Kasta
/bagi klan R. Soewarno dan Nyi Mas Marminah
Aku telah lama
kehilangan akar, maka jangan ajak bicara
tentang silsilah,
juga makam para moyang, leluhurku
yang berkubur di
petak tanah asing tak lagi kukenal
jejaknya tak lagi
kutahu siapa nama mereka, apalagi peta
jalan pulang pada
kenangan silam, sekadar mengenal
bagaimana aku bisa
ada dan darah siapa saja
yang mengalir
dalam setiap pembuluh, agar menari
mengikuti tarian
bumi di tanah Bali.
Kakiku tak pernah
mencium tanahnya, dan tak kutahu
bagaimana nenekku
mewarisi darah yang konon bangsawan
dari seorang R.
Mas Mad Marlin yang retakan wajahnya
tak kukenal dan
tak kutahu apakah telah merangka
atau diperabukan
dalam upacara ngaben yang purba,
dan bagaimana pula
agamanya. Sebab ayahku mencium
matahari Mataram
di tanah Nusa Tenggara pada kelahiran
tanpa aroma dupa.
Sembari melepas silsilah tanah leluhur,
menyandang klan
lain dari cinta seorang ayah yang kelak
mengajak hijrah ke
tanah Jawa yang subur di mana
leluhurnya
berkubur, dengan warisan gelar bangsawan
(atau bajingan) --
seperti dalam buku sejarah berdebu
di tangan kawanku.
Kemudian cucu dan cicitnya
menghirup abad
lain, melupa akar, melupa silsilah,
bahkan melupa
ikatan darah satu klan. Tinggallah aku
memungut klan
baru, klan ayahku yang berkubur
di tanah kematian,
melupa nama para sepupu
yang cuma bertemu
pada ritual tertentu, sembari
menertawakan gelar
kebangsawanan yang enggan
kami semua
sandang; dan hidup biasa, hidup bahagia,
atau hidup
sengsara. Namun kami hidup dan mengada
meski melupa,
meski arwah sengak nenekku
mengutuk darah
ibuku yang mengalir dalam tubuhku
yang sudra.
Bandung, 28 Mei 2003
Kasta
/bagi klan R. Soewarno dan Nyi Mas Marminah
Aku telah lama
kehilangan akar, maka jangan ajak bicara
tentang silsilah,
juga makam para moyang, leluhurku
yang berkubur di
petak tanah asing tak lagi kukenal
jejaknya tak lagi
kutahu siapa nama mereka, apalagi peta
jalan pulang pada
kenangan silam, sekadar mengenal
bagaimana aku bisa
ada dan darah siapa saja
yang mengalir
dalam setiap pembuluh, agar menari
mengikuti tarian
bumi di tanah Bali.
Kakiku tak pernah
mencium tanahnya, dan tak kutahu
bagaimana nenekku
mewarisi darah yang konon bangsawan
dari seorang R.
Mas Mad Marlin yang retakan wajahnya
tak kukenal dan
tak kutahu apakah telah merangka
atau diperabukan
dalam upacara ngaben yang purba,
dan bagaimana pula
agamanya. Sebab ayahku mencium
matahari Mataram
di tanah Nusa Tenggara pada kelahiran
tanpa aroma dupa.
Sembari melepas silsilah tanah leluhur,
menyandang klan
lain dari cinta seorang ayah yang kelak
mengajak hijrah ke
tanah Jawa yang subur di mana
leluhurnya
berkubur, dengan warisan gelar bangsawan
(atau bajingan) --
seperti dalam buku sejarah berdebu
di tangan kawanku.
Kemudian cucu dan cicitnya
menghirup abad
lain, melupa akar, melupa silsilah,
bahkan melupa
ikatan darah satu klan. Tinggallah aku
memungut klan
baru, klan ayahku yang berkubur
di tanah kematian,
melupa nama para sepupu
yang cuma bertemu
pada ritual tertentu, sembari
menertawakan gelar
kebangsawanan yang enggan
kami semua
sandang; dan hidup biasa, hidup bahagia,
atau hidup
sengsara. Namun kami hidup dan mengada
meski melupa,
meski arwah sengak nenekku
mengutuk darah
ibuku yang mengalir dalam tubuhku
yang sudra.
Bandung, 28 Mei 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D