Podium
Uang Sekarat
Oleh Rohyati Sofjan
*Penulis Lepas Cum Ibu Rumah Tangga,
Tinggal di Limbangan, Garut
U
|
ang sekarat adalah
uang yang kondisi fisiknya sudah tidak layak. Terutama uang kertas. Tersebab
kucel, lepek, sampai robek. Namun masyarakat banyak masih tetap saja
menggunakannya. Entah karena ketiadaan pilihan atau terpaksa menerima uang
demikian.
Fungsi
uang sebagai alat tukar dan transaksi jual beli sesungguhnya kurang
terlindungi. Kekerapan pemakaiannya akan tergerus waktu sehingga penampilannya
tidak layak lagi dan bahkan kerap ditolak pelaku transaksi. Rasanya memalukan
jika kita membeli sesuatu yang baik dan sangat dibutuhkan dengan uang kertas
yang sudah tak laik pakai lagi. Tapi kita sering tak berdaya karena kekerapan
peredarannya masih berkesinambungan di masyarakat. Tak ada yang mau bertanggung
jawab sebagai pemegang. Pun tak ada informasi berharga bahwa uang demikian bisa
ditukar lagi di bank terdekat dengan uang baru yang lebih segar dan gres.
Saya
teringat adegan film tentang perjalanan uang 1 Dollar Amerika. Dari saat masih
mulus sampai berpindah ke banyak tangan hingga melayang ke udara dan beruntung
hinggap di tangan serang nenek tunawisma yang memperebutkannya dengan orang lain,
Uang yang robek sebagian itu ternyata masih bisa ditukar di bank. Sang nenek
bertanya pada petugas bank wanita yang ramah, akan diapakan uang rusak itu.
Katanya akan dihancurkan. (Atau mungkin akan didaur-ulang kertasnya?
Saya
kagum, uang sekarat itu masih bisa dihargai di sana. Bahkan menjadi peran
sentral cerita. Bermula dari upah penghibur pesta lajang yang akan menikah,
lalu terus-terus bertukar tangan pada setiap lakon cerita. Dan berakhir di
tangan nenek gembel itu. Sedang sisa sobekan satunya? Ironisnya menjadi
pembatas buku teman perempuan si cowok lajang yang malah batal menikah
gara-gara pesta lajang yang ketahuan calon istrinya. Dan mereka kebetulan
bertemu di bandara untuk melakukan penerbangan ke kota lain.
Selembar
uang, alangkah panjang sejarahnya. Kita tidak pernah tahu bagaimana ia bermula.
Mungkin sebagai bagian dari upah karyawan, masih mulus benar dan berbau bank.
Lalu seiring asas kebermanfaatannya sebagai alat tukar, ia bisa berakhir
menyedihkan. Menjadi uang sekarat yang kucel, robek, atau tercoret-coret. Uang
rusak yang masih terpaksa diakui eksistensinya, meski tak jarang yang menerima
menggerundel atau menolak.
Kebiasaan
masyarakat sendiri dalam memaknai uang mungkin kurang menghargainya untuk
menjaga kesinambungan agar tetap utuh. Mencoret uang dengan sederet nomor telefon,
atau curhat ngaco atau apa saja seolah hal biasa. Itu uang kertas, nanti
juga berpindah tangan, emangnya gue pikirin. Barangkali
demikian pemikiran masyarakat kita. Sama sekali tak ada sosialisasi media dari
pemerintah pada masyarakat tentang pentingnya menjaga keutuhan uang.
Namun,
apa yang terjadi jika kita tidak sengaja merusak uang? Robek karena anak kecil?
Terpaksa disambung dengan solasi plastik. Adakah rasa sayang dan bersalah? Atau
kita salahkan uang yang kurang kuat? Lalu, bahan kertas apa yang paling kuat?
Di
sebuah toserba, saya menyaksikan seorang ibu yang ditolak uangnya oleh kasir,
setelah kasir itu berkonsultasi dulu dengan rekannya. Alasannya, uang seratus
ribu tersebut sudah rusak penampilannya karena terendam lunturan pakaian. Bukan
uang palsu, memang. Namun noda lunturan tersebut jelas sangat mengganggu jika
dilihat dari etika bisnis. Baik sebagai alat upah karyawan atau transaksi
dengan pemasok barang. Ibu tersebut terpaksa “berutang” dengan jalan menggesek
kartu merchant toserba itu. Masih beruntung ia punya kartu gesek,
bagaimana jika bagi yang tidak punya? Paling banter mengembalikan barang
belanjaannya dengan rasa malu atau dongkol.
Sebaliknya,
pada suatu hari yang lampau, di Gramedia BIP saya beroleh uang kembalian
seribuan yang masih sangat gres. Tentu saya senang menerimanya. Seperti sengaja
dilakukan untuk memanjakan konsumen.
Sekarang,
di zaman serba gesek ini, kehadiran uang elektrik atau e-money
memudahkan transaksi masyarakat. Selain kartu kredit dan debit atau kartu member
toko tertentu. Namun bagi masyarakat pemakai jasa uang kertas, tentu
membutuhkan inovasi yang lebih aman dan nyaman bagi rupiah mereka. Juga informasi
tentang apa yang harus dilakukan dengan uang sekarat.***
Limbangan, Garut, 7 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D