Calon Novel [Tak Jadi] Rohyati Sofjan
/
Untuk Ujianto Sadewa
Dulu
kau pernah meminta agar aku
menulis
kisah perihal psikopatku;
ini
hanya upaya untuk mengenal
kembali
ceceran mosaik kenangan
dari
hidup yang taksa.
FRAGMEN SATU
Date Rape 1994
Jumat
Agung
Mendung memayungi
langit Kota Bandung di bulan November yang murung. Udara sengak seperti ada
badai menggantung. Sayup-sayup terdengar khotbah Jumat dari masjid di dalam
kompleks perumahan mewah Jalan Gatot Subroto, Kiaracondong. Dibatasi tembok
tebal yang memisahkan dengan wilayah Warung Jambu. Waktu menjelang Zuhur.
Hanya sebagian
dari penghuni kompleks perumahan itu yang peduli untuk menghadap Sang Maha
Penyeru dan mengambil jeda demi peribadatan khusuk atau terpaksa.
Khotbah usai.
Berganti iqomat salat Jumat yang
bergaung memenuhi udara padat partikel, membentur dinding sebuah rumah megah
bertingkat dua dengan pintu garasi terbuka dan memperlihatkan sedan Civic putih
keluaran terbaru yang masih mengilat. Halaman depan rumah tampak asri dipenuhi
aneka tanaman hias dan pepohonan muda. Rerumputan dan dedaunan menghijau segar
setelah kemarin diguyur hujan.
Hanya ada
sepasang insan berlainan jenis dan usia yang menghuni rumah itu, tak
memedulikan seruan azan sebab ruangan dipenuhi suara riuh yang lain dari tape buatan Jepang. Ariana dan Kevin.
Ariana, baru 15
tahun, tinggi 160 cm lebih, sedang membolak-balik album foto keluarga pemilik
rumah. Ada foto Agi adik tiri Kevin yang lucu dan masih bayi, selain dirinya,
Kevin, Nio, beberapa wajah dalam beberapa peristiwa, dan Renata!
Foto Renata
diambil Kevin secara diam-diam ala paparazi di sekolahnya. Manis, mungil,
sedang berjalan sendirian sambil makan cemilan dari kantin melintasi lapangan
luas tempat kendaraan biasa parkir, untuk menuju kelasnya di jam istirahat.
Waktu itu Renata
masih kelas 3 SMP. Berjilbab sebagai uniform
wajib sekolahnya yang berbasis agama Islam ketat. Akan tetapi, ia sendri bukan
jilbaber yang baik untuk memahami ajaran agamanya, masih ABG yang mudah terpengaruh
dari keluarga sekuler, pencinta dunia populis yang sering teriritasi.
“Mengapa kamu
pajang foto ini?” Ariana memecah hening, mengguratkan ketidakpahaman akan foto
yang telah Kevin ambil sejak tahun lalu. Sekarang ia (Ariana, dan juga Renata)
telah duduk di bangku kelas satu SMU.
“Iseng saja!”
Kevin menyahut sambil tertawa senang menyaksikan ekspresi Ariana yang heran. ”Lagi
pula,” ia menambahkan pada gadis yang duduk di samping kirinya, ”untuk
menambah ruang di album itu agar tak kosong.” Ia mengangkat bahu, mereguk
kaleng cola hingga tandas isinya. Meletakkannya di atas meja, dan tak peduli.
Gelegar Deep
Purple merambah ruangan dan kepalanya yang mumet dipenuhi
kebencian! Suasana
sepi. Tadi Bibi, pembantu keluarga Kevin yang setia, ke pasar dan sampai
sekarang belum kembali.
Ia menoleh ke
samping. Ariana masih khusuk dengan albumnya. Gadis itu tidak sadar atau tidak
peduli diperhatikan sang pacar. Kevin menyeringai. ”Kamu lapar?” meski mereka
sudah makan kue tart.
“Belum.” Ariana
menjawab tanpa menoleh ke arahnya. Gadis itu berkesan introfer dan tak
pedulian. Itu membuat Kevin gemas untuk semakin dalam merambah wilayah
penaklukan.
Kevin, 180 cm
lebih, agak kurusan daripada dulu, blasteran Indonesia-Amerika, atau indo atau mestiza; berambut hitam pendek agak ikal
dengan alis tebal dan mata biru terang. Baru diterima di sebuah universitas
Kota L.A. setelah sebelumnya hengkang dari London dan sedang bosan. Dulu
tinggal di London sekadar ikut maminya yang telah menikah lagi dengan seorang
pengusaha keturunan Tionghoa asal Indonesia yang berbisnis di sana.
Sejak orangtuanya
bercerai, Kevin, yang pada dasarnya sudah hilang pegangan, kian tak berpegang.
Tidak tahu harus tinggal di mana. Rumah keluarganya di Beverly Hills seolah rumah
mati.
Sejak kedua orang
tuanya bercerai, karena Papi diam-diam menikah lagi dengan sekretarisnya,
masing-masing memilih tempat tinggal yang berbeda. Mami tinggal di London
bareng suami barunya. Papi masih di L.A. cuma sekarang beda wilayah, tinggal dengan
istri mudanya.
Kevin?
Luntang-lantung seperti dulu. Kadang menclok di rumah keluarganya, mencium
hangatnya matahari Beverly; kadang di Bogor sekadar menemani neneknya dari pihak
Papi, dan menyusuri jalanan yang selalu diguyur hujan, di kota itu Kevin
menyelesaikan SMA-nya; kadang di Bandung seperti sekarang ini. Pernah juga di Manila
untuk ikut kakeknya yang bekerja di atase perdagangan Amerika. Itu membuatnya
menguasai beragam bahasa. Lagi pula, dalam darahnya mengalir sungai lintas
benua dan budaya. Latin, Eropa, Amerika, dan Asia.
Namun apakah ia
bahagia?
Ia sengaja pulang
ke Indonesia dengan alasan yang menyesakkan dada, sengajaliburan musim gugur
karena masalah keluarga. Selain itu, ada hal tertentu yang membuatnya ingin
pulang dan dekat Ariana dengan alasan merayakan ulang tahunnya yang ke-19.
Kevin ingin memberi hadiah bagi dirinya berupa: menuntaskan dendam!
Ia terus
memerhatikan Ariana dengan rambut keriting spiral yang panjang dan
mengingatkannya pada seseorang. Mencoba mencari kemiripan dari sosok yang agak
gemuk besar. Ariana tidak bisa dikatakan cantik. Kulit sawo matangnya cenderung
memperlihatkan kesan manis. Bahkan wajahnya tak mudah menarik perhatian lelaki pemuja
fisik pada pandangan pertama.
Namun ia
mengingatkan Kevin pada sosok lain: keseluruhan fisik dan kepribadian yang
membuat sakit itu kian menggumpal.
Akan tetapi,
Ariana, seperti seseorang di masa lalunya, punya daya tarik. Pancaran inner beauty-nya membuat ia disukai
orang yang mengenalnya cukup baik, meski terkadang bisa juga menyebalkan.
Barangkali karena itu Renata tetap lengket dengannya meski telah pindah rumah
ke luar kota, nun di Garut sana.
Secara
keseluruhan, Kevin menilai, kedekatan Ariana dengan Renata mengganggunya untuk
alasan yang membuat api kebencian itu kian berkobar.
Apa salah Renata?
Ia hanya terlalu lugu (atau goblok, dalam bahasanya) sebagai gadis muda yang
berusaha meniti makna usia. Renata tuh si kurus mungil bertinggi sekira 150 cm,
baru 19 tahun 11 hari November ini. Berdasarkan info dari Ariana, Renata pernah
berhenti sekolah selama 3 tahun karena suatu hal yang membuatnya terpaksa
selevel dengan Ariana.
Jika Renata
normal, Kevin kembali menilai, akan selevel dengannya dari segi strata
pendidikan. Namun apa yang bisa diharapkan dari gadis yang sejak usianya 6
tahun telah menjadi seorang tunarungu tanpa pernah memakai alat bantu dengar?
Barangkali kesangsian! Seringai Kevin kian lebar. Untung tak ada yang
memerhatikan.
Ariana telah usai
menyimak album itu dan ia tampak bosan. Apalagi kemudian Kevin bercerita
tentang ini-itu yang melintas di kepala. Bagi Ariana, Kevin sosok besar yang
terkadang bermulut besar, bicaranya lancar sekaligus lancang.
Ia tidak tahu
mengapa harus mau berada di sini. Juga tidak tahu mengapa harus jadian dengan
Kevin. Lelaki itu sejak pertama kali kenal telah mengejar-ngejarnya. Ia
tersanjung namun tak yakin menyukainya. Ia mau saja menjadi pacar Kevin dengan
alasan tak benar: kasihan pada kegigihannya.
Sedang cinta? Apa
sih cinta itu? Ia masih remaja untuk paham keseluruhan makhluk bernama cinta.
Ia pacaran dengan Kevin bukan karena tak ada pilihan. Ia bebas memilih dan
punya sederet daftar nama lelaki pengagumnya. Ia pacaran dengan Kevin karena
bosan dikejar-kejarnya, titik!
Dan Renata tidak
tahu hubungan mereka. Ia terpaksa merahasiakannya. Kevin yang meminta dengan
alasan menjaga perasaan Renata.
Huh! Padahal Renata, yang tak
terpahamkan itu, sibuk menyukai lelaki lain! Kalaupun menyukai Kevin,
perhatiannya sulit dikategorikan sebagai naksir. Renata tuh si mudah kagum pada
hal-hal baru yang terasa ajaib, keren, asing, dan sebangsanya.
Sebenarnya Ariana
geli, namun mau bagaimana lagi, Renata adalah sahabatnya. Orangnya sederhana
dan apa adanya, kadang juga tak apa adanya namun tetap sederhana. Dan Ariana
memercayainya sebagaimana Renata memercayainya pula. Sekarang, karena seorang
Kevin, lelaki asing dari negeri lain, akankah mengacaukan persahabatan mereka?
Lucunya, Renata
menganggap Kevin sebagai seseorang yang layak disebut sahabat. Pernah juga mereka
saling kirim surat, dan Ariana yang (terpaksa) jadi tukang posnya!
Mengingat Renata
yang nun jauh sana membuat Ariana ingin pulang saja. Ia capai. Masih ada PR
yang harus dikerjakannya. Jika sudah bersama Kevin, kadang membuatnya sulit
pulang. Kevin selalu punya alasan untuk menahan. Semacam melepas kangenlah
karena pertemuan mereka termasuk kesempatan langka dan ia telah menempuh jarak
ribuan mil demi Ariana.
Tadi siang,
ketika bubar sekolah, di pintu gerbang, Kevin membuat kejutan setelah sekian lama
tak berkabar. Ariana senang melihatnya. Mengiyakan ajakan lelaki itu untuk main
ke rumahnya. Merayakan ulang tahun Kevin berdua saja. Meski sudah lewat tiga
hari dari tanggal semestinya.
Ariana menguap.
Mengibaskan kepalanya yang pegal. Tersenyum pada Kevin dan mengambil kaleng
cola, mereguknya sedikit saja. Kevin masih bicara soal cuaca dan suasana
kampusnya di L.A. sana, seolah-olah Ariana tidak tahu apa-apa.
Alis Kevin
mengerut melihat kuapan Ariana. ”Kamu ngantuk?”
“Boleh lihat
pajangan boneka itu?” Ariana malah menunjuk ke arah lemari di dekat mereka. Ia
lebih tertarik pada isi lemari itu daripada pembicaraan Kevin.
Kevin mencoba
menekan rasa jengkelnya karena ketidakpedulian Ariana yang lebih sering diam. ”Silakan.”
Dipersilakan
seperti itu, Ariana langsung beranjak ke arah lemari besar berisi pajangan
koleksi pribadi Kevin. Ia cuma penasaran pada bentuk boneka Sailor Moon kecil. Bagus dan unik, pikir
gadis itu. Asyik mengamati dan memegangi benda-benda yang tak pernah
dimilikinya. Kevin tuh berasal dari keluarga tajir!
Ariana cuma suka
melihat saja tanpa tertarik untuk memiliki hal demikian. Ia sudah merasa cukup
dengan hidupnya. Lagi pula, Renata tak seberuntung dirinya dalam hal materi,
itu membuatnya mencoba melihat ke bawah. Namun orang macam Kevin barangkali tak
paham karena serba berkelebihan. Kadang-kadang Ariana merasa di antara mereka
ada semacam jurang.
Menyaksikan
Ariana asyik sendiri dengan Sailor-nya
membuat pikiran Kevin kian liar. Apakah sekarang saatnya? Ia tersenyum,
memperkeras volume tape-nya, kali ini
lagu ------- dari Led Zeppelin menggelegar. Ia suka Zeppelin. Entah mengapa
mereka memberi nama demikian. Kevin serasa ingin terbang dengan balon udara,
melayang di angkasa, terbebas dari segala kesesakan penjuru dunia.
Dan ia melayang
mendekati Ariana. Sekaranglah saatnya. Dengan gemetar diberanikan dirinya untuk
melakukan hal yang biasa ia lakukan pada gadis lain: gadis kategori gampangan.
Akankah Ariana gampang? Inilah ujian untuk mendapatkan jawabannya.
Ia mendekat. Kian
mendekat, boleh dikata mengendap, di belakang punggung Ariana. Dan kedua
tangannya melingkar dengan cepat di dada gadis itu. Menekankan tubuhnya ke
belakang tubuh Ariana. Begitu keras dan kuat.
Ariana melonjak
kaget. Mencoba membebaskan diri dari belitan tangan nakal Kevin yang melingkari
sekaligus mengunci lengannya. Ia pikir lelaki itu cuma bercanda. Akan tetapi,
dirasakannya tangan itu kian keras dan kasar menekan dirinya, memberi reaksi
baru berupa sakit dan panik.
“Kevin, lepaskan!”
Kevin tertawa.
Lepaskan? Hahaha, impossible! Tahu
rasa sekarang. Lagi pula, mana mau ia melepaskan mangsa yang telah sekian lama
diincarnya.
“Kevin, lepaskan!”
Ariana kembali mengulang, boneka Sailor
yang dipegang terlepas membentur lantai, memberi tambahan bunyi asing bagi rasa
panik yang kian gencar menghantam, membuat perutnya mual, wajahnya memancarkan ketakutan.
Takut membayangkan hal-hal yang tak diinginkannya, apalagi hanya ada mereka
berdua.
Di telinganya
Kevin mendengungkan tawa keras dan kata-kata yang membuat wajahnya menggelap
ditelan kemarahan. Kali ini ia marah! Rontaannya hanya membuat Kevin kian
bersemangat untuk menaklukkan dengan kasar. Tanpa pikir panjang lagi, ia
gunakan kaki kanannya untuk menendang ke belakang. Ia harus dan hanya ingin
membela diri. Kali ini Kevin telah keterlaluan. Bercanda yang kelewatan. Dan
apa katanya tadi? Mengerikan!
Kevin merasa ada
benda keras menghantam bagian bawah tubuhnya dalam satu tendangan telak. Ia
merasakan sakit yang luar biasa. Limbung. Melepaskan pelukannya. Dan
terjengkang ke belakang dengan kepala menghantam lantai. Ia merasa pening dan
gelap.
Panik dan
bingung, Ariana berbalik. Dilihatnya Kevin terkapar seolah tak sadar. Masih
dalam percampuran rasa marah dan kalut, Ariana menghampiri lelaki yang dalam
hitungan entah berapa detik tadi mencoba melakukan kejahatan seksual. ”Kevin!”
Tak ada reaksi.
Ia
mengguncang-guncang tubuh Kevin yang seolah tenggelam dalam keterpejaman.
Masih hidupkah?
Dirabanya leher lelaki itu, masih ada panas dan denyut. Berarti hidup. Namun
apakah Kevin hanya bersandiwara seolah-olah pingsan atau memang benar-benar
pingsan? Bagaimana jika koma karena gegar otak di kepalanya?
“Kevin bangun,
bangun! Kamu tidak apa-apa?” Nihil. Ariana berteriak memanggil siapa saja
dalam kenihilannya sembari mengguncang-guncang tubuh Kevin. Dan waktu berlalu
dari detik menuju menit, ia merasa terjebak dalam ruang hampa yang lama. Udara
seolah memanas, keringat dingin meleler dari kening gadis itu dengan deras. Ia
panik dan gugup, sekaligus gemetar dan takut.
“Tolong!” Kali ini
menaikkan oktaf suaranya, berharap ada yang mendengar dan bisa menolong
membebaskannya dari suasana ganjil. ”Tolooooong!”
Ada langkah kaki
mendekat. Seperti bergegas, dari lantai atas. Menuruni tangga, menuju sumber
suara. Tepat di anak tangga terakhir menuju ruang keluarga, langkah itu
terhenti. Mematung.
Ia Anton, anak
angkat Bibi, masih 2 SMP. ”Apa yang terjadi?” Sambil gegas menghampiri.
Syukurlah. Ariana
lega melihatnya. Namun ia harus membuat alasan. ”Tadi Kevin jatuh.” Singkat
saja. Sungguh ia tidak ingin dicecari setelah apa yang terjadi. Ia ingin segera
pergi! Lagi pula, ia tidak tahu apakah Kevin serius pingsannya atau cuma
bersandiwara.
Anton menatapnya
dengan aneh. Seperti heran campur curiga. “Jatuh?” ulangnya begitu saja,
setengah tak yakin. Lalu mengguncang tubuh Kevin. Tetap tak ada reaksi.
“Aku harus
pulang.” Kata Ariana seperti suatu keputusan yang tak terbantahkan. Diraihnya
tas dari kursi. ”Semoga ia lekas sadar.” Ada gemuruh menghantam dada Ariana,
kemarahan yang belum usai bergumpalan.
Anton cuma
mengangguk saja dalam kebingungannya. Tadi ia tidur, begitu pulas. Jujur,
sepulang sekolah ia tidak ikut salat Jumat, alasannya malas. Tadi ia seolah
bermimpi mendengar orang berteriak minta tolong. Ia tidak tahu apakah masih
bermimpi sebab dihempaskan pada suasana ganjil ketika anak majikannya terkapar
di lantai dengan seorang gadis setengah histeris. Ia mengendus aroma tak beres.
Namun, ah, punya hak apa ia menilai? Ia merasa bukan apa-apa di tempat ini.
Dan Ariana
seperti setengah berlari dari ruangan ini. Anton pusing.
“Eh, Mbak!”
begitu saja ia berteriak mencoba memanggil Ariana kembali sebab tak tahu apa
yang harus dilakukannya.
“Aduh….” Ada
suara dari sosok yang dipegangnya. Anton kaget.
“Eh, Brother? Sudah sadar?”
Lelaki itu
meringis. Kemudian bangkit dipapah Anton menuju sofa panjang yang tadi. ”Ambilkan
es batu untuk mengompres, please,”
perintahnya.
Anton mengangguk,
”Brother tak apa-apa?”
“Hanya pening.
Sekalian dengan air minum.” Kevin memegangi kepala dan selangkangannya,
Aduh!
Bergegas Anton ke
dapur mengambil pesanan Kevin. Agak panik sehingga tak sengaja menyenggol botol
Sunkist di atas meja dekat tumpukan serbet bersih. Untung tak pecah, kalau
tidak, isinya akan berceceran di lantai. Dan ia tak ingin membuat kekacauan.
Diambilnya baskom
kecil dan membentangkan serbet itu, kemudian membuka kulkas dan mengambil es batu
secukupnya. Sekalian jug air minum
dingin. Menuang es ke atas serbet lalu melipatnya. Menaruh baskom itu ke atas
baki beserta jug dan gelas panjang.
Lalu bergegas kembali ke ruang tengah.
“Ini, Brother. Perlu yang lain?” tanya Anton
sambil menuang air ke dalam gelas.
Kevin mengompres
belakang kepalanya dengan es. ”No, thank you,” ujarnya lemah. Menerima gelas yang disodorkan Anton dengan
ekspresi marah, ”I want alone, now!”
“Saya ke dapur,”
kata Anton segan.
“Tolong bereskan
dulu semua kekacauan ini!” Kevin menunjuk meja yang berisi bekas pesta, lalu
ceceran Sailor Moon di lantai. ”Yang
itu buang saja.” Dengusnya sambil beranjak meninggalkan ruang tengah menuju
tangga, agak sempoyongan. “Aduh, sialan!” sambil memegangi belakang kepala dan
tangan kirinya mengusap selangkangan. Meninggalkan Anton yang
terbengong-bengong.
Di luar, udara
membentuk gumpalan tersendiri.
Ada suara pintu
kamar berdebam.#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D