A
|
ku kehilangan kenikmatan
membaca. Bukan tak suka lagi melainkan kesulitan mendapat ruang untuk itu.
Minat tetap ada namun tak semenggebu dulu, mengingatkanku pada istri seorang
kawan yang beranak tiga. Ia supervisor, dulu sangat suka membaca namun kesibukan
membuatnya kehilangan minat pada dunia literatur lagi, padahal suaminya penulis
yang produktif dan mereka bertemu karena dunia menulis. Tiap melihat buku
suaminya, cuma memerhatikan bagian sampulnya saja. Dan aku takut kelak berakhir
sepertinya. Membaca bagiku kenikmatan tertinggi, namun menjadi seorang ibu
adalah anugerah terindah. Kelak Rafi akan paham jika telah menjadi sepertiku,
karena pengalaman menjadi itu sangat personal sifatnya.
Ah, kuucapkan selamat untuk rencana kuliah di Singapura.
Impianmu semoga tercapai dengan baik. Wujudkan saja, ya? Dan maaf karena aku
sangat lama untuk menulis ini. Seperti kataku tadi, soal membaca. Dan yang
lebih parah, aku merasa kehilangan mobilitas. Hal yang paling ditakutkan bagi
seorang penulis adalah mobilitas yang stagnan. Dunia berputar dan aneka
peristiwa berloncatan, bagaimana cara merangkumnya?
Palung tidur nyenyak bareng
ayahnya. Namun saat aku sedang menulis malam-malam, kadang ia terbangun. Tama
akan memanggilku dengan membuka tirai kamar, dan kulihat Palung sedang menangis
sambil berbaring atau duduk. Oa, oa..., neeen.... Ah, bayiku yang lucu
dan tampan minta enen. Energiku terkuras, konsentrasi buyar. Ini hidupku. Jalan
panjang menuju kesabaran sebagai ibu itu tidak mudah. Namun Palung membuat
hidupku lebih indah. Ia prioritas utama ketimbang proyek novel dan buku parodi
atau memoar. Aku juga tidak mengerti, dulu fokusku menulis, namun menjadi ibu
membuatku berbeda. Aku lebih peduli pada perkembangan Palung dan bagaimana cara
memperbaiki keadaan finansial keluarga. Masa lajang yang egosentris telah usai.
Dan bagiku agak menyedihkan!
Aku punya netbook (yang suatu saat akan tergusur tablet, komputer
genggam yang lebih mini daripada netbook atau notebook) impianku
sejak dulu, sejak masih vakum sekolah selepas SD dan sebelum masuk MTs. yang
dikelola abimu. Ya, kukenal dunia lewat membaca. Sunyi akan bersuara jika
kuakrabi aksara. Dan terima kasih karena abimu telah menerima aku sebagai
muridnya meski aku bukan murid yang baik. Aku tak bisa dituntut untuk bersikap
sempurna dan manis budinya, apalagi aku punya masalah tekanan psikologis.
Cenderung obsesif impulsif dan rada asosial.
Berbeda itu tidak mudah,
Rafi, apalagi saat itu tidak ada internet dan bacaan masih terbatas. Bagaimana
aku bisa tahu cara menempatkan diri? Beruntunglah kamu yang hidup di era lebih
mudah, globalisasi dalam artian positif. Mungkin jika saat itu sudah maju aku
akan bisa lebih baik daripada sekarang, dan aku iri pada anak muda seusiamu
yang beroleh aneka kemudahan, termasuk akses informasi dan multimedia. Keren,
‘kan? Tanya abimu kayak apa zadul itu, saat Bilqis masih
bayi dan Rafi belum ada, hehe....
Mengobrol dulu ya,
ngalor-ngidul agar aku lebih leluasa menuang ide. Lagi kaku. Namun baiknya
nulis sambil dicicil saja, Palung bisa bangun sewaktu-waktu. Suami malah bangun
dan ganggu aku. Lagi pusing dan membahas soal esok gimana secara finansial. Alhamdulillah
ia dapat kerjaan memburuh tani, cangkul kebun orang, namun tak selalu tiap
hari. Doakan saja semoga tiap hari ada yang membutuhkan tenaganya agar aku bisa
fokus menulis. Bulan ini membaik daripada bulan-bulan lalu. Aku tidur dulu. ‘Ntar disambung.
***
Epigonisme dan Plagiatisme
Dua kata yang bingungin?
Ber-isme lagi. Apa bikin serem? Oh, itu ada kaitan. Soal keterpengaruhan dan
penjiplakan. Tidak apa-apa jika kita terpengaruh oleh penulis yang disukai,
namun sebaiknya baca majalah Annida, ya? Aku dulu pernah terpengaruh
Seno Gumira Adjidarma, gaya bahasanya cenderung berat dan mengalun, filosofis
dan kaya metafora, sering surealis malah. Namun aku sadar tak akan bisa seperti
Seno, karena Seno adalah Seno dengan perjalanan hidupnya yang memengaruhi warna
tulisannya. Ia punya karakter khas. Dan aku adalah aku dengan alur hidup
sendiri. Kubiarkan diriku terpengaruh Seno hanya dari segi bahasa, namun
selanjutnya aku mencoba mencari karakter tulisan sendiri. Maka jadilah aku
seperti sekarang. Cerpenku cenderung bernuansa muram, dan esaiku agak gimana
ya. Lugas namun masih harus banyak belajar dari penulis kolom dan esai lainnya.
Ini aku, mengakui kekurangan
dan masih ingin banyak belajar. Sebab penulis yang baik adalah yang tak pernah
puas dalam berkarya dan berusaha mengeksplorasi bahasa dan ide. Semoga Rafi
juga gitu. Aku punya majalah Jurnal Perempuan yang ada wawancara dengan Rachmania
tentang proses menulisnya. Moga bisa menginspirasi. Setidaknya bisa
menghilangkan kecenderungan epigon yang menjurus plagiat. Maaf, ini soal main copy
paste yang pernah kubahas dalam surat pertama. Ini yang kedua dan semoga
paparannya bisa lebih panjang.
Percayalah, menjadi penulis
itu jalannya panjang, maka jangan sampai kita membuat catatan sejarah yang
memalukan dan mematikan karier dengan menjiplak. Ada loh kasus seorang penulis
puisi asal Jawa yang menyertakan puisinya di antologi bersama, namun puisinya
hasil jiplakan dari sebuah puisi karya Juniarso Ridwan yang ia utak-atik
bahasanya namun susunan larik dan baitnya sama. Wah, ia tamat dibantai redaktur
budaya koran Pikiran Rakyat yang menulis esai soal itu.
Rafi, aku baca Eiffel dua
kali, dan agak kecewa karena warna karya Rafi kentara ada main copy paste
Rachmania. Soal cowok jutek ya gak pa-pa. Karakter tokoh Adit emang unik, namun
karakter David dalam cerpen “Roman Picisan” (lebih tepatnya novelet aja karena
panjang) yang punya masa kecil dengan gue-tokoh, sebaiknya jaga jarak dengan
Adit. Ada paragraf kamar Adit dan David yang di pintunya bertuliskan kamar
mereka gak apa rada mirip. Namun aku terganggu dengan karakter gue-tokoh yang
merengek pada bundanya, kayak rengekan Tita soal keluar rumah. Padahal novel
dan noveletmu asyik loh. Jangan jadi nila ya, susunya bergizi tuh.
Dan urusan gramatika, kata
tempat dimana sebaiknya ditulis terpisah jadi “di mana”. Gak ada deh
urusan yang boleh seenaknya jika menyangkut kata depan dan imbuhan, harus
sesuai acuan. Gak apa jika gak tahu, namun kalau dah tahu harus jeli ya, jangan
sampai salah ketik.
Dan penulisan lumaian
mesti “lumayan” karena cara pelafalan ‘yan’ dengan ‘ian’ itu beda. Kata sandang
“-nya” bisa berarti milik atau kepunyaan, jika dalam satu kalimat ada sinonim
yang ber-nya, jangan diulang karena cenderung melanggar kaidah ekonomi kata.
Jangan ada kata yang mubazir dan cenderung bikin cape yang bacanya. Ini contoh
kalimat dari “Roman Picisan”: Gue gak ikhlas kalo tuh patung dikasihin sama temen
ceweknya David yang namanya Rafena itu.
Ceweknya jika sebaris dengan namanya
bisa diganti dengan temen cewek saja karena di belakangnya ada
tulisan-subjek David, jadi itu sudah cukup dengan cewek David saja agar hemat
kata dan sesuai kaidah bahasa.
Jangan takut memilih kata namun tetap jeli, ya. Bisa juga
cari panduan di kamus jika tak yakin. Aku suka bahasa yang eksploratif, tak
melulu cuma dialog yang berkesan paparan, ada latar dengan bahasa yang
membuatku bisa merasakan.
BTW, David itu sepupu Tari? Agak bingung juga dengan
hubungan mereka.
Minggu lalu aku YM-an dengan Pak Tendy, bahas kolom
bahasa untuk majalah Tempo, masih ingat dengan “Bahasa Awur-awuran”? Pak
Tend berbaik hati namyain kabarnya pada Pak Uu Suhardi, editor kolomnya yang
juga moderator milis guyubbahasa. Sayang tulisanku dianggap panjang dan
barangkali tak memenuhi acuan yang Tempo cari. Itu majalah berita
nasional yang mengutamakan aktualitas, dan sudah lama aku tak baca Tempo.
Terakhir baca waktu belum dibreidel, sedang terbitan sejak tahun 1999 (aku lupa
terbit perdana lagi kapan) gak pernah baca jadi gak tahu karakter medianya.
Waktu masih kerja di Bandung, aku sebetulnya
berkesempatan beli bacaan apa saja, termasuk majalah mahal, namun aku orangnya
cenderung itu-itu saja, beli Annida mulu, plus Muslimah dan Alimah.
Pernah juga Ummi. Soalnya gajiku terbatas dan aku sedang dalam semangat
berusaha menggapai hidayah. Sekarang aku menyesal karena membuatku seolah
kurang wawasan dengan pembatasan. Padahal dengan beli beragam terbitan media
(tak usah langganan) aku bisa melebarkan sayap agar lebih banyak tulisan yang
dimuat dan kaya warna. Jadi, moga pengalamanku bisa diambil hikmahnya. Rafi
serius ingin jadi penulis profesional? Sekarang ada banyak media, islami dan
sekuler, itu bagus bagi kita.
Namun aku sependapat dengan Nia (Rachmania) di Jurnal
Perempuan, bahwa ia suka baca majalah yang bisa disimpan lama karena isinya
bermanfaat, tak melulu berisi fashion dan gosip. Uh, padahal ngerti perkembangan
dunia seleb aja aku enggak, gimana bisa ngikutnya?
Sekarang majalah Story sering memuat cerpen yang
menyorot dunia seleb, kayak Edward Cullen tokoh film Twilight, aku
pernah lihat fotonya di mana gitu, ganteng sih namun bagi ibu-ibu macam aku gak
gitu getarin, entah jika dah nonton DVD-nya, haha. Jadi, kadang kita sulit
bayangin sesuatu karena tak mengerti, bahasa kerennya kurang gaul. Duh....
Dunia remajamu memberi banyak kesempatan untuk
dieksplorasi. Hal terbaru dan unik bagimu bisa apa saja, tentu berbeda dengan
pengetahuanku tentang duniamu sekarang. Jadi, jangan lewatkan kesempatan itu.
Tak cuma menyorot masalah cinta tetapi problem mereka dengan lingkungan dan
keluarga, hal yang terparah (majalah Annida sering memuat cerpen bagus
tentang dunia remaja yang apa adanya). Itu realitas bukan semata menawarkan
mimpi semu. Seperti dulu aku baca cerpen di majalah remaja macam Gadis, Aneka,
sampai Anita Cemerlang; kisah percintaannya kebanyakan sosok lelaki
ideal itu gimana, dewasa dan romantis, gitu. Huh, padahal masa remajaku
kebanyakan anak cowok yang kukenal pada bosenin dan kekanakan, hehe. Gak ada
yang seperti digambarkan cerpen yang pernah kubaca. Idealisasi macam itu bisa
mengaburkan pandangan kita. Jadi, sebetulnya anak cowok zaman sekarang di mata
Rafi gimana?
Sesudah membaca “Misteri Diary Bintang”
Agak sesak juga, alur ceritanya nyedihin. Namun masih ada
hal yang belum jelas soal mengapa Bintang dianggap tidak baik oleh
saudara-saudaranya. Di sana tak dijelaskan bahwa papa Bintang dah nikah lagi,
dan bagaimana dengan sifat juga karakter istri barunya terhadap Bintang. Yah,
aku rada bingung bacanya. Juga kehidupan baru Bintang setelah kabur dari rumah
papanya. Ah, jika itu cuma fiksi, mungkin ada baiknya diubah lebih jelas agar
efek dramatisnya meresap pada pembaca. Namun jika berdasarkan kisah nyata, aku
pikir di sini ruang imajinasi harus bekerja lebih keras dalam menganalisis
psikologi tokoh Bintang dan orang-orang di sekitarnya jika ia memang telah
tiada. Cara penuturan lewat diary belum menggambarkan seperti apa selain hidup
Bintang yang sering disiksa.
Oh ya, napa Bintang tak kabur saja ke rumah eyang
putrinya?
Cerpen itu bisa Rafi kirim ke majalah Story untuk
kategori cerita serem, namun masih kurang nyeremin, hehe.
Liontin untuk Wulan
Aku bingung! Sungguh ini yang terparah bingunginnya dari
6 kisah Rafi yang kubaca di netbook-ku. Banyak sekali hal yang
bias, kabur, atau mengawang. Kok bisa ya Manda dan Marga punya anak namun ayah
anak-anak mereka absen keberadaannya di cerita. Pengaruh sinetron?
Rafi, habis kecelakaan napa bisa suami Manda tak jelas,
lalu soal memberikan liontin atas dasar pesan siapa padahal Manda sudah tahunan
raib tak tentu rimba. Nah, aku terganjal dengan isi cakapan telefon Manda pada
Marga.
Pengetikannya juga tak rapi, Fi. Rapiin ya. Juga
gramatikanya. Nama Anggi dan Angel kok inkonsisten?
Hanya Ingin Menutup
Hujan di luar deras juga, sejak siang, membuatku
terhalang mengajak Palung jalan-jalan. Ia bosan jika dikeram di rumah terus.
Maunya main banting barang atau gedor-gedor apa saja, termasuk kaca. Capek
melarangnya. Anak itu akan ngotot dengan ekspresi lucu jika dilarang. Usianya
sekarang 13 bulan jalan 14. Semoga Allah senantiasa melindunginya. Aku masih
belum bisa jadi ibu yang baik, belum bisa memberikan hal-hal yang sepatutnya
Palung terima sebagaimana bayi lain, keterbatasan finansial membuatku harus
bersabar dalam kepedihan. Ada banyak masalah keluarga, namun yang mengecewakan
adalah adik nenek suamiku (sebut saja Bu Gois) yang tak amanah. Karena ialah,
mertuaku (nenek suami) cabut kembali ke Lampung setelah menjual rumahnya (yang
baru dipanjar 1 juta sama anak Bu Gois). Bu Gois itu banyak menyusahkan dan
menjerumuskan buyut Palung dalam kubangan kesulitan karena berkaitan dengan
uang. Panjang ceritanya. Namun keputusan yang telah diambil buyut Palung ikut
memengaruhi hidup kami. Sekarang ia menelan semua akibat dari kebodohannya
karena lebih percaya pada adiknya sendiri ketimbang cucunya.
Dan yang terburuk, hubungan keluarga yang harmonis
sepertinya agak retak. Yah, ini roman hidupku. Lebih rumit. Kadang aku bertanya
apa perlu jika kutuangkan semua dalam memoarku?
Aku lelah. Ingin sekali jadi penulis yang tak pusing soal
uang, bisa baca apa saja dan leluasa dalam mobilitas, termasuk mengakses arus
informasi dari beragam media. Still a dream. Suamiku sudah berusaha
dalam maisyah, namun banyak keterbatasan. Aku harus lebih gigih menulis
apa saja secara berkualitas namun itu mustahil dengan aneka benturan yang
kualami. Malam ini saja aku lelah dan sering tak berpikir tentang apa yang akan
kutulis. Ide cerita atau tulisan masih kupikirkan namun selalu bukan saat yang
tepat karena sedang beraktivitas kerumahtanggaan. Palung kalau lihat netbook senang sekali namun bawaan
pasti akan memukulnya, dan aku harus mengamankan netbook dari Palung agar tak rusak.
Tadi siang ia sempat ribut, mewek-mewek dan marah padaku. Aku yang semula
menyetel musik agar Palung bisa tidur jadi kewalahan, anak itu senang dengar
suara musik namun heran dari mana muasalnya. Ia bolak-balik memegang dan hampir
memukul netbook-nya. Harus kutunggu usia
berapa agar Palung bisa belajar komputer ya? Setidaknya aku bisa kembali tenang
jika menulis karena yakin netbook akan aman jika dipegang Palung, hehe.
Tidur dulu, ah. Gak tahan kantuk. Oahemmmmmm.
23 Desember 2010
Sekaranglah....
Aku sudah menulis banyak, maaf bukumu lama berada di
tanganku, mestinya dari dulu kukembalikan lewat Ade. Aku ingin jumpa Rafi,
sekarang liburan sekolah, ‘kan, apa bisa?
Ingin kukunjungi lagi madrasah abimu, hanya berkunjung
meski aku sering canggung jika berlaku sebagai tamu. Ingin kuajak Palung juga,
ia paling senang diajak jalan keluar. Setidaknya kukembalikan bukumu, dan isi
surat ini, juga buku/majalah yang ingin kupinjamkan. Liburanmu ngapain?
Aku suka baca Story, namun Palung akan mengucek-ngucek buku atau majalah apa saja hingga lecek sampai
robek, termasuk memakannya. Majalah baru bisa berakhir tak utuh. Ada-ada saja.
Anak itu doyan makan kertas, hehe.
Sudah kirim tulisan ke Story? Sekarang majalah Anita
Cemerlang terbit lagi sayang tak masuk Indomaret Limbangan. Aku belum baca.
Dan soal kritik atas tulisanmu, maaf, itu cuma berupaya
memperbaiki apa yang kurasa kurang. Aku tak ingin mematikan karaktermu. Jadikan
semacam cambuk. Bagaimana jika Rafi ikut milis guyubbahasa? Ya, agar
bisa belajar sendiri dan selalu mengikuti perkembangan.
Selamat berkarya. Aku masih bisa menangkap esensi
ceritamu, namun dalam perspektif berbeda. Jangan takut soal kritik atau
masukan. Kuharap itu bisa menjadikanmu lebih baik di masa mendatang sebab Rafi
sejujurnya sudah jadi namun masih butuh polesan.
Soal nerbitin buku ternyata tak mudah. Namun jangan
menyerah. Aku alami kendala juga. Dunia penerbitan memang sulit ditembus
apalagi banyak penulis bagus. Itu tantangan, setidaknya kita telah berupaya dan
masih akan berupaya. Doakan moga keadaan finansialku membaik agar aku bisa
memperbaiki kualitas tulisan karena leluasa mengakses arus informasi. Kudoakan
Rafi juga agar tak patah arang. Amin.
Kita punya mimpi dan jangan takut untuk yakin akan bisa
mewujudkannya. Insya Allah, segala yang mustahil bisa mungkin berkat
iradat-Nya. Lihatlah aku, keterbatasan tak membuatku runtuh begitu saja.
Seorang perempuan keras kepala yang keras pendirian namun merasa kurang tekun,
berusaha mengatasi beragam hambatan hingga menjadi sekarang. Namun aku tak bisa
melakukannya sendirian, ada banyak tangan yang berperan, tangan yang digerakkan
oleh Tangan Yang Satu. Ya, seperti judul buku Tristan Jones, One Hand for
Yourself. Cita-citaku ingin baca buku Tristan Jones, semoga ada penerbit
sini yang menerjemahkannya. Amin.
Kita akan berjumpa lagi, ‘kan? Jangan kapok untuk
mermberikan karyamu. Aku suka mendapat hal baru. Kita bisa bertukar pengalaman
dan memperbaiki wawasan. Bukankah begitu?
Salam dariku dan Palung. Ia keajaiban dari Allah yang
Rahman.
Terima kasih dah baca dan percaya.
Wassalam,
Rohyati Sofjan
27 Desember 2010
Sekadar Tambahan
Tentang teknik menulis/bercerita. Aku suka cerpen “Secret
Admirer” Raha Kurnia di Story. Tekniknya asyik, apalagi gaya bertutur
Raha yang mengalir namun mengalun membuatku betah membacanya berulang kali.
Nama Paksi Buana kucari di KBBI ternyata bagus juga, Penguasa Dunia. Apalagi
Hana Maisei. Nama tokoh bagiku penting untuk diketahui maknanya agar lebih
menghidupkan karakter cerita. Namun aku bingung dengan nama tokoh di cerita
Rafi. Eksplorasi ya. Jangan yang sulit diucapin, bisa lupa diingat nama
tokohnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D