Sabtu, 28 Desember 2013

Bermotor



Bermotor

Oleh Rohyati Sofjan


*Penulis Lepas Cum Ibu Rumah Tangga, Tinggal di Limbangan, Garut

B
ermotor alias memiliki atau mengendarai sepeda motor sepertinya merupakan kebutuhan primer bagi kita. Demi menunjang kelancaran mobilitas atau sekadar alat pencari nafkah. Kecil sekaligus efisien. Namun ironisnya bermotor pun rawan alami kecelakaan lalu lintas. Menjadi korban bagi para predator jalan raya. Celaka badan atau nyawa melayang seakan santapan lumrah harian yang kerap mengintai.
Cobalah kita tengok sekitar, apakah ada keluarga, kerabat, tetangga, kenalan dekat atau jauh, atau sekadar orang tak dikenal pernah jadi korban atau sekadar menyaksikan kejadian? Tabrakan antara motor dengan motor, motor dengan kendaraan roda empat atau lebih, motor dengan becak atau gerobak yang sedang didorong pedagang naas yang kebetulan melintas, atau motor menabrak anak kecil. Begitu kerap.
Abang saya pernah tabrakan dengan motor orang lain, kecelakaan tragis yang membuat jari kelingking kakinya diamputasi. Anehnya ia tidak kapok punya motor. Terpaksa demi mobilitas pencari nafkah sebagai pedagang keliling agar anak istri bisa makan dan sekolah. Meski untuk itu ia memaksa ibu dengan cara tak terpuji agar ikut membayar kredit motornya. Anak perempuan teman saya kala pulang sekolah di kawasan Cijolang, Limbangan, yang kebetulan sedang sepi, diserempet motor lain dari belakangnya yang menyalip. Motor berikut dirinya sampai jatuh terseret beberapa meter. Pergelangan kaki kanannya sempat “dimakan” aspal hingga menyisakan luka berupa kehilangan daging. Notebook-nya ikut rusak di bagian “jeroan”, hingga ia sempat frustrasi karena semua tugas sekolahnya pada hilang. Ironisnya yang menabraknya, seorang bapak separuh baya, malah menyalahkan karena dianggap menghalangi jalan. Padahal sebagai anak sekolah ia mencoba berkendara agar aman. Dari segi cara, kecepatan maksimal sampai helm standar.
Barangkali adab kian rawan di jalanan. Sebagai pengendara atau sekadar pejalan. Adab dikalahkan egoisme diri agar cepat sampai, melupakan unsur selamat bagi diri dan orang lain. Seperti suatu pagi yang sibuk dan macet, kala dibonceng teman ke kampus Unpas untuk ikut mengajar, kami sempat nyaris bertabrakan dengan sepeda motor lain yang enak saja main salip. Beruntung teman saya bisa menguasai motornya. Betapa gegabahnya orang itu. Mengabaikan adab yang nyaris mencelakakan orang lain bahkan dirinya. Dan enak saja melenggang setelah mendahului kami yang mengalah.
Suatu siang di Jakarta, setelah melewati jalan layang Jagorawi sampai jalur busway, di jalan satu arah yang luas dan tak terlalu macet, di dalam mobil sedan Hyundai milik kawan yang nyaman kami menyaksikan -- tak jauh di depan lampu merah -- dua motor bersenggolan dengan keras. Entah apa sebabnya. Keduanya jatuh. Masing-masing tertindih motornya. Bisa bangkit meski mungkin alami luka-luka juga. Beruntung keduanya memakai helm standar.
Kala meneruskan perjalanan ke kawasan Koja, dua orang lelaki membawa motor yang didorong gerobak, rusak parah. Dan di jalan lain, seorang bapak menuntun motornya yang ringsek. Hebat! Cuma tiga kecelakaan saya saksikan di Jakarta dalam satu tarikan perjalanan.
Unsur utama bermotor semestinya memahami etika berkendara, selain kelaikan perawatan kendaraan dan memerhatikan panduan agar aman. (Juga apakah memang sudah lolos seleksi kepemilikan STNK berupa pemahaman rambu-rambu berlalu-lintas.) Namun sulit memang jika masyarakat mulai terkikis adabnya. Jadilah bermotor memangsa korban atau dimangsa predator lain!***
Limbangan, Garut, 28 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D