktober
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D