Jumat, 27 Desember 2013

Misi Rahasia



Secret Story

Tak Perlu Terpaku pada Masa Lalu



I
ni misiku: menemui mantan pacar sahabatku untuk tahu bagaimana keadaannya!
Masalahnya: aku belum melakukannya karena sibuk, dan aku harus melakukannya karena telah menawarkan diri. Lagi pula, aku ingin membantu sahabatku untuk mengatasi persoalan yang menderanya. Ia merasa tersiksa dalam belenggu rasa cinta masa lalu. Padahal ia telah menjadi ibu tiga anak, bersuamikan seorang lelaki yang baik dan bermasa depan cerah.
Aku harus melakukan tugas investigasi yang hasilnya entah akan seperti apa, tanpa setahu siapa-siapa, termasuk suamiku yang tak ikut campur urusan istrinya karena percaya. Sebab ini misi rahasia.
Caranya? Gampang. Tinggal naik angkot ke suatu tempat, melewati jalan yang penuh tikungan dan tanjakan curam, lalu berhenti di suatu jalan, masuk gapura, menyusuri jalan kecil, lalu berhenti di depan rumah yang dinaungi pohon rindang. Mengetuk pintu atau memijit bel, mengucap salam dan menyapa empunya rumah, memperkenalkan diri dan bilang hendak bertemu seorang penghuni rumahnya, selanjutnya? Aku tidak tahu. Aku belum melakukannya. Aku harus membayangkannya. Demi sahabatku tersayang. Demi kebaikan keluarganya agar ia berhenti merasa tersiksa dari rasa bersalah akan cinta. Demi aku juga agar paham alur hidup orang lain dan kian mendewasakanku untuk menjalani aneka peran.

Setahun lalu....
Lebaran hari kedua Aya datang bersama suami dan anak bungsunya. 12 tahun sudah kami tak bersua. Aya kian cantik saja dan masih berjilbab. Aku menyambutnya pangling.
“Kamu kurus,” cetusku heran.
“Cape. Punya tiga anak,” kilah Aya.
Lalu kami terlibat dalam perbincangan akrab. Suami Aya seorang PNS, ia lelaki yang santun dan berpenampilan rapi, tipikal pekerja kantoran, anak mereka cakep-cakep pula seperti orang tuanya.
“Tie, aku mo ngomong, tapi rahasia,” kata Aya sambil mengerling suaminya yang sedang terlibat pembicaraan serius dengan ibuku soal rusaknya instalasi listrik di rumah kami.
“Oke. Aku akan nyimak.” Aku paham kode Aya.
Aya lalu cerita tentang Ry mantan pacarnya kala kami sama-sama SMU. Aku tak mengira Aya masih mencintainya sebab kupikir rumah tangga mereka bahagia, suaminya lelaki yang baik di mataku, dan sepertinya mencintai Aya. Aya bilang kalau Ry begitu tahu Aya telah menikah, mendatangi rumahnya, menangis sambil bersimpuh di kaki ibunya. Bilang masih mencintainya, menyesal telah putus. Nenek Ry tidak merestui hubungan mereka. Dan sebagainya.
Aku diam, kulihat Aya seperti tidak bahagia dengan hidupnya. Aku tidak mengerti bagaimana ia yang telah diberi suami dan anak-anak ternyata masih terkenang-kenang pada seorang lelaki yang pernah memutuskannya begitu saja dan membuat Aya sangat patah hati.
Aya hanya bercerita, dan aku yang sedang hamil anak pertama tentu tak bisa berbuat banyak, semisal menawarkan bantuan pada Aya untuk mengetahui kondisi Ry yang konon telah jadi narkober karena kami tinggal sekota. Aya ikut suaminya di kota lain. Aku mengenal Ry dan berkawan juga. Seorang lelaki tegap yang menarik, cerdas dan sepertinya bermasa depan cemerlang karena anak STM Kelistrikan. Aku sudah pernah ke rumahnya. Diajak Aya. Ibunya cantik dan baik. Dulu kupikir sepertinya Aya dan Ry akan serius lalu menikah karena ibunya merestui hubungan mereka. Namun aku tak mengira akan lain karena campur tangan nenek Ry, hingga Ry menghancurkan diri pada obat-obatan sebagai pelarian dari rasa frustrasi. Apa yang ada di benak sang nenek? Penyesalan? Siapa yang disesalinya?
Lalu Aya dan keluarganya pulang. Tak kulihat binar bahagia di matanya. Ia seperti mengharap sesuatu lalu kecewa. Kami tetap berkomunikasi lewat SMS. Namun Aya tak cerita soal mantannya lagi selain menanyakan kondisi kehamilanku saja.
Kami putus kontak gara-gara HP terpaksa dijual untuk pembeli susu bayiku begitu aku usai melahirkan. Kondisi ekonomi keluargaku sedang krisis. Dan ketika bayiku sudah mulai besar, suami dapat rezeki untuk beli HP lagi. Aku kembali mengontak Aya untuk berkomunikasi. Ia sahabatku.

Cerita via HP....
Malam-malam Aya membalas SMS-ku. Kembali bercerita tentang Ry. Tanpa setahu suaminya. Ia tak boleh punya HP sendiri, jadi pakai HP suaminya. Ada telefon rumah, namun itu tentu berbeda. Aku merasa Aya terkekang. Hatinya masih berlabuh di lelaki lain. Lelaki yang hancur karena mencintainya, lelaki yang dicintainya.
Kukatakan bahwa ia punya suami yang baik. Dan Aya mengakui kalau suaminya memang baik, bahkan baiknya terlalu berlebihan. Ia takut jika suaminya tahu, juga malu pada anak-anak mereka. Aya dilema.
“Tie, aku dapat kabar kalau Ry suka mengurung diri di rumah dan tak pernah ke mana-mana.”
Kubayangkan Aya pasti sangat panik dan risau kala mengetik pesan itu. Kubalas SMS-nya. SMS demi SMS. Lalu aku sampai pada titik sudah saatnya menawarkan diri untuk mencari tahu bagaimana keadaan Ry sesungguhnya. Kalau bisa aku menjadi perantara mereka. Agar Aya tak tersiksa lagi dengan rasa bersalah, ia boleh mencintai Ry karena itu haknya; hati telah membawanya berlabuh pada jiwa Ry, namun Aya tetap utuh milik suami dan anak-anaknya. Aku sudah menyerah dengan rasa Aya agar bisa tulus mencintai suami yang sangat mencintainya.
“Bagaimana jika aku yang ke sana untuk tahu dan bicara dengan Ry?” tulisku.
Sambutan Aya sangat hangat. Ia seakan menemu muara dari rasa lega akan galaunya. Ia tentu ragu untuk meminta apalagi menyuruhku. Namun aku tetap aku yang dulu, aku berusaha ada kala Aya butuh, memberi tanpa diminta karena mengerti. Aku ingin persahabatan jarak jauh kami tetap langgeng. Tak renggang begitu saja karena abai.
Aku melakukannya agar Aya tak tersiksa lagi, agar keluarganya tetap utuh, dan agar aku bisa berbuat sesuatu untuk Ry kawanku.....

Ry kini....
Pagi-pagi sebelum misi, aku dapat SMS, “Tie, aku jadi ke Garut hari ini, berdua dengan si bungsu.” Waduh! Oke, aku menerimanya dengan senang hati. Ini pertemuan pertama kami setelah satu lebaran lewat tanpa sua. Aya punya HP.
Aya cerita banyak lagi. Datang tanpa suami karena sibuk. Itu kesempatannya. Ia tanya bagaimana jika datang ke tempat Ry, namun aku minta dipertimbangkan sebab belum tahu sikonnya. Aku pun khawatir segalanya akan berjalan buruk, ada ketakterdugaan dalam rentang masa belasan tahun. Aya mengerti. Titip salam untuk Ry  jika nanti bertemu. Aya tak bisa lama, harus pulang ke rumah ibunya untuk masak rajaban.
Esoknya aku gugup melakukan tugas investigasi itu. Malah salah turun, tempatnya terlewati. Terpaksa jalan kaki entah berapa ratus meter di siang bolong yang terik dan berdebu. Lalu bertanya pada orang lain karena pangling dengan perubahan yang ada dan aku hanya ditunjuk arah untuk dikira-kira. Entah naluri atau ada yang menuntun, akhirnya aku bisa menemukan rumahnya. Rumah itu telah berubah banyak. Ada tambahan sana-sini, namun pohon mangganya tetap ada. Kumasuki dengan ragu, kalaupun salah aku telah mencoba, masih bisa cari rumah lain, tekadku kian bulat saja demi Aya. Lagi pula, aku tak ingin gagal tanpa mencoba.
Kebetulan pintu terpentang, dan kulihat kaki menjuntai di atas kursi. Aku mengucap salam, si empunya kaki bangkit dan melihatku dengan heran. Aku kecewa karena ia bukan Ry meski aku sendiri tidak tahu akan seperti apa perubahan pada diri Ry.
“Maaf De, apa betul ini rumah Bu Ratih?” Kusebut nama ibu Ry pada anak lelaki yang sepertinya masih SMP.
“Betul, Bu.” Ia mengangguk. Kutanyakan lagi apakah Bu Ratih yang ibunya Ry. Ia bingung namun mengiyakan dan aku kembali memastikan karena takut salah. Namun ia bilang tunggu sebentar ketika aku bilang hendak menemui Ry. Ia ke belakang memanggil seorang pemuda yang masih SMA dan wajahnya mirip Ry. Katanya ada di belakang, aku diminta ikut ke rumahnya. Ia menunjuk pada sebuah rumah yang ada tulisan rental PS tak jauh dari tempat kami. Aku minta diantar ke tempatnya langsung karena bingung.
Dan inilah yang terjadi. Di luar, di depan pintu dapur dekat motor yang diparkir, aku bertemu seorang lelaki yang sedang menyuapi anak kecil. Ia begitu berbeda dengan Ry yang dulu. Kian gendut dan anak lelaki itu seperti anaknya. Ia tidak seperti Ry yang dikhawatirkan Aya. Ia baik-baik saja, tidak seperti bekas pencandu narkoba.
“Ada tamu,” pemuda yang mengantarku bilang pada Ry yang terheran-heran melihatku. Dan aku pun terheran-heran melihatnya.
“Ry?” tanyaku. Ia mengangguk dengan ragu.
“Teteh siapa?” ia bangkit. Kukatakan teman semasa SMU dulu, ia sempat berpikir. Kusebutkan sekolahku.
“Oh,” katanya lega dan bersemangat. Mengajakku masuk ke dalam rumah. Ternyata rumahnya ramai dengan anak-anak yang sedang bermain game. Ry mempersilakan duduk. Kuperkenalkan diriku lebih lanjut. Kukatakan aku teman Aya. Ia seperti tidak menangkap maksudku. Tentu saja karena ia tak berprasangka aku datang demi Aya. Ia pikir aku sekadar kawan lama yang bertandang. Namun aku menjelaskan soal Aya dan masa lalu mereka. Ia seperti dialun kenangan. Ia sudah menikah. Punya dua anak, laki-laki dan perempuan. Si bungsu masih bayi. Dan ia bahagia dengan hidupnya kini, namun tak bisa melupakan masa lalu, juga Aya!
Seorang perempuan berkaca mata masuk, masih muda dan manis, yang utama ramah dan tulus. Aku langsung menyukainya. Ry memperkenalkanku pada istrinya. Kami terlibat percakapan yang hangat. Tentu aku tak leluasa karena khawatir akan menyinggung istrinya jika bicara tentang Aya. Aku harus melihat sikon,’kan?
Aku pamit karena hari jelang asar, meski Ry sepertinya masih ingin bicara dan kami sedang terlibat dalam percakapan yang asyik tentang modem internet. Aku cuma khawatir dengan istrinya. Kami bertukar nomor. Namun sebelum pulang aku mampir dulu ke warnet, ternyata Ry masih OL. Ia seperti sengaja menungguku, sebab sebelumnya aku bilang akan ke warnet.
Kami kembali terlibat dalam percakapan tentang Aya. Kekhawatiran Ry untuk bicara dengannya. Kukatakan bahwa Aya tak membencinya, ia masih mengingatnya. Dan yang membuatku bingung, Ry malah bilang apa mungkin sebab ia sudah tua dan jelek. Itu seperti kemarin yang dikatakan Aya padaku. Spontan aku bilang kalian sehati sebab Aya pernah ajukan pernyataan macam itu, haha.
Malamnya Aya kirim SMS menanyakan misiku tadi. Dan lucunya aku dan Ry sedang ber-SMS-an tentangnya. Aya gundah sebab tadi siang ada cewek nelefon nanyain suaminya, lagi tugas di mana begitu diangkat adik lelaki Aya yang dikira suaminya. Aya bilang itu bukan kali pertama, dulu suaminya pernah Teman Tapi Mesra dengan rekan sekantor. Dan masih ada lagi. Uang di ATM-nya dikurangi. Kadang Aya ingin meninggalkan suaminya saja. Aku menghiburnya. Ia harus bicara dengan suaminya baik-baik demi anak-anak dan keutuhan keluarga. Aya bersemangat ketika kuceritakan misi tentang Ry. Sayang sikon membuatnya tak bisa leluasa ber-SMS karena banyak orang, dan Ry bilang di rumahnya kedatangan tamu keluarga istrinya jadi tak leluasa untuk menelefon Aya.
Agak rumit juga karena saat Aya ditelefon Ry malah terputus gara-gara ada gangguan sinyal. Aya bahagia karena bisa mendengat suara Ry meski sebentar. Ia bilang semalam nangis kayak pingin ketemu. Aku jadi sedih, apakah langkahku untuk jadi perantara salah? Aku lakukan demi kebaikan masing-masing. Ternyata Ry telah berubah, ia tak lagi kecanduan, baginya masa lalu telah lewat untuk diambil hikmahnya, namun ia tak bisa melupakan Aya dan takut Aya marah padanya. Dan aku tak berani bertanya apakah Ry masih mencintai  Aya karena tak ingin merusak keutuhan rumah tangganya. Aku hanya bertanya apakah istrinya tak apa-apa. Aya memang sedang kecewa tapi aku tak perlu cerita soal masalah keluarganya. Aku hanya ingin Aya dan Ry bisa menjalani hidup dengan tenteram karena masa lalu bisa diselesaikan dengan bijak. Kita hidup dengan kenangan, namun jangan sampai kenangan menghancurkan hidup kita.
Misiku entah apakah sudah usai.*** (Tie)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D