SEJARAH naksir
dari zaman ABG sampai sebelum menikah, saya ternyata cenderung menyukai lelaki
berkulit gelap daripada terang. 4 pendahulu dari 5 lelakinya rata-rata berkulit
sawo matang yang cenderung agak sampai gelap. Tidak terlalu hitam namun
menandakan sering terpapar sinar matahari karena aktivitas di luaran. Dan
disadari atau tidak, bagi saya itu memberi kesan menarik karena terlihat
jantan.
Harap maklum, karena kala itu sebagai anak sekolahan, saya pun penyuka
aktivitas di luaran. Merelakan kulit wajah sampai rambut terbakar sinar
matahari kala berjam-jam latihan karate yang biasanya di luar ruangan. Dan kala
ujian kenaikan sabuk, malah terkagum-kagum pada cowok kurus berkulit gelap
pengawas ujian, bersabuk cokelat yang bisa jadi sudah mahasiswa, daripada sensei (guru karate) sendiri yang
tegap, ganteng,
sekaligus putih kulitnya.
Saya kala itu tidak terpikir untuk naksir guru latihan karate sendiri karena tanpa disadari menganut
prinsip pantang jatuh cinta pada guru mana pun. Tapi boleh kan flirting
sama yang bukan guru saya? Lucu juga mengingatnya karena ia tahu saya terus
memerhatikannya, nyaris lupa pada cowok
lain yang sudah lama saya taksir sejak hari
pertama bertemu di sekolah, teman lain kelas yang juga sedang ikut ujian.
Sama berkulit gelap, namun untuk sementara waktu terkalahkan pamornya oleh yang
ber-tone lebih menarik.
Saya tidak tahu apakah kala zaman sekolah saya termasuk perempuan yang
menarik di mata kaum lelaki, karena kulit saya tidak putih mulus. Dari warna
asal kuning langsat jadi cokelat macam sawo matang karena aktivitas luaran.
Namun kala itu saya merasa nyaman dengan diri sendiri. Bahagia menikmati
kegiatan yang saya suka dan tidak memikirkan definisi cantik maupun warna kulit.
Teman saya ternyata rata-rata penyuka lelaki berkulit gelap daripada
terang, pun dengan alasan lebih jantan.
Reni, sahabat saya di
Bandung, yang pacaran dengan teman sekaligus tetangga masa kecil saya, dengan jujur
bilang lebih suka lelaki berkulit gelap, malah
mantan pacarnya hitam manis. Berbeda dengan adik perempuannya, Reni kulitnya
cenderung sawo matang dan ia tidak berpikir untuk pakai krim pemutih wajah.
Saya bengong mendengar pengakuannya, ia yang pacaran dengan Tito yang kulitnya
putih karena faktor turunan, ternyata punya definisi berbeda tentang tone lelaki. Dan lucunya Tito menyukai tone kulit Reni yang agak gelap dengan alasan manis banget. Sedang saya
sendiri kala itu sedang jatuh cinta pada seorang lelaki yang
kebetulan kali ini kulitnya lebih putih karena faktor turunan dan pekerjaan in door.
Apakah jadi putih seperti yang digembar-gemborkan iklan itu penting?
Sehingga orang mengekor definisi cantik
produk pemutih yang cuma mewah di iklan saja? Sebab selera personal
seakan diabaikan. Tidak semua orang melihat kulit luar. Apa pun tone-nya yang penting sehat dan terawat.
Memang menjadi putih terlihat lebih menarik, Jadi kinclong gitu. Namun jika
alam telah memberi kita tone yang tak
ideal, haruskah mati-matian mengubah diri? Bahkan dengan produk yang
bisa jadi tak aman.
Seorang teman dengan bangga menunjukkan krim pemutih wajah yang katanya
buatan Tiongkok, salep
mahal yang membuat kulitnya lebih bersinar.
Saya diam, apakah ia tidak terpikir bisa mengikis kulit luarnya atau kulit
yang sudah mati dengan jeruk nipis atau lemon misalnya, yang kadang-kadang saya
pakai bukan untuk sekadar memutihkan saja melainkan untuk mengatasi kulit
berminyak. Lebih murah dan aman. Tidak perlu kuatir iritasi atau harus alami
proses sengsara karena kulit mengelupas tanda produk sedang
bekerja seperti yang dialami teman saya itu. Tidak lucu jika bibir sampai harus
bengkak atau mata jadi sembab
gara-gara efek pengelupasan.
Kerabat saya justru kapok gunain
salep demikian, wajahnya sampai terbakar dan kulitnya jadi gelap. Ia yang ingin
lebih cantik dan putih beroleh hal lain, kecantikan alaminya menghilang plus
jadi lebih sawo matang
yang terlalu “matang”.
Kalau sudah demikian,
kecantikan dengan asas putih adalah semacam “budaya baru” yang sulit kita
abaikan. Selalu saja ada penganut asas demikian di belahan dunia ini. Kita
boleh saja heran, namun barangkali penganut asas tersebut bisa jadi malah akan
terheran-heran kalau dipertanyakan.
Jadi, berbahagialah yang
tak merisaukan warna kulit, entah dengan alasan apa pun. Karena yang terpenting
kita bisa hidup bebas dari rasa terintimidasi apalagi diskriminasi.***
Rohyati Sofjan, blogger yang kini berumah di lokasi
susah sinyal sehingga sulit internetan dan statusnya sebagai blogger terancam kandas ditelan jaringan