Litera
Tiga Tahun yang Hilang
Oleh Rohyati Sofjan
*Penulis Lepas Cum Ibu Rumah Tangga,
Tinggal di Limbangan, Garut
A
|
pa yang dirasakan seorang anak ketika harus
berhenti sekolah dengan alasan cacat fisik? Dan bagaimana peran orang tua
sendiri agar anak bisa tumbuh kembang dengan baik; secara psikologis dan
kognitif?
Setamat SD saya dengan sangat terpaksa tidak
bisa melanjutkan sekolah. Bukan tidak ingin atau tidak mampu, tetapi ketulian
saya sudah pasti akan sangat menghalangi untuk bisa belajar di sekolah umum
yang diperuntukkan bagi “anak-anak normal”. Ya, kala SD saya terpaksa menjalani
hari di sekolah umum karena keadaan. Saya sudah telanjur masuk kala orang tua
tidak menyadari adanya kelainan pada telinga saya. Seingat saya, awal mula
kehilangan pendengaran terjadi sejak usia 6 tahun, dengan sebab misterius. Saya
tak ingat apakah karena infeksi telinga, pemukulan, atau apa. Yang jelas saya
sangat tersiksa menjalani hari di sekolah umum, banyak tidak mengertinya. Untuk
pelajaran yang didiktekan saja harus “mencontek” catatan teman sebangku.
Para guru sudah mengeluhkan keadaan saya
pada orang tua, bukannya memindahkan saya ke SLB agar bisa beroleh suasana
belajar yang nyaman dan kondusif, orang tua malah bolak-balik memaksa saya
mengikuti beragam pengobatan. Dari yang medis sampai non-medis, dari yang masuk
akal sampai kebangetan, dan tak satu
pun akhirnya berhasil. Barangkali telinga saya sudah rusak parah. Error dalam saraf yang memengaruhi
kinerja panca indra.
Barangkali berat bagi orang tua untuk punya
anak yang masuk kategori cacat. Ayah saya yang berpendidikan tinggi harus
mengalah pada ibu yang cuma sekolah sampai kelas 2 SR dan berasal dari kampung
dengan pola pikir sempit. Kendali akan pengelolaan uang yang buruk oleh ibu
membuat ayah yang belum setahun pensiun sebagai PNS sepertinya tak mampu
memasukkan saya ke SLB yang jauh dari rumah. Jangankan saya, abang saya pun
tidak diizinkan melanjutkan ke STM dengan alasan tidak serius belajar.
Harus saya akui, ada ketidakseimbangan dalam
harmoni keluarga. Peran orang tua sebagai pembina keluarga agar anak-anak
nyaman dan terlindungi, juga tercukupi kebutuhannya; harus dikalahkan ego ibu.
Ibu saya bukan jenis orang yang suka menabung demi masa depan atau berinvestasi
dengan bijak. Dan ayah saya yang memercayakan gajinya untuk dikelola ibu
bukanlah orang pelit. Dan akibatnya,
ketika pensiun, dengan berat ayah bilang tidak bisa lagi berlangganan majalah Bobo. Bagi saya Bobo bukan sekadar kawan belajar dan bermain selama 6 tahun kurang
lebih. Dari Bobo saya bisa memahami
bahasa dan nama benda-benda. Bobo adalah
“telinga” saya.
Saya harus menerima kenyataan tidak sekolah,
dan kemampuan saya dalam hal memahami gerakan mulut (reading lip/oral sign) mulai berkurang banyak. Ketiadaan interaksi
sosial dengan teman sebaya menjadikan saya tumbuh sebagai anak yang minderan.
Hiburan saya adalah bacaan. Saya lahap apa saja asal ada hurufnya. Buku loakan
atau pinjaman. Beli majalah atau buku bekas di pasar Kiaracondong dengan uang
jajan yang disisihkan. Sayangnya ibu tetap bukan jenis insan yang menghargai
aksara. Jangankan koleksi majalah Bobo
bekas langganan, majalah loakan pun harus alami nasib serupa, dijual lagi.
Amit-amit banget masa itu!
Alhamdulillah,
setelah tiga tahun menjalani masa yang paling amit-amit, akhirnya saya bisa
melanjutkan sekolah. Dan dari SMP sampai SMU kembali umum. Bukan hal yang
mudah. Namun tiga tahun yang hilang mengajarkan saya suatu tekad kuat untuk
menghargai pendidikan. Dalam keterbatasan saya berusaha keras memacu diri bahwa
saya mampu (melawan perasaan tidak berada di tempat yang semestinya). Meski
tidak optimal benar sebab ada hal-hal di luar kapasitas kemampuan saya. Otak
saya kuat dalam hal hafalan dan pemahaman huruf, namun lemah dalam abstraksi
angka-angka. Matematika dan sebagainya memakai bahasa juga, namun saya kurang
memahami bahasanya. Saya baru memahami rumusan matematika dan sebagainya
setelah dewasa, membantu mengerjakan PR keponakan untuk kategori SD dan SMP,
itu pun setelah memelototi buku ajarnya. Merasa harus bisa agar kelak tidak
jadi ibu yang buruk dan payah di mata anak saya.
Sekarang saya ibu dari seorang balita yang
hiperaktif. Istri dari seorang buruh tani di kampung. Masih mencintai literatur
(dengan koleksi yang bertambah dan tak harus dijual ke loakan). Mencoba
mensyukuri apa yang telah terjadi sebab hidup tak bisa diputar ulang ke
belakang dalam perandaian. Dan ada banyak orang yang mendukung, keluarga dan kawan-kawan!***
(Untuk
kawan-kawan di Yayasan Jendela Seni Bandung, Mnemonic Geng Mnuliz, dan milis
guyubbahasa Forum Bahasa Media Massa)
Limbangan,
Garut, 13 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D