Judul : Kalender Lunar
Penulis : Dian Hartati
Penerbit: Dian Rakyat-Jakarta
Cetakan: I, Maret 2011
Oleh ROHYATI SOFJAN
P
|
erkenalan saya
dengan Dian Hartati bermula pada tahun 2003 lewat sur-el (surat elektronik)
yang ia kirim. Ia mengucap selamat atas esai saya yang dimuat Republika,
menyertakan cerpennya untuk saya komentari. Saya sempat heran, bagaimana bisa
seorang mahasiswa UPI yang dalam pandangan saya sudah matang masih mau bertanya
pada seorang non-akademi, lebih banyak awamnya pula. Namun saya tertarik untuk
memenuhi permintaannya meski kecewa dengan alur cerita dan gramatikanya yang
sama sekali kurang akademi. Memberi saran dan masukan untuk perbaikan cerpennya.
Saya lebih meminati kritik yang bertumpu pada gramatika, karena itu titik kuat
seorang penulis untuk berkembang secara lebih baik, apik, dan terstruktur ke
depannya.
Dian
rupanya menyimak dengan baik masukan saya, kami sering berkomunikasi, dan apa
yang telah ia serap berbuah hasil. Ia lebih maju daripada saya. Pencapaiannya
mengagumkan, lulus dengan baik dari UPI, sempat berkarier sebagai editor di
berberapa penerbitan, setelah menikah dan tinggal di Banyuwangi menjadi editor
lepas. Lalu prestasi terbarunya adalah buku kumpulan puisi Kalender Lunar.
Itulah
Dian Hartati, selama di Bandung dan kami sama-sama sekomunitas penulisan Mnemonic,
ia begitu ulet dan serius, menggulati sesuatu yang masih dianggap asing, dunia
puisi. Maka puluhan puisi yang terangkum dalam Kalender Lunar adalah
proses panjangnya yang tidak main-main. Dalam rentang tahun 2003-2009, ia
berusaha keras menyajikan sepilihan puisi seolah mempersiapkan prosesi
kelahiran bayi. Kalender Lunar begitu indah penyajiannya. Desain sampul
warna biru mengundang rasa penasaran pembaca. Buku puisi ternyata bisa juga
keren tampilannya.
Dian
membagi 82 kumpulan puisinya menjadi tiga: Prelude, Dongeng Cinta,
dan Serat Waktu. Menurutnya cinta, sosial dan lokalitas benang merah
dari buku itu. Penyair kelahiran Bandung, 13 Desember 1983, itu memilih
kata-kata yang sederhana dan mudah dimengerti. Memang begitulah puisi, mesti
bisa berkomunikasi dengan pembaca awam sekalipun. Ia tidak larut dalam permainan majas yang bisa
jadi sulit dicerna, namun ia juga berusaha menjaga keindahan bahasa dalam rima,
menggali bahasa Indonesia klasik yang jarang digunakan.. Beberapa puisi di
bagian Serat Waktu memiliki kekuatan dari kekayaan khasanah Dian tentang
lokalitas. Indonesia begitu kaya dengan upacara sampai peristiwa. Sebutlah “Di
Kawali, Aku Berburu Cahaya”, Dian membiarkan inspirasi mendatanginya, dari
kisah Perang Bubat puisi cinta yang liris menjelmakan kegelisahan mistis.
sampurasun,
di manakah dirimu
pitaloka
aku mencari pintu
pertemuan
kubawakan jantung
pinangan yang tak rakus akan kuasa
pekat malam
aku bersiap mencacah setiap jiwa
raga suci yang disemayamkan di tanah leluhur
perjalanan demi perjalanan telah menghabiskan segala
pertanda
ada apa gerangan hingga bulan tak muncul di peraduan
alam
hanya ditingkah sunyi serangga
semilir
yang datang dari jauh
di
alunalun
gemerlap
cahaya mengejawantahkan keriangan
iringiringan
kaum pendatang
--
lungkrah --
aku,
lelaki dari bumi jawa
telah
meluruhkan segala perkara
permusuhan
ratus tahun
kesepian
yang datang dari kutuk para dewa
lihat
langkahku
digiring
oborobor, disembilu luka tahunan
seluruhnya
adalah kehendak semesta
doa
wastu kencana yang kehilangan raga sang kakak
aku
datang kembali padamu
mempertaruhkan
segala sumpah
--
agar lama jaya di buana --
*
sebuah
gerbang
gadisgadis
cilik pembawa lentera
itukah
jelmaanmu
berjalan
mengitari tubuhku
tahukah
mereka, bahwa aku telah hadir kembali membawa cinta yang tak sampai
jika
alun kecapi yang kudengar ini adalah isyarat darimu
jangan
lagi bersembunyi
aku
mendatangi sunda
tanah
yang begitu surgawi
di
mana dirimu putri
mengapa
hanya gumam rajah kudengar
bahasabahasa
asing tak kumengerti
menceritakan
bubat yang kucipta
bongkahbongkah
keserakahan
--
jalir janji --
**
langkah
ini semakin berat
dan
aku tak peduli
jika kawali telah
mengutukku
***
cahaya
tetap kucari
di
antara batubatu
jejak masa lalu
di
antara rimbun pohonan
isyarat semesta
di manakah dirimu pitaloka
aku mencari pintu pertemuan
celah yang mengabadikan cinta
SudutBumi,
26 Agustus 2008
Dan
masih banyak lagi puisi menarik lainnya dari Dian yang pernah diundang dalam
acara Ubud Writers and Readers Festival 2009. Seperti “Manik dari Pugung Raharjo”, “Geliat Musim
Angin Teduh”, “Sahibulhikayat di Negeri Mantang Arang”, “Setelah Sandekala”,
“Kranji, Upacara Dimulai”, “Kalender Lunar”; semua untuk bagian Serat Waktu.
Ada puisi “Maison Bogerijen” yang menurut saya masih bisa diberi kemungkinan
untuk bermain dalam wilayah bahasa yang lebih memukau karena itu menyangkut
kota kelahiran kami; Jalan Braga yang sarat sejarah.
Saya
lebih tertarik membahas lokalitas, karena Dian berpotensi untuk menggali lebih
dalam lagi untuk puisi-puisinya. Barangkali seperti Oka Rusmini dengan nuansa
Bali yang kental.
Cipeujeuh, 16 Agustus 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D