Delirium
Cerpen Rohyati Sofjan
Ketika aku pertama kali mengenalmu, kamu tak lebih dari seorang
gadis muda yang berkesan lugu. Namun ada sesuatu dari dalam dirimu, sesuatu
yang memancar perlahan, membuatku tak kuasa untuk memerhatikan.
Waktu
itu kamu masih muda dan segar dalam pandanganku, tubuh mungilmu dibalut switer
dan celana panjang abu-abu. Rambut pendekmu yang dibelah tengah menyentuh bahu.
Dan kamu terlihat lucu sekaligus bahagia waktu itu. Harus kuakui kamu cukup
rupawan meski tak secantik perempuan-perempuan lain yang kukenal. Namun kamu
punya daya tarik yang bisa membuat lelaki terpesona begitu saja.
Waktu
membawaku pada perjumpaan-perjumpaan yang tak pernah kuharapkan tentang kamu.
Begitu saja kamu masuk dalam hidupku. Membawa sekian cerita dan celotehan tak
terduga. Pelan namun pasti kita berbagi dunia, mencoba belajar memahami semesta
dan isinya. Namun aku takut untuk memasuki wilayahmu yang paling privasi sebab
kamu seolah menyodorkan diri untuk terbuka dan berbagi, sedangkan aku lebih
suka jadi pengamat luar; jika indah maka akan kunikmati, jika tidak sebaiknya
ditinggal pergi. Dan kamu tahu itu, atau mencoba tahu diri. Sampai kurasakan
jarak yang kucipta mulai merenggangkan kita.
Kamu
masih berkirim kabar lewat surel-surel panjang bahkan berantai, namun kamu tak
pernah lagi berbagi tembusan tulisan yang dikirim untuk berbagai media. Aku lega sekaligus merasa telah jadi
orang luar lagi di matamu. Aku lega kamu tak berbagi hal macam itu, namun aku
merasa kehilangan, kehilangan arti bagi hidupmu. Ataukah hanya kehilangan
kebanggan sebagai seseorang yang paling diperhatikan?
Sebagai
lelaki, aku tersanjung dengan perhatianmu. Kutahu aku mendapat tempat paling
mendalam dalam hidupmu, sebagai motivator dan teladan, namun aku lebih suka
jadi kura-kura dalam perahu saja. Sebab aku tahu kamu lebih suka membiarkannya
demikian, seolah tak terjadi apa-apa, seolah perasaanmu adalah semacam
ketenangan yang tak perlu dihanyutkan.
Jadi
begitulah kita saling memainkan peran. Bersahabat dan belajar, namun tetap
dalam batasan formal. Dan aku menghargai caramu yang lebih suka demikian. Harus
kuakui kamu berbeda dengan sekian perempuan lain yang telah kukenal,
perempuan-perempuan yang mengejar-ngejarku secara terang-terangan.
Aku
mencoba menjadi orang yang tepat bagi hidupmu. Bahwa rasa cintamu yang
diam-diam bukanlah hal yang salah, sebab sebelumnya kamu pernah berdoa agar bisa
jatuh cinta pada orang yang tepat. Meski aku sendiri tak yakin merupakan
jawaban bagi doamu. Aku khawatir melakukannya sebagai rasa kasihan.
Bermalam-malam
aku melewatkan hidup tanpa sapaanmu. Sengaja tak kujawab pertanyaanmu dalam
surel dan milis dulu. Aku sedang marah akan sesuatu dan ingin mendiamkanmu,
meski harus kuakui caraku bisa jadi sesuatu yang pernah kamu pertanyakan:
“Mengapa lelaki selalu mengambil jalan mudah yang ternyata salah?”
Kukira
bukan hanya aku saja yang mendiamkanmu. Kukira ada beberapa lelaki yang
sepertiku dengan alasan berbeda: ingin menyingkirkanmu dengan cara “sopan” dan
“halus”. Orang-orang yang kamu percayai. Orang-orang yang tak sengaja kamu
kecewakan dan lukai. Atau orang-orang yang takut mengecewakan dan melukaimu?
Aku
punya alasan. Kamu harus melanjutkan hidup tanpaku sebab aku mulai merasa
terganggu. Aku khawatir terlalu dominan bagi hidupmu, dan lelaki-lelaki di
sekitarmu merasa tersingkir atau malah menyingkir. Penasihatku bilang agar aku
membuat keputusan demikian. Jalanmu masih panjang dan barangkali melingkar. Aku
melakukannya sebagai pecundang yang tak bisa menerima kenyataan diam-diam
dicintai seorang perempuan tak diinginkan. Kamu terlalu menawan untuk diabaikan
di mata kawan-kawan sepergaulan. Dan matamu, ah, mata yang sarat luka;
mestikah aku menambah panjang deret lukamu?
Setiap
malam berhujan, seperti malam ini, kala melewati jalan dengan deret pertokoan
di mana kamu pernah kerja dulu, aku teringat kamu. Ternyata aku tak bisa
mengabaikanmu. Mengabaikan ingatan akan perempuan yang mencintai hujan dan
malam. Kulajukan motorku perlahan di atas jalanan beraspal yang basah dan
licin, mencoba mengingat ruap harum tubuhmu kala dalam boncengan pertama
sekaligus terakhir. Ruap asing yang lembut dan menghangatkan. Percampuran
antara minyak kayu putih dari aroma merek tak kukenal dengan parfum dan
deodoran. Malam berhujan itu kamu terlihat lelah dan pasi dalam balutan blus
dan kerudung biru. Masih cantik meski
tak sesegar dulu seperti kala usiamu 24 dan aku 34 tahun. Siap makan malam
bersama dengan rekan kita dan keluarganya di sebuah restoran dengan atmosfer
tradisional Jawa. Tak banyak percakapan yang kita lakukan, kamu terlihat gugup,
aku dibuat sibuk dengan dering telefon gengggam dan SMS. Kunyalakan rokok A
Mild diiringi protesmu yang lebih khawatir aku keseringan merokok, dan
dengan ringan kujawab bahwa udara dingin. Sebenarnya selain kedinginan, aku
merokok sebagai semacam ritual untuk menenangkan diri.
Udara
seolah bertuba. Telah kulewati rel kereta dengan jalan layang melintang di
atasnya, lalu kompleks ruko di mana ada warnet langgananmu. Kamu tak pernah ada
di sana lagi, menghabiskan malam demi malam pada dunia maya sebagai pelarian
sepulang kerja. Ya, dari surel terbarumu kemarin, kamu ternyata punya alasan
untuk demikian. Terlalu picik aku pernah salah menilai sebab ada banyak segi
yang kamu sembunyikan.
Masih
kulajukan motorku perlahan. Jalan layang seolah menjadi naungan dari curah
hujan. Namun segalanya berbeda. Tak ada kamu yang berkeliaran di kota ini lagi.
Kamu telah lama menyingkir, jauh ke sudut kampung di lereng gunung pada belahan
kota lain yang asing.
Harus
kuakhiri segala episode tentang hidupmu. Biarlah kamu jadi bagian dari masa
silam, meski aku harus mengambil jalan pengabaian. Jalan yang bagimu pasti
sangat mengecewakan. Semoga kelak kamu akan paham. Ada sesuatu yang tak bisa
kubagi padamu sekarang. Sesuatu yang diam-diam menggerogoti seumpama tumor dan
siap diledakkan. Aku menyayangi orang-orang di sekitarku, dan kamu mencintai
sesuatu dengan caramu, cara ganjil yang kucoba hargai meski aku tidak yakin
layak mendapatkannya.***
Limbangan,
Garut, 31 Maret 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D