Kamu Harus Mati, Zan!
Ia melihat dirinya
di televisi: Ryan Sang Penjagal! Namun ia bukan Ryan, hanya seorang penonton
yang menikmati acara demikian ibarat hiburan. Ia sama sekali tak merasa jijik,
benci, marah, heran, dendam, maupun simpati. Biasa saja. Toh, itu “dirinya”,
untuk apa berperasaan macam orang awam: para pemirsa kasus Ryan?!
K
|
adang ia riang membayangkan dirinyalah yang ada di sana menggantikan Ryan.
Ia bisa lebih cerdas menghadapi interogasi pihak kepolisian sampai psikiater
sok analitis. Ia bisa mempermainkan mereka. Termasuk mempermainkan media dan
pemirsa. Ia bisa licin berkelit dari tekanan sampai aneka taktik kepolisian
yang menjebakkan. Sebaliknya, ia akan memecundangi dan memutusasakan mereka
sehingga tak tahu lagi siapa yang gila sungguhan. Juga tak perlu sok
sentimental mengucurkan air mata bahkan ciuman [diam-diam] kala dipertemukan
dengan sang kekasih silam. Ia juga tak akan berterus terang soal berapa mayat
yang telah ditimbunnya di berbagai penjuru. Dan terakhir, ia tak akan mengaku
bersalah apalagi mencoba bunuh diri: itu dungu!
Ia Hannibal Lecter versi baru, Hannibal yang tak
kanibal. Namun yang jelas ia suka membunuh orang dengan alasan masuk akal. Jika
Hannibal membunuh para penjahat tak berguna, penjahat tak tersentuh hukum dan
menjadikan daging mereka sebagai bahan masakan sesuai kitab kuliner terlarang
kaum kanibal. Lalu ikut menyajikannya pada para tamu “kehormatan” dalam suatu
jamuan makan malam yang sangat sopan, sampai mereka tak sadar telah menikmati
daging kawan sendiri yang secara misterius menghilang. Namun untuk mengolah
daging korban hasil pembunuhan biasa maupun mutilasinya, ia enggan. Ia tak
menghormati daging mereka. Lagi pula, ia vegetarian yang hanya makan daging
putih macam ikan dan ayam. Ia justru kagum pada Hannibal, begitu bersih dan rapi
menghilangkan jejak: meniadakan mayat dengan cara disantap. Karena itulah ia
berguru soal teori dan praktik pembunuhan; dari buku-buku, film, sampai
internet. Membunuh adalah semacam ritual, sebagaimana orang beribadah pada Tuhan.
Sedang Ryan, ha, lelaki itu cuma bikin repot
saja. Merepotkan diri sendiri, keluarganya, keluarga korban, pihak kepolisian,
psikiater, media, sampai penyimak berita dadakan. Tak lihai menyembunyikan
jejak. Bukan penjahat sejati, sekadar penjahat selebritas. Baginya penjahat
sejati, siapa pun dia, mestinya bisa lihai memainkan peran kejahatannya bukan
sebagai kejahatan, kejahatan itu harus invisible.
Maka ia membaur dalam kehidupan sebagai
seseorang yang tak tampak. Tak mencolok perhatian namun ahli menjerat korban.
Ia tak menganggap tindakannya sebagai semacam kriminal, tetapi pembersihan kaum
bajingan. Lagi pula, ia tak berorientasi pada materi kala membunuhi korbannya,
bajingannya. Ia sudah sangat mapan. Seorang MBA universitas ternama di Amerika.
Pernah menyambi kuliah sastra, sejarah, filsafat, dan psikologi. Sampai
memutuskan meraih gelar doktoralnya di bidang psikologi komunikasi pada
universitas berbeda, masih di Amerika. Lalu menerima tawaran di perusahaan
retail ternama setelah entah berapa kali berpindah tempat kerja dengan alasan
bosan dan cari pengalaman, selain mengincar peluang lebih menjanjikan secara
finansial dan kedudukan.
Ia seorang yuppie. Muda, lajang, tampan, sekaligus sopan. Berpenampilan khas
kaum metroseksual. Digilai banyak perempuan meski sebenarnya lebih tergetar
pada kaum adam. Keluarganya memiliki status sosial cukup terpandang dengan
latar belakang mirip Ryan. Waktu kecil ia pernah belajar di pesantren. Mengaji
kitab kuning salafi sampai belajar bahasa Arab dan Inggris. Ia cerdas dan cepat
menyerap. Menjadi apa yang diinginkan orang dalam kehidupan; sukses sekaligus
mapan. Ya, ialah Mizan, timbangan atau kesetimbangan. Abdul Khaliq Mizan.
Sayang ia telah lama kehilangan iman cara norma-normal.
Sebagaimana Hannibal yang ternyata gay.
Mizan kecil mengenal pengalaman seksnya dengan kawan sepesantren. Terbiasa melihat mereka telanjang kala mandi bareng
membuat orientasinya kacau. Dari balik tembok pesantren yang tampak megah dan
agung, diam-diam ia telah melakukan pelanggaran berat dengan seorang kawan
dekat: liwath! Pelanggaran ala kaum Nabi Luth yang pelakunya layak
dihukum rajam.
Mereka tidak ketahuan. Ia telah belajar
lihai sejak dini sebab risikonya besar. Apalagi kedua orang tuanya luar biasa
otoriter, terutama ayahnya, sosok tak terbantahkan yang bisa garang. Dan kala
dewasa, di perpustakaan kota,
ia tertawa membaca artikel suatu majalah bulanan lawas yang mengupas fenomena
gay di kalangan remaja. Ia melihat dirinya, pergaulan yang kebablasan. Ya, ia
telah menyalahgunakan bentuk persaudaraan tanpa batasan: aneka rambu yang ia
langgar. Dan ia tak menyesal. Bagaimanapun, secara defensif ia butuh
penyaluran. Namun ia tak bercita-cita menjadi perempuan, apalagi berperilaku
kebanci-bancian. Ia Mizan, gagah dan jantan. Persetan perkawinan!
Kapan pertama kali ia membunuh orang? Dalam
kenangannya hanya semacam pembelaan diri. Ia remaja nyaris dibunuh lawan
mainnya, sesama gay yang lebih dewasa dan ternyata psikopat sadis. Pembunuhan
itu pun hanya kecelakaan, ia tak sengaja, dalam suatu usaha pembelaan diri yang
luar biasa gigih dari siksaan, menghantam kepala sang psikopat yang cemburu
berat dengan pajangan perunggu. Untuk pertama kali, darah orang lain menciprati
wajah dan tubuh telanjangnya. Untuk pertama kali, ia mengenal hampa tak
berujung dan iman yang hilang ujung.
Keputusan pun diambil. Ia harus melenyapkan
mayat dan tak berjejak, dengan mutilasi. Juga melenyapkan bukti bahwa mereka
pernah menjadi substansi. Lalu ia tiba pada episode demi episode ganjil.
Keinginan untuk membunuh bajingan sama besarnya dengan hasrat untuk bersetubuh.
Tiada keindahan dari suatu percintaan jika kau berhasil menghabisi lawanmu yang
ternyata bajingan besar, lalu mencincangnya agar menjadi nutrisi bagi hewan
pengurai tanah yang menyuburkan.
Kadang juga ia melakukan pembunuhan
terencana, mengajak korbannya ke suatu tempat jauh dari keramaian dunia untuk
dibantai hingga tak berjejak. Ia bisa membuang mereka ke rawa penuh buaya,
hutan rimba, jurang curam, sungai deras, hingga laut dalam, atau cukup dipendam
di lokasi terpencil. Jika tak memungkinkan, cukup bunuh mereka tanpa
memutilasinya dan tinggalkan di lokasi atau lokasi lain.
Ajaibnya ia tak pernah ketahuan. Bukan
berarti benar-benar tak pernah sebab ada suatu masa ia nyaris jadi tersangka.
Kemampuan bersandiwara dan memanipulasi psikologi manusialah yang membuatnya
lolos tanpa cela. Dan ia tetap dianggap bagian dari strata sosial terhormat.
Lelaki yang tak suka pesta atau gaya
hidup hura-hura. Mengaku enggan segera menikah karena trauma pernah dikhianati
kekasihnya yang tak setia. Kekasih? Hanya semacam metafora tersembunyi.
Sesungguhnya ia tak pernah mencintai perempuan meski sesekali pergi kencan
sebagai penyamaran. Lalu merekayasa agar mereka bubar dengan sendirinya karena
ketidakcocokan. Namun ia tak pernah sekalipun berlaku tak terhormat apalagi
berperan sebagai pengkhianat. Ia sengaja kencan dengan perempuan-perempuan dari
jenis yang tak suka komitmen. Jumlah mereka saja sudah cukup banyak bertebaran.
Secantik dan semolek apa pun perempuan, ia
tetap merasa hambar. Hanya lelakilah yang sanggup menggetarkan, sekaligus
menggentarkan. Terutama jika seusai bersetubuh ia melakukan pembunuhan! Ada kekuasaan mutlak tak
terbantahkan. Kekuasaan lewat tangan yang digerakkan akal. Barangkali ia Tuhan?
Tuhan dalam versi lain. Toh, dunia
sudah dipenuhi banyak tuhan kecil. Lagi pula, ia benci jika menghamba pada
orang lain.
Keluarga, ia menghindar dari mereka,
terutama kedua orang tuanya yang sudah sangat tua. Ia bersyukur orang tuanya
telah tua, ia tak peduli jika itu dianggap durhaka. Ia memberi mereka cukup
banyak uang agar sejahtera dan mapan, namun ia selalu beralasan agar tak usah
menghadiri pertemuan keluarga besar. Kadang-kadang ia datang di acara
perkawinan atau selamatan apa saja dari salah seorang keluarga sampai
kerabatnya, itu jika mereka mendesak dan ia tak bisa menghindar. Namun lebih
sering memberi kesan terlalu ditelan ritme pekerjaan, dan dengan sopan menampik
undangan, kalau bisa diwakilkan. Ia anak bungsu, kakaknya 3 lelaki, 4
perempuan.
Sesibuk apakah ia? Pada umumnya kaum yuppie amat sibuk namun bukan berarti
tak punya waktu luang untuk melakukan hal menyenangkan. Kencan, menonton, atau
pergi makan adalah sekian kecil kesenangan yang disajikan dunia. Terlalu banyak
pilihan kesenangan bagi pengisi saat senggang. Dari belanja sampai membaca.
Dari bepergian ke berbagai tempat atau cukup diam di tempat. Dan ia tahu puncak
kesenangan apa yang merupakan pilihan utama: bunuh (kata sifat), membunuh (kata
kerja aktif), pembunuhan (kata kerja proses), atau malah di-bu-nuh (kata kerja
pasif, selaku korban bukan pemeran). Dan ia benci opsi terakhir!
Ia mematikan televisi seolah mematikan
kehidupan. Sesungguhnya ia tak tahu lagi apakah akan terus melakukan
pembunuhan. Di dunia ini terlalu banyak kaum bajingan, begitu melelahkan dan
memakan waktu untuk membersihkan mereka. Seandainya Hannibal Lecter masih ada,
ia sungguh ingin berbincang dengannya. Berguru lebih banyak secara nyata. Namun
apa sih arti nyata jika ia merasa hidup yang dijalaninya hanya mimpi.
Mimpi dalam jaga. Sedang mimpi dalam tidurnya penuh peristiwa ngeri, para
korban gentayangan untuk menghantui. Apakah itu merupakan perwujudan rasa
bersalah dari alam bawah sadar?
Persetan! Ia membatin gusar. Apakah para
korbannya pun memiliki rasa bersalah jika mereka tak lebih dari bajingan?
Bajingan dalam banyak hal yang tak bisa dibenarkan. Ada suami yang menipu istri dalam perkawinan
semu. Ada
kriminal biasa sampai berdasi yang tak tersentuh hukum. Ada penipu ulung. Ada pedofil yang lihai mengincar anak kecil
dan merusakkan masa depan mereka. Ada
brondong yang pemalas dan mau enaknya saja. Dan masih ada banyak lagi
tingkatan yang lebih parah dari itu. Tingkatan yang lebih menggairahkan untuk
menjadi Hannibal.
Hannibal yang
sadis dan tak kenal takut kala mewujudkan niatnya, niat untuk bertahan hidup
sekaligus mencabut hidup. Hannibal
adalah MAUT!
Ia
letih luar biasa. Tiba-tiba merasa muak pada dirinya. Sebenarnya untuk
apa ia ada? Sebagai pembersih atau cuma seseorang yang harus dibersihkan? Ia
menunggu seseorang ganti membunuhnya, namun ia lebih kuat dan lihai dari para
korbannya. Ada
gairah untuk bertahan hidup. Hanya pecundang yang menyerah pada rasa takut.
Ia ingin bertanya pada Hannibal, apakah memiliki rasa cinta?
Pernahkah Hannibal jatuh cinta dan sungguh-sungguh mencintai seseorang,
korbannya atau bukan? Namun di sini tak ada Hannibal yang bisa ia ajak bercakap banyak
hal. Ia hanya bisa bercakap dengan dirinya sendiri. Dan ia kesepian di dunia
yang ingar ini.
Cinta? Apa sih artinya? Ia pernah
begitu mencintai kawan masa kecilnya di pesantren dulu, kawan yang sama-sama
untuk pertama kali melakukan liwath dengan sukarela. Namun kawan itu
telah mengkhianatinya. Setelah remaja, sekeluar dari pesantren tak pernah
menghubunginya lagi. Dan kala dewasa terungkap bahwa kawannya telah memilih
hidup normal dengan menikahi perempuan. Ia tak bisa mengusik hidupnya. Sebab
begitu bertemu, sang kawan hanya berkata tak bisa hidup dengan jalan macam itu
lagi, ingin kembali pada fitrahnya sebagai lelaki. Mengajak bertobat selaku
“orang suci”. Dan ia muak sekali. Merasa tersingkir dan harus menyingkir. Jadi
ia pergi dan bertualang mencari cinta sejati. Namun para korbannya terlalu
kotor untuk dicintai.
Ia ingin bisa mencintai. Lelaki. Lelaki yang
bisa memberinya cinta murni pula. Ia hanya tak beruntung. Ada yang memanipulasi sampai mengekangnya. Ia
tak ingin kedua hal itu. Cinta baginya adalah kebebasan untuk melakukan banyak
hal tanpa kungkungan. Dan manipulatif bukanlah sifat yang ia cari dari subjek
cintanya. Manipulatif adalah dirinya selaku pemeran. Tak boleh ada yang
memanfaatkannya! Kalau bisa, dalam mencintai ia tetap melaksanakan “tugasnya”
sebagai Sang Pembersih yang rapi menyembunyikan jejak kejahatan.
Di luar sana, adakah lelaki idaman? Tempat berbagi
hidup sampai ajal memisahkan? Seseorang yang tak perlu ia jadikan korban?
Terlalu menyakitkan jika kau harus membunuh orang yang kau cintai karena telah
membuat kesalahan. Dan ia pernah lakukan itu. Melakukannya pada seseorang yang
ia sangka pilihan.
Ia limbung. Lelaki itu tak dimutilasinya. Ia
terlalu mencintainya. Akan tetapi, lelaki itu telah memergoki kejahatannya dan
tak ada pilihan baginya selain dimatikan. Mereka berkelahi habis-habisan,
dengan ledakan amarah, cinta, benci, dan penyesalan. Ialah yang menang sebab
lebih kuat dan berpengalaman dalam perkelahian. Lelaki itu tumbang. Namun
sebelum sakaratul sempat melontarkan kutukan, “Kamu harus mati, Zan!”
Dan sampai sekarang kutukan itu terus
membayang. Ia ingin mati namun tak kunjung mati juga. Barangkali belum saatnya.
Barangkali ia masih harus bertualang mencari korbannya, juga cinta yang hilang
entah ke mana.***
Limbangan, Garut, 3 September 2009,
sehari setelah gempa yang berpusat di Tasikmalaya; saya dan bayi dalam perut
baik-baik saja, sebab mengapa di rumah panggung hanya terasa seperti ada truk
besar lewat menderu saat orang lain merasakan guncangan dahsyat?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D