Secret Story
Tak Perlu Terpaku pada Masa Lalu
I
|
ni misiku: menemui
mantan pacar sahabatku untuk tahu bagaimana keadaannya!
Masalahnya: aku
belum melakukannya karena sibuk, dan aku harus melakukannya karena telah
menawarkan diri. Lagi pula, aku ingin membantu sahabatku untuk mengatasi
persoalan yang menderanya. Ia merasa tersiksa dalam belenggu rasa cinta masa
lalu. Padahal ia telah menjadi ibu tiga anak, bersuamikan seorang lelaki yang
baik dan bermasa depan cerah.
Aku
harus melakukan tugas investigasi yang hasilnya entah akan seperti apa, tanpa
setahu siapa-siapa, termasuk suamiku yang tak ikut campur urusan istrinya
karena percaya. Sebab ini misi rahasia.
Caranya?
Gampang. Tinggal naik angkot ke suatu tempat, melewati jalan yang penuh
tikungan dan tanjakan curam, lalu berhenti di suatu jalan, masuk gapura,
menyusuri jalan kecil, lalu berhenti di depan rumah yang dinaungi pohon
rindang. Mengetuk pintu atau memijit bel, mengucap salam dan menyapa empunya
rumah, memperkenalkan diri dan bilang hendak bertemu seorang penghuni rumahnya,
selanjutnya? Aku tidak tahu. Aku belum melakukannya. Aku harus membayangkannya.
Demi sahabatku tersayang. Demi kebaikan keluarganya agar ia berhenti merasa
tersiksa dari rasa bersalah akan cinta. Demi aku juga agar paham alur hidup
orang lain dan kian mendewasakanku untuk menjalani aneka peran.
Setahun lalu....
Lebaran
hari kedua Aya datang bersama suami dan anak bungsunya. 12 tahun sudah kami tak
bersua. Aya kian cantik saja dan masih berjilbab. Aku menyambutnya pangling.
“Kamu
kurus,” cetusku heran.
“Cape.
Punya tiga anak,” kilah Aya.
Lalu
kami terlibat dalam perbincangan akrab. Suami Aya seorang PNS, ia lelaki yang
santun dan berpenampilan rapi, tipikal pekerja kantoran, anak mereka
cakep-cakep pula seperti orang tuanya.
“Tie,
aku mo ngomong, tapi rahasia,” kata Aya sambil mengerling suaminya yang sedang
terlibat pembicaraan serius dengan ibuku soal rusaknya instalasi listrik di
rumah kami.
“Oke.
Aku akan nyimak.” Aku paham kode Aya.
Aya
lalu cerita tentang Ry mantan pacarnya kala kami sama-sama SMU. Aku tak mengira
Aya masih mencintainya sebab kupikir rumah tangga mereka bahagia, suaminya
lelaki yang baik di mataku, dan sepertinya mencintai Aya. Aya bilang kalau Ry
begitu tahu Aya telah menikah, mendatangi rumahnya, menangis sambil bersimpuh
di kaki ibunya. Bilang masih mencintainya, menyesal telah putus. Nenek Ry tidak
merestui hubungan mereka. Dan sebagainya.
Aku
diam, kulihat Aya seperti tidak bahagia dengan hidupnya. Aku tidak mengerti
bagaimana ia yang telah diberi suami dan anak-anak ternyata masih
terkenang-kenang pada seorang lelaki yang pernah memutuskannya begitu saja dan
membuat Aya sangat patah hati.
Aya
hanya bercerita, dan aku yang sedang hamil anak pertama tentu tak bisa berbuat
banyak, semisal menawarkan bantuan pada Aya untuk mengetahui kondisi Ry yang
konon telah jadi narkober karena kami tinggal sekota. Aya ikut suaminya di kota
lain. Aku mengenal Ry dan berkawan juga. Seorang lelaki tegap yang menarik,
cerdas dan sepertinya bermasa depan cemerlang karena anak STM Kelistrikan. Aku
sudah pernah ke rumahnya. Diajak Aya. Ibunya cantik dan baik. Dulu kupikir
sepertinya Aya dan Ry akan serius lalu menikah karena ibunya merestui hubungan
mereka. Namun aku tak mengira akan lain karena campur tangan nenek Ry, hingga Ry
menghancurkan diri pada obat-obatan sebagai pelarian dari rasa frustrasi. Apa
yang ada di benak sang nenek? Penyesalan? Siapa yang disesalinya?
Lalu
Aya dan keluarganya pulang. Tak kulihat binar bahagia di matanya. Ia seperti
mengharap sesuatu lalu kecewa. Kami tetap berkomunikasi lewat SMS. Namun Aya
tak cerita soal mantannya lagi selain menanyakan kondisi kehamilanku saja.
Kami
putus kontak gara-gara HP terpaksa dijual untuk pembeli susu bayiku begitu aku
usai melahirkan. Kondisi ekonomi keluargaku sedang krisis. Dan ketika bayiku
sudah mulai besar, suami dapat rezeki untuk beli HP lagi. Aku kembali mengontak
Aya untuk berkomunikasi. Ia sahabatku.
Cerita via HP....
Malam-malam
Aya membalas SMS-ku. Kembali bercerita tentang Ry. Tanpa setahu suaminya. Ia tak
boleh punya HP sendiri, jadi pakai HP suaminya. Ada telefon rumah, namun itu
tentu berbeda. Aku merasa Aya terkekang. Hatinya masih berlabuh di lelaki lain.
Lelaki yang hancur karena mencintainya, lelaki yang dicintainya.
Kukatakan
bahwa ia punya suami yang baik. Dan Aya mengakui kalau suaminya memang baik,
bahkan baiknya terlalu berlebihan. Ia takut jika suaminya tahu, juga malu pada
anak-anak mereka. Aya dilema.
“Tie,
aku dapat kabar kalau Ry suka mengurung diri di rumah dan tak pernah ke
mana-mana.”
Kubayangkan
Aya pasti sangat panik dan risau kala mengetik pesan itu. Kubalas SMS-nya. SMS
demi SMS. Lalu aku sampai pada titik sudah saatnya menawarkan diri untuk
mencari tahu bagaimana keadaan Ry sesungguhnya. Kalau bisa aku menjadi
perantara mereka. Agar Aya tak tersiksa lagi dengan rasa bersalah, ia boleh
mencintai Ry karena itu haknya; hati telah membawanya berlabuh pada jiwa Ry,
namun Aya tetap utuh milik suami dan anak-anaknya. Aku sudah menyerah dengan
rasa Aya agar bisa tulus mencintai suami yang sangat mencintainya.
“Bagaimana
jika aku yang ke sana untuk tahu dan bicara dengan Ry?” tulisku.
Sambutan
Aya sangat hangat. Ia seakan menemu muara dari rasa lega akan galaunya. Ia
tentu ragu untuk meminta apalagi menyuruhku. Namun aku tetap aku yang dulu, aku
berusaha ada kala Aya butuh, memberi tanpa diminta karena mengerti. Aku ingin
persahabatan jarak jauh kami tetap langgeng. Tak renggang begitu saja karena
abai.
Aku
melakukannya agar Aya tak tersiksa lagi, agar keluarganya tetap utuh, dan agar
aku bisa berbuat sesuatu untuk Ry kawanku.....
Ry kini....
Pagi-pagi
sebelum misi, aku dapat SMS, “Tie, aku jadi ke Garut hari ini, berdua dengan si
bungsu.” Waduh! Oke, aku menerimanya dengan senang hati. Ini pertemuan pertama
kami setelah satu lebaran lewat tanpa sua. Aya punya HP.
Aya
cerita banyak lagi. Datang tanpa suami karena sibuk. Itu kesempatannya. Ia
tanya bagaimana jika datang ke tempat Ry, namun aku minta dipertimbangkan sebab
belum tahu sikonnya. Aku pun khawatir segalanya akan berjalan buruk, ada ketakterdugaan
dalam rentang masa belasan tahun. Aya mengerti. Titip salam untuk Ry jika nanti bertemu. Aya tak bisa lama, harus
pulang ke rumah ibunya untuk masak rajaban.
Esoknya
aku gugup melakukan tugas investigasi itu. Malah salah turun, tempatnya terlewati.
Terpaksa jalan kaki entah berapa ratus meter di siang bolong yang terik dan
berdebu. Lalu bertanya pada orang lain karena pangling dengan perubahan yang
ada dan aku hanya ditunjuk arah untuk dikira-kira. Entah naluri atau ada yang
menuntun, akhirnya aku bisa menemukan rumahnya. Rumah itu telah berubah banyak.
Ada tambahan sana-sini, namun pohon mangganya tetap ada. Kumasuki dengan ragu,
kalaupun salah aku telah mencoba, masih bisa cari rumah lain, tekadku kian
bulat saja demi Aya. Lagi pula, aku tak ingin gagal tanpa mencoba.
Kebetulan
pintu terpentang, dan kulihat kaki menjuntai di atas kursi. Aku mengucap salam,
si empunya kaki bangkit dan melihatku dengan heran. Aku kecewa karena ia bukan
Ry meski aku sendiri tidak tahu akan seperti apa perubahan pada diri Ry.
“Maaf
De, apa betul ini rumah Bu Ratih?” Kusebut nama ibu Ry pada anak lelaki yang
sepertinya masih SMP.
“Betul,
Bu.” Ia mengangguk. Kutanyakan lagi apakah Bu Ratih yang ibunya Ry. Ia bingung
namun mengiyakan dan aku kembali memastikan karena takut salah. Namun ia bilang
tunggu sebentar ketika aku bilang hendak menemui Ry. Ia ke belakang memanggil
seorang pemuda yang masih SMA dan wajahnya mirip Ry. Katanya ada di belakang,
aku diminta ikut ke rumahnya. Ia menunjuk pada sebuah rumah yang ada tulisan
rental PS tak jauh dari tempat kami. Aku minta diantar ke tempatnya langsung
karena bingung.
Dan
inilah yang terjadi. Di luar, di depan pintu dapur dekat motor yang diparkir,
aku bertemu seorang lelaki yang sedang menyuapi anak kecil. Ia begitu berbeda
dengan Ry yang dulu. Kian gendut dan anak lelaki itu seperti anaknya. Ia tidak
seperti Ry yang dikhawatirkan Aya. Ia baik-baik saja, tidak seperti bekas
pencandu narkoba.
“Ada
tamu,” pemuda yang mengantarku bilang pada Ry yang terheran-heran melihatku.
Dan aku pun terheran-heran melihatnya.
“Ry?”
tanyaku. Ia mengangguk dengan ragu.
“Teteh
siapa?” ia bangkit. Kukatakan teman semasa SMU dulu, ia sempat berpikir.
Kusebutkan sekolahku.
“Oh,”
katanya lega dan bersemangat. Mengajakku masuk ke dalam rumah. Ternyata
rumahnya ramai dengan anak-anak yang sedang bermain game. Ry
mempersilakan duduk. Kuperkenalkan diriku lebih lanjut. Kukatakan aku teman
Aya. Ia seperti tidak menangkap maksudku. Tentu saja karena ia tak berprasangka
aku datang demi Aya. Ia pikir aku sekadar kawan lama yang bertandang. Namun aku
menjelaskan soal Aya dan masa lalu mereka. Ia seperti dialun kenangan. Ia sudah
menikah. Punya dua anak, laki-laki dan perempuan. Si bungsu masih bayi. Dan ia
bahagia dengan hidupnya kini, namun tak bisa melupakan masa lalu, juga Aya!
Seorang
perempuan berkaca mata masuk, masih muda dan manis, yang utama ramah dan tulus.
Aku langsung menyukainya. Ry memperkenalkanku pada istrinya. Kami terlibat
percakapan yang hangat. Tentu aku tak leluasa karena khawatir akan menyinggung
istrinya jika bicara tentang Aya. Aku harus melihat sikon,’kan?
Aku
pamit karena hari jelang asar, meski Ry sepertinya masih ingin bicara dan kami
sedang terlibat dalam percakapan yang asyik tentang modem internet. Aku cuma
khawatir dengan istrinya. Kami bertukar nomor. Namun sebelum pulang aku mampir
dulu ke warnet, ternyata Ry masih OL. Ia seperti sengaja menungguku, sebab
sebelumnya aku bilang akan ke warnet.
Kami
kembali terlibat dalam percakapan tentang Aya. Kekhawatiran Ry untuk bicara
dengannya. Kukatakan bahwa Aya tak membencinya, ia masih mengingatnya. Dan yang
membuatku bingung, Ry malah bilang apa mungkin sebab ia sudah tua dan jelek.
Itu seperti kemarin yang dikatakan Aya padaku. Spontan aku bilang kalian sehati
sebab Aya pernah ajukan pernyataan macam itu, haha.
Malamnya
Aya kirim SMS menanyakan misiku tadi. Dan lucunya aku dan Ry sedang ber-SMS-an
tentangnya. Aya gundah sebab tadi siang ada cewek nelefon nanyain suaminya,
lagi tugas di mana begitu diangkat adik lelaki Aya yang dikira suaminya. Aya
bilang itu bukan kali pertama, dulu suaminya pernah Teman Tapi Mesra dengan
rekan sekantor. Dan masih ada lagi. Uang di ATM-nya dikurangi. Kadang Aya ingin
meninggalkan suaminya saja. Aku menghiburnya. Ia harus bicara dengan suaminya baik-baik
demi anak-anak dan keutuhan keluarga. Aya bersemangat ketika kuceritakan misi
tentang Ry. Sayang sikon membuatnya tak bisa leluasa ber-SMS karena banyak
orang, dan Ry bilang di rumahnya kedatangan tamu keluarga istrinya jadi tak
leluasa untuk menelefon Aya.
Agak
rumit juga karena saat Aya ditelefon Ry malah terputus gara-gara ada gangguan
sinyal. Aya bahagia karena bisa mendengat suara Ry meski sebentar. Ia bilang
semalam nangis kayak pingin ketemu. Aku jadi sedih, apakah langkahku untuk jadi
perantara salah? Aku lakukan demi kebaikan masing-masing. Ternyata Ry telah
berubah, ia tak lagi kecanduan, baginya masa lalu telah lewat untuk diambil
hikmahnya, namun ia tak bisa melupakan Aya dan takut Aya marah padanya. Dan aku
tak berani bertanya apakah Ry masih mencintai
Aya karena tak ingin merusak keutuhan rumah tangganya. Aku hanya
bertanya apakah istrinya tak apa-apa. Aya memang sedang kecewa tapi aku tak
perlu cerita soal masalah keluarganya. Aku hanya ingin Aya dan Ry bisa
menjalani hidup dengan tenteram karena masa lalu bisa diselesaikan dengan
bijak. Kita hidup dengan kenangan, namun jangan sampai kenangan menghancurkan
hidup kita.
Misiku
entah apakah sudah usai.*** (Tie)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D