Senin, 30 Desember 2013

Lingkaran



           

Lingkaran

Cerpen ROHYATI SOFJAN



I
buku punya banyak kisah. Kisah melingkar yang tak sepenuhnya kupahami. Itu tentang hidupnya, hidup ayahku almarhum, hidup abangku, dan hidupku….
Aku tidak tahu tentang kebenaran kisah yang dipaparkan ibuku, adakalanya membingungkan. Apakah ibuku bingung dengan detail kenangannya, atau ingatannya mulai lekang dimakan usia?
            Seperti sore ini, saat kami membungkus leupeut untuk dijualkan Bi Popon, pedagang makanan keliling kampung; ibuku tidak bisa menahan dirinya untuk bercerita padaku, putrinya yang tuli dan berusaha keras menyimak setiap ucapan dengan membaca gerakan bibirnya.
“Dulu,” kata ibuku, melanjutkan kisah atau kenangannya tentang masa silam, “saat kamu belum genap dua tahun dan Wawan (nama kecil abangku) masih SD, Ibu pernah meninggalkan kalian berdua di rumah kontrakan Gang Kebon Jayanti karena harus berjualan kain batik kreditan, kamu rewel sekali, tidak bisa ditinggal pergi. Membuat bingung dan kesal Wawan karena terus menangis dan berteriak mencari Ibu. Tidak mau minum susu dalam botol yang disodorkan abangmu, malah melemparkannya keluar rumah. Wawan ikut menangis,” ibuku tertawa dan mulai menangis, “sambil memakani susu dalam kaleng dengan sendok….”
Aku terbawa untuk mencucurkan air mata, sesuatu di luar kuasaku untuk mengontrolnya, dan ikut tertawa. Ah, abangku, yang selama ini menjadi musuhku dan tak kuhormati ia karena tak bisa menjadi citra ideal seperti yang kuinginkan tentang figur kakak berupa teladan, ternyata punya sisi lain dalam hidupnya. Sisi kemurnian kanak-kanak.
“Ada tetangga yang coba membujukmu namun kamu tidak mau, bahkan ketika ia hendak menggendongmu, Wawan bersikeras agar kamu diasuh sendiri olehnya. Menolak bantuan siapa saja.”
Aku membayangkan abangku menggendong adik perempuan kecilnya yang rewel dengan kain batik ibunya di belakang punggung mungilnya. Membayangkan ekspresi kanak-kanak yang mencoba tegar menghadapi cobaan tak diinginkannya.
“Ibu tidak bisa lama-lama meninggalkan kalian, Ibu tidak tenang selama berdagang dan lekas pulang.”
Air mataku kian tumpah. Kugigit bibirku menahan gumpalan nyeri yang membuncah.
“Dan Bapak?” Akhirnya aku tanyakan sesuatu yang selama ini ingin kutahu mengapa hidup ibuku harus susah padahal bapak bekerja sebagai pegawai negeri.
“Bapak tidak di rumah. Di tempat istri mudanya….”
Aku terbawa dalam alur pahit kisah ibu yang selama ini tak kutahu. Namun mengapa bapak harus kawin lagi, aku tak mengerti.
“Bapakmu tergoda oleh seorang janda,” kata ibuku.
Bagaimana bapak bisa tergoda seperti itu? Bapak yang kukenal selama ini ternyata punya sisi gelap dalam hidupnya.
“Apakah perempuan itu cantik dan muda?” Aku mencoba mencari simpul pemahaman kehidupan keluargaku yang ternyata kacau.
“Tidak, ia lebih tua dari Ibu dan tak punya anak.” Ibuku sulit dijelaskan apakah pasrah atau marah dalam nada suaranya.
Aku mencoba memahami barangkali ada sesuatu dalam diri perempuan itu yang membuat bapak tertarik padanya. Apakah ibuku yang sederhana dan berasal dari desa dengan pendidikan rendah sampai kelas 2 SR saja tidak setara dengan seorang keturunan priyayi kaya? Apalagi nenek, ibu mertua ibuku, yang keturunan Hindu-Bali masih menganut paham kastaisme, berbeda dengan kakek yang Jawa murni lebih toleran pada perbedaan.
“Kakekmu baik,” kata ibuku mengenang. Mengenang sisi pahit sekaligus baik dalam hidupnya, mencoba mengorek luka lama yang terpendam agar bisa membaginya pada sang anak perempuan.
Aku tidak tahu seperti apa sosok kakekku karena beliau sudah meninggal sebelum aku lahir. Namun dari foto dalam surat kematiannya, ia mirip bapak dan tampan. Nenek tidak cantik, bagiku ia wanita tua keriputan yang bawel dan berbau aneh. Aku tidak menyayanginya karena seingatku ia tak pernah menunjukkan perilaku yang menyayangiku. Bagiku ia nenek dari negeri asing yang tak semestinya menjadi nenekku karena tidak seperti dalam citra ideal versi majalah Bobo langganan.
Akan tetapi, nenek menyayangi abangku, lebih tepatnya memanjakannya. Segala sesuatu diberikannya pada sang cucu tersayang. Anehnya ibuku, sebagai bagian pemberi keturunan bagi penerus klan R. Soewarno, tak lebih diperlakukan sebagai babu! Tak peduli ia istri dari anak bungsu kesayangannya.
Aku dan ibuku terus membungkus leupeut, namun semuanya berbeda bagiku; aku dihempaskan pada sisi gelap kehidupan yang selama ini tak pernah kubayangkan!
“Abangmu,” kata ibuku lagi, “pernah membela Ibu waktu Ibu bertengkar dengan bapak soal perkawinannya lagi, dan ketika bapak hendak memukul Ibu, Wawan berteriak dan memukuli bapak, ‘Ulah, ulah…!’ Begitu histeris. Lalu bapak diam. Saat itu Ibu sedang mengandung kamu, dua bulan….”
Aku, mestinya pada saat itu gugur saja dan tak pernah mengenal kehidupan. Apakah abangku tak cuma mencoba menyelamatkan ibuku semata melainkan diriku yang masih berada dalam hangatnya tiga lapis kegelapan? Apakah aku berutang nyawa pada abangku yang selama ini kukenal sebagai pribadi pecundang?
Di luar hujan dan muram. Semuram suasana di dalam. Aliran listrik dari tadi padam, kami bekerja diterangi nyala lampu teplok kecil. Wajah ibuku dan wajahku seolah bagian dari kemuraman di luar.
“Waktu kecil ia kakak yang baik,” ibuku mencoba menunjukkan sisi baik dirinya lagi. “Ibu sering keguguran. Wawan ingin punya adik, lalu kamu pada akhirnya lahir. Kurus sekali. Kamu juga susah makan.”
Aku tersenyum. Sampai sekarang aku tetap kurus dan susah makan. Komplikasi bayi yang ibunya depresi?
“Pernah abangmu memaksa memberi makan dengan perkataan, ‘Emam, emam. Bisi maot.’ Ia takut sekali kamu akan meninggal karena sakit dan tidak mau makan, seperti kakak perempuan kalian.” Air mata ibuku kian bercucuran. Begitu pun aku yang tak menyangka abangku pernah demikian mengingat ketidakdekatan kami sampai sekarang.
Aku membius diriku untuk bertanya. Apakah bapak dan perempuan itu punya anak? Tidak, jawab ibuku. Apakah keluarga besar bapakku tahu? Ya, namun Uwak membela ibu, kasihan pada anak-anak yang masih kecil. Apakah bapak dan perempuan itu masih berhubungan? Mereka konon sudah bercerai. Sejak kapan? Ibuku tidak tahu pasti. Apakah ibu membenci bapak? Ibuku bilang sudah lama memaafkan bapak dan tetap mencintainya. Aku merasakan ketenangan yang menghangatkan. Namun masih saja banyak hal yang tak terpahamkan sekaligus tak termaafkan.
Jujur, ada banyak hal yang tak kuingat tentang lelaki bernama bapak dalam ingatan kolektif tentang masa kanak-kanakku. Ia seolah sering absen.
“Bapak memang jarang di rumah,” aku ibuku. “Pernah saat bapak pulang, Wawan sedang bermain kelereng di halaman dan kamu duduk memperhatikan di dekatnya, bapakmu lewat cuma menjawil selintas dagumu. Sama sekali tak menyapa apalagi menunjukkan perhatian lebih pada kalian. Wawan jadi sebal….”
Aku tersenyum pahit. Jadi itulah sebabnya, abangku punya alasan untuk membenci bapak dan memilih jadi pemberontak yang berakhir sebagai pecundang berengsek. Ia terluka sejak kanak-kanak. Seolah ditolak sang ayah yang memang tak pernah bersahabat atau setidaknya mencoba menjadi sahabatnya. Ia puas telah membalas luka itu kala dewasa. Menuntaskan dendam dengan membiarkannya mati sekarat digerogoti tuberkulosa akut di usia rentanya: membuat skandal ala melodrama keluarga dengan membawa kabur pacarnya untuk kawin lari kala hubungan mereka ditentang oleh pihak keluarga sang pacar, dan bapak yang sudah tahap sakit parah kian diperparah sakitnya. Harga dirinya sebagai ayah, suami, dan kepala keluarga seolah dicabik-cabik anak lelaki satu-satunya.
Aku mengingat prosesi kematian itu dengan batin terluka. Aku masih kelas 3 SMU semester dua. Merasa belum bisa berbuat banyak dalam hidup. Merasa sebagai pecundang kurang ajar yang belum bisa membanggakan ayahnya. Namun apakah bapak merasa sebagai ayah yang gagal? Apakah 66 tahun hidupnya harus berakhir dalam kesia-siaan? Dan apakah 30 tahun perkawinannya dengan ibu tak lebih dari kamuflase kehidupan? Sesuatu yang tak ia inginkan namun terpaksa dilakonkan; karena ia lelaki, karena ia suami, karena ia ayah, karena ia bagian dari kolektif bermasyarakat?
Kadang aku merasa kematian bapak memang sudah semestinya agar penderitaannya berakhir setelah bertahun-tahun digerogoti tuberkulosa akut, membuatnya taraf stroke dan tak bisa apa-apa tanpa bantuan ibu. Membuatku marah karena aku masih membutuhkan figur kekuatan seorang ayah, tak peduli kami lebih sering konflik daripada bersahabat.
Abangku adalah kompleksitas ruwet. Struktur yang tak kupahami. Apakah ia pun akan berakhir sebagai ayah yang gagal di mata Sahal, lalu Al akan melakukan apa yang pernah dilakukan abangku pada bapak. Aku tidak memahami perkawinan mereka. Perkawinan abangku dengan teteh iparku yang sarat pertengkaran dan kekerasan dalam rumah tangga namun selalu rujuk kembali pada akhirnya.
Apakah benih-benih luka itu telah muncul di jiwa kanak-kanak Al? Ia kini jelang 8 tahun. Bagaimana aku akan menjelaskan pada keponakanku satu-satunya bahwa hidup ini merupakan lingkaran yang berkelindan.
Dan apakah kelak ia akan menyalahkan kakeknya, sosok yang tak pernah dikenal sepanjang hidupnya, sebagai “titik api” bagi kekacauan hidupnya pula?
Aku melihat ibuku, dalam garis-garis ketuaannya, masih menyisakan ketabahan sebagai seorang perempuan yang barangkali lugu memandang kehidupan. Sama lugunya dengan kenyataan yang tak pernah kutahu akan makna perkawinan.
“Abangmu tak pernah cerita pada kamu bahwa bapak telah kawin lagi,” lanjut ibuku ketika ia tanya apakah aku telah tahu soal itu sebelumnya. “Ibu yang melarang, takut nantinya kamu tak menghormati bapak lagi.”
Aku ikut tersenyum pada kepalsuan hidup yang disodorkan ibuku.
Aku ingin muntah dalam tabah!
***
Inilah ingatanku, kenangan manis yang merupakan bagian dari ingatan kolektif. Entah apakah abangku pun mengingatnya.
Usiaku sekira 7-8 tahun, dan abangku 7 tahun di atasku. Pada hari pertama lebaran bapak mengajak abangku dan aku ke Alun-alun Bandung. Kami mencobai wahana permainan di Gedung King’s Jalan Kepatihan. Minum teh botol. Lalu ke Taman Alun-alun. Aku dan abangku bermain voli balon plastik pelangi, lalu aku begitu saja meninggalkannya di bangku taman. Merengek beli lagi kala kami hendak memasuki gedung bioskop Dian Theater. Dan aku heran karena di dalam bioskop sangat gelap. Kupikir hari sudah malam. Aku merengek ingin pulang, tak peduli film yang diputar adalah Superman. Aku suka Superman, namun aku takut kegelapan. Bapak dan abang jengkel. Terpaksa memenuhi keinginanku padahal kami baru menonton sebentar. Sebelumnya ke toilet dulu, dan aku ikut mereka karena takut ditinggal sendirian, melupakan balonku lagi!
Dan di luar, aku lega sekaligus heran karena hari masih benderang! Aku tak pernah menonton di bioskop kala siang. Abangku marah-marah soal film, bapak marah-marah soal balon. Dan saat dewasa kini aku merasa beloon.
Itu petualangan lebaran bersama yang pertama sekaligus terakhir bagiku!
Ibu tidak ikut, entah mengapa. Lalu pada lebaran selanjutnya kami tak pernah pergi ke bioskop atau mana saja sekeluarga, maksudku berempat. Bukan karena bapakku tak mampu. Barangkali untuk sesuatu yang ia lebih suka tak mengungkapkan pada siapa pun. Bagiku bapak adalah misteri terbesar dalam hidupku.
Tentu setiap orang punya rahasia. Dan biarkan itu menjadi misteri jika pada akhirnya hanya akan melukai. Namun kebenaran, sepahit apa pun, lebih baik diungkapkan. Meski kebenaran itu sendiri nisbi.***

Limbangan, Garut, 30 Maret 2007


#Untuk Sahal Habibi Wijaya, keponakan dan lelaki kecilku.
Juga untuk para kawan-sahabat-sekaligus guru lelakiku: Indra Lesmana Sutarlim, Tendy K. Somantri, Muhammad Zainal Fanani, Ralian Bahar, Mishbahul Munir, Farmin (Firmansyah), dan Abdul “Abuy” Yazid; terima kasih telah berbagi hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D