Oleh:
ROHYATI SOFJAN
APAKAH sebenarnya
definisi kejahatan seksual pada anak itu? Perkosaan pada bayi, balita, atau
anak-anak di bawah umur; baik pada perempuan
maupun lelaki, yang dilakukan oleh lelaki atau perempuan. Pada umumnya
dilakukan secara paksa, dengan bujukan halus atau kekerasan. Dan hal itu saja
sudah menyeramkan.
Definisi
lain dalam tingkat “ringan”, adalah pelecehan seksual secara fisik atau verbal.
Dari rabaan atau ucapan tak senonoh. Pemberian konten pornografi. Sampai
mengajak dan atau memaksa anak untuk melakukan aktivitas seksual oral.
Yang
terparah, tentunya memperjualbelikan anak untuk pemenuhan aktivitas seksual
orang dewasa. Betapa anak pun sangat rentan untuk menjadi korban human trafficking -- perdagangan
manusia. Apa pun alasan yang dilakukan orang dewasa untuk menjual anak, entah
pelakunya orangtua kandung, penculik, atau pimp
(mucikari/germo), bagi anak-anak yang jadi korban tentunya akan meninggalkan
nyeri jiwani dan trauma mendalam.
Lingkungan
seakan tidak lagi aman bagi anak. Dunia dalam dan luar menjadi tempat
berbahaya. Para pedofilia selalu mengintai di mana-mana. Orang tua dan orang
dewasa yang peduli anak hendaknya waspada menyikapi kejahatan seksual yang kian
marak bahkan brutal pada anak.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah
melontarkan gagasan untuk menghukum berat bagi pelaku kejahatan seksual terhadap
anak-anak (Republika, 6 Maret 2015).
Bukan tanpa alasan MUI demikian. Kekerapan peristiwa kejahatan seksual yang
menimpa anak-anak telah berada di tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Akan
membawa dampak bola salju raksasa yang terus menggelinding. Anak yang menjadi
korban tidak cuma memendam trauma, selain fisik dan psikisnya yang dirusak,
kelak ia akan merusak diri atau turut merusak anak lain pula -- sebelum atau
sesudah dewasa.
Dan DPR akan mempertimbangkan fatwa MUI
untuk menghukum pelaku kejahatan seksual pada anak dengan hukuman penjara
seumur hidup hingga mati. Jika DPR serius menanggapi hal demikian, tentunya
harus segera selesai mendefinisikan kejahatan seksual yang dirumuskan secara
komprehensif agar hukuman berat tersebut (penjara seumur hidup dan dihukum
mati), bisa disahkan dalam perundang-undang hukum pidana dan beroleh landasan
hukum yang kuat.
Jika menelaah kasus tersebut, ada
politikus yang menanggapi agar ada kajian mendalam yang melibatkan aspek
yuridis, psikologis, sosiologis, dan filosofis. Hal tersebut memang perlu
dipertimbangkan namun janganlah pada akhirnya akan membuat DPR ragu bahkan
makan waktu untuk menerapkannya dalam undang-undang yang sah demi perlindungan
anak.
Fatwa yang diberikan MUI merupakan
akumulasi dari saran dan desakan masyarakat luas yang kian geram dengan
meningkatnya grafik kejahatan seksual pada anak. Dan jika fatwa tersebut
ditanggapi secara positif oleh pemerintah, dengan memberikan kejelasan akan
penerapan pemberian hukuman bagi pelaku tindak kejahatan seksual pada anak,
semoga pula masyarakat beroleh perlindungan payung hukum yang menaungi anak.
Anak-anak yang diperdagangkan dalam
ranah pelacuran adalah korban laten. Mereka harus menanggung kesuraman hidup
tanpa masa depan gemilang, dibayang-bayangi kekerasan dan penyakit seksual
menular. Tanpa jaminan kesehatan dan pendidikan yang memadai. Diam-diam setiap
kota besar memiliki wajah pelacuran terselubung bagi anak.
Dalam buku Princess, seorang putri dari Bani Saud, anggota keluarga kerajaan
Saudi, harus menyaksikan bagaimana saudara lelaki dan teman lelakinya membeli
anak perempuan yang masih kecil dari seorang ibu di Mesir yang tega menjual
anaknya untuk memuaskan nafsu bejat mereka.
Ada kasus menarik tentang kisah guru
honorer di sebuah SD di Limbangan, Garut, yang melakukan kejahatan seksual pada
anak didiknya, menyodomi murid lelakinya hingga terluka parah secara fisik dan
psikisnya. Terungkap bahwa guru yang gemulai itu tidak tertarik pada perempuan,
lebih doyan pada lelaki karena pernah menjadi korban sodomi pula kala ia masih
SD yang dilakukan oleh pekerja bangunan sekolah.
Masa depan selaku lelaki sejati itu
telah dinodai, dan sang guru malah melanjutkan “tradisi” demikian pada anak
didiknya yang harus ia ayomi. Kejahatan seksual pada anak dampaknya besar,
turut merusak generasi selanjutnya. Jika secara kejiwaan pengayom itu telah
dirusak dan membejatkan diri, bagaimana dengan nasib korban yang telah
disodominya atau korban-korban lain yang telah dipeluk dan diraba-raba serta
diajak menonton film porno pada malam kejadian menginap di sekolah untuk acara
seni itu? Pengalaman tersebut bisa turut merusak anak-anak yang menjadi korban
untuk merasakan hal yang tidak sepatutnya.
Di sinilah bahaya mengintai anak, dan
anak-anak pun bisa menjadi pelakunya kelak. Diharapkan fatwa MUI bisa menekan
laju kejahatan seksual pada anak. Anak-anak adalah generasi penerus dan harapan
bangsa. Jika anak-anak dirusak, bukan mustahil akan turut membinasakan bangsa.***
Cipeujeuh,
7 Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D