Lingkaran
Cerpen ROHYATI SOFJAN
I
|
buku punya banyak kisah. Kisah melingkar yang tak sepenuhnya
kupahami. Itu tentang hidupnya, hidup ayahku almarhum, hidup abangku, dan
hidupku….
Aku tidak tahu tentang
kebenaran kisah yang dipaparkan ibuku, adakalanya membingungkan. Apakah ibuku
bingung dengan detail kenangannya, atau ingatannya mulai lekang dimakan usia?
Seperti sore ini, saat kami
membungkus leupeut untuk dijualkan Bi Popon, pedagang makanan keliling
kampung; ibuku tidak bisa menahan dirinya untuk bercerita padaku, putrinya yang
tuli dan berusaha keras menyimak setiap ucapan dengan membaca gerakan bibirnya.
“Dulu,” kata ibuku, melanjutkan kisah atau kenangannya tentang masa
silam, “saat kamu belum genap dua tahun dan Wawan (nama kecil abangku) masih SD,
Ibu pernah meninggalkan kalian berdua di rumah kontrakan Gang Kebon Jayanti
karena harus berjualan kain batik kreditan, kamu rewel sekali, tidak bisa
ditinggal pergi. Membuat bingung dan kesal Wawan karena terus menangis dan
berteriak mencari Ibu. Tidak mau minum susu dalam botol yang disodorkan
abangmu, malah melemparkannya keluar rumah. Wawan ikut menangis,” ibuku tertawa
dan mulai menangis, “sambil memakani susu dalam kaleng dengan sendok….”
Aku terbawa untuk mencucurkan air mata, sesuatu di luar kuasaku
untuk mengontrolnya, dan ikut tertawa. Ah, abangku, yang selama ini
menjadi musuhku dan tak kuhormati ia karena tak bisa menjadi citra ideal
seperti yang kuinginkan tentang figur kakak berupa teladan, ternyata punya sisi
lain dalam hidupnya. Sisi kemurnian kanak-kanak.
“Ada
tetangga yang coba membujukmu namun kamu tidak mau, bahkan ketika ia hendak
menggendongmu, Wawan bersikeras agar kamu diasuh sendiri olehnya. Menolak
bantuan siapa saja.”
Aku membayangkan abangku menggendong adik perempuan kecilnya yang
rewel dengan kain batik ibunya di belakang punggung mungilnya. Membayangkan
ekspresi kanak-kanak yang mencoba tegar menghadapi cobaan tak diinginkannya.
“Ibu tidak bisa lama-lama meninggalkan kalian, Ibu tidak tenang
selama berdagang dan lekas pulang.”
Air mataku kian tumpah. Kugigit bibirku menahan gumpalan nyeri yang
membuncah.
“Dan Bapak?” Akhirnya aku tanyakan sesuatu yang selama ini ingin
kutahu mengapa hidup ibuku harus susah padahal bapak bekerja sebagai pegawai
negeri.
“Bapak tidak di rumah. Di tempat istri mudanya….”
Aku terbawa dalam alur pahit kisah ibu yang selama ini tak kutahu.
Namun mengapa bapak harus kawin lagi, aku tak mengerti.
“Bapakmu tergoda oleh seorang janda,” kata ibuku.
Bagaimana bapak bisa tergoda seperti itu? Bapak yang kukenal selama
ini ternyata punya sisi gelap dalam hidupnya.
“Apakah perempuan itu cantik dan muda?” Aku mencoba mencari simpul
pemahaman kehidupan keluargaku yang ternyata kacau.
“Tidak, ia lebih tua dari Ibu dan tak punya anak.” Ibuku sulit
dijelaskan apakah pasrah atau marah dalam nada suaranya.
Aku mencoba memahami barangkali ada sesuatu dalam diri perempuan itu
yang membuat bapak tertarik padanya. Apakah ibuku yang sederhana dan berasal
dari desa dengan pendidikan rendah sampai kelas 2 SR saja tidak setara dengan
seorang keturunan priyayi kaya? Apalagi nenek, ibu mertua ibuku, yang keturunan
Hindu-Bali masih menganut paham kastaisme, berbeda dengan kakek yang Jawa murni
lebih toleran pada perbedaan.
“Kakekmu baik,” kata ibuku mengenang. Mengenang sisi pahit sekaligus
baik dalam hidupnya, mencoba mengorek luka lama yang terpendam agar bisa
membaginya pada sang anak perempuan.
Aku tidak tahu seperti apa sosok kakekku karena beliau sudah
meninggal sebelum aku lahir. Namun dari foto dalam surat kematiannya, ia mirip bapak dan tampan.
Nenek tidak cantik, bagiku ia wanita tua keriputan yang bawel dan berbau aneh.
Aku tidak menyayanginya karena seingatku ia tak pernah menunjukkan perilaku
yang menyayangiku. Bagiku ia nenek dari negeri asing yang tak semestinya menjadi
nenekku karena tidak seperti dalam citra ideal versi majalah Bobo
langganan.
Akan tetapi, nenek menyayangi abangku, lebih tepatnya memanjakannya.
Segala sesuatu diberikannya pada sang cucu tersayang. Anehnya ibuku, sebagai
bagian pemberi keturunan bagi penerus klan R. Soewarno, tak lebih diperlakukan
sebagai babu! Tak peduli ia istri dari anak bungsu kesayangannya.
Aku dan ibuku terus membungkus leupeut, namun semuanya
berbeda bagiku; aku dihempaskan pada sisi gelap kehidupan yang selama ini tak
pernah kubayangkan!
“Abangmu,” kata ibuku lagi, “pernah membela Ibu waktu Ibu bertengkar
dengan bapak soal perkawinannya lagi, dan ketika bapak hendak memukul Ibu,
Wawan berteriak dan memukuli bapak, ‘Ulah,
ulah…!’ Begitu histeris. Lalu bapak diam. Saat itu Ibu sedang mengandung
kamu, dua bulan….”
Aku, mestinya pada saat itu gugur saja dan tak pernah mengenal
kehidupan. Apakah abangku tak cuma mencoba menyelamatkan ibuku semata melainkan
diriku yang masih berada dalam hangatnya tiga lapis kegelapan? Apakah aku berutang
nyawa pada abangku yang selama ini kukenal sebagai pribadi pecundang?
Di luar hujan dan muram. Semuram suasana di dalam. Aliran listrik
dari tadi padam, kami bekerja diterangi nyala lampu teplok kecil. Wajah ibuku
dan wajahku seolah bagian dari kemuraman di luar.
“Waktu kecil ia kakak yang baik,” ibuku mencoba menunjukkan sisi
baik dirinya lagi. “Ibu sering keguguran. Wawan ingin punya adik, lalu kamu
pada akhirnya lahir. Kurus sekali. Kamu juga susah makan.”
Aku tersenyum. Sampai sekarang aku tetap kurus dan susah makan.
Komplikasi bayi yang ibunya depresi?
“Pernah abangmu memaksa memberi makan dengan perkataan, ‘Emam,
emam. Bisi maot.’ Ia takut sekali kamu akan meninggal
karena sakit dan tidak mau makan, seperti kakak perempuan kalian.” Air mata
ibuku kian bercucuran. Begitu pun aku yang tak menyangka abangku pernah
demikian mengingat ketidakdekatan kami sampai sekarang.
Aku membius diriku untuk bertanya. Apakah bapak dan perempuan itu
punya anak? Tidak, jawab ibuku. Apakah keluarga besar bapakku tahu? Ya, namun
Uwak membela ibu, kasihan pada anak-anak yang masih kecil. Apakah bapak dan
perempuan itu masih berhubungan? Mereka konon sudah bercerai. Sejak kapan?
Ibuku tidak tahu pasti. Apakah ibu membenci bapak? Ibuku bilang sudah lama
memaafkan bapak dan tetap mencintainya. Aku merasakan ketenangan yang
menghangatkan. Namun masih saja banyak hal yang tak terpahamkan sekaligus tak
termaafkan.
Jujur, ada banyak hal yang tak kuingat tentang lelaki bernama bapak
dalam ingatan kolektif tentang masa kanak-kanakku. Ia seolah sering absen.
“Bapak memang jarang di rumah,” aku ibuku. “Pernah saat bapak
pulang, Wawan sedang bermain kelereng di halaman dan kamu duduk memperhatikan
di dekatnya, bapakmu lewat cuma menjawil selintas dagumu. Sama sekali tak
menyapa apalagi menunjukkan perhatian lebih pada kalian. Wawan jadi sebal….”
Aku tersenyum pahit. Jadi itulah
sebabnya, abangku punya alasan untuk membenci bapak dan memilih jadi
pemberontak yang berakhir sebagai pecundang berengsek. Ia terluka sejak
kanak-kanak. Seolah ditolak sang ayah yang memang tak pernah bersahabat atau
setidaknya mencoba menjadi sahabatnya. Ia puas telah membalas luka itu kala
dewasa. Menuntaskan dendam dengan membiarkannya mati sekarat digerogoti
tuberkulosa akut di usia rentanya: membuat skandal ala melodrama keluarga
dengan membawa kabur pacarnya untuk kawin lari kala hubungan mereka ditentang
oleh pihak keluarga sang pacar, dan bapak yang sudah tahap sakit parah kian
diperparah sakitnya. Harga dirinya sebagai ayah, suami, dan kepala keluarga seolah
dicabik-cabik anak lelaki satu-satunya.
Aku mengingat prosesi kematian itu dengan batin terluka. Aku masih
kelas 3 SMU semester dua. Merasa belum bisa berbuat banyak dalam hidup. Merasa
sebagai pecundang kurang ajar yang belum bisa membanggakan ayahnya. Namun
apakah bapak merasa sebagai ayah yang gagal? Apakah 66 tahun hidupnya harus
berakhir dalam kesia-siaan? Dan apakah 30 tahun perkawinannya dengan ibu tak
lebih dari kamuflase kehidupan? Sesuatu yang tak ia inginkan namun terpaksa
dilakonkan; karena ia lelaki, karena ia suami, karena ia ayah, karena ia bagian
dari kolektif bermasyarakat?
Kadang aku merasa kematian bapak memang sudah semestinya agar
penderitaannya berakhir setelah bertahun-tahun digerogoti tuberkulosa akut,
membuatnya taraf stroke dan tak bisa apa-apa tanpa bantuan ibu. Membuatku marah
karena aku masih membutuhkan figur kekuatan seorang ayah, tak peduli kami lebih
sering konflik daripada bersahabat.
Abangku adalah kompleksitas ruwet. Struktur yang tak kupahami.
Apakah ia pun akan berakhir sebagai ayah yang gagal di mata Sahal, lalu Al akan
melakukan apa yang pernah dilakukan abangku pada bapak. Aku tidak memahami
perkawinan mereka. Perkawinan abangku dengan teteh iparku yang sarat
pertengkaran dan kekerasan dalam rumah tangga namun selalu rujuk kembali pada
akhirnya.
Apakah benih-benih luka itu telah muncul di jiwa kanak-kanak Al? Ia
kini jelang 8 tahun. Bagaimana aku akan menjelaskan pada keponakanku
satu-satunya bahwa hidup ini merupakan lingkaran yang berkelindan.
Dan apakah kelak ia akan menyalahkan kakeknya, sosok yang tak pernah
dikenal sepanjang hidupnya, sebagai “titik api” bagi kekacauan hidupnya pula?
Aku melihat ibuku, dalam garis-garis ketuaannya, masih menyisakan
ketabahan sebagai seorang perempuan yang barangkali lugu memandang kehidupan.
Sama lugunya dengan kenyataan yang tak pernah kutahu akan makna perkawinan.
“Abangmu tak pernah cerita pada kamu bahwa bapak telah kawin lagi,”
lanjut ibuku ketika ia tanya apakah aku telah tahu soal itu sebelumnya. “Ibu
yang melarang, takut nantinya kamu tak menghormati bapak lagi.”
Aku ikut tersenyum pada kepalsuan hidup yang disodorkan ibuku.
Aku ingin muntah dalam tabah!
***
Inilah ingatanku, kenangan manis yang
merupakan bagian dari ingatan kolektif. Entah apakah abangku pun mengingatnya.
Usiaku sekira 7-8 tahun, dan abangku 7 tahun di atasku. Pada hari
pertama lebaran bapak mengajak abangku dan aku ke Alun-alun Bandung. Kami mencobai wahana permainan di
Gedung King’s Jalan Kepatihan. Minum teh botol. Lalu ke Taman
Alun-alun. Aku dan abangku bermain voli balon plastik pelangi, lalu aku begitu
saja meninggalkannya di bangku taman. Merengek beli lagi kala kami hendak
memasuki gedung bioskop Dian Theater. Dan aku heran karena di dalam bioskop
sangat gelap. Kupikir hari sudah malam. Aku merengek ingin pulang, tak peduli
film yang diputar adalah Superman. Aku suka Superman, namun aku
takut kegelapan. Bapak dan abang jengkel. Terpaksa memenuhi keinginanku padahal
kami baru menonton sebentar. Sebelumnya ke toilet dulu, dan aku ikut mereka
karena takut ditinggal sendirian, melupakan balonku lagi!
Dan di luar, aku lega sekaligus heran karena hari masih benderang!
Aku tak pernah menonton di bioskop kala siang. Abangku marah-marah soal film,
bapak marah-marah soal balon. Dan saat dewasa kini aku merasa beloon.
Itu petualangan lebaran bersama yang pertama sekaligus terakhir
bagiku!
Ibu tidak ikut, entah mengapa. Lalu pada lebaran selanjutnya kami
tak pernah pergi ke bioskop atau mana saja sekeluarga, maksudku berempat. Bukan
karena bapakku tak mampu. Barangkali untuk sesuatu yang ia lebih suka tak
mengungkapkan pada siapa pun. Bagiku bapak adalah misteri terbesar dalam
hidupku.
Tentu setiap orang punya rahasia. Dan biarkan itu menjadi misteri
jika pada akhirnya hanya akan melukai. Namun kebenaran, sepahit apa pun, lebih
baik diungkapkan. Meski kebenaran itu sendiri nisbi.***
Limbangan, Garut, 30 Maret 2007
#Untuk Sahal Habibi Wijaya,
keponakan dan lelaki kecilku.
Juga untuk para kawan-sahabat-sekaligus guru lelakiku: Indra Lesmana
Sutarlim, Tendy K. Somantri, Muhammad Zainal Fanani, Ralian Bahar, Mishbahul
Munir, Farmin (Firmansyah), dan Abdul “Abuy” Yazid; terima kasih telah berbagi
hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D