Monolog
Kau ingin menulis puisi, malam ini.
Tetapi kata-kata seolah mengabur dari hidupmu
yang sepi, dan kau tak pernah mengakui.
Kau tertawa dan
melompat-lompat seolah
bahagia, padahal kau tahu semua sandiwara.
Kau simpan luka untuk
ditertawakan, padahal
kau ingin merasakan luka sebenarnya yang paling
luka, luka yang tak bisa kau tawarkan dengan
cara apa pun dan harus kau telan diam-diam,
dalam-dalam, dan pelan-pelan.
Kau simpan kemarahan
untuk kau ledakkan
di saat tenang, padahal kapan sih saat itu
menjelang. Ia hanya pelarian dari kehampaan,
dan pada akhirnya tak bisa kau kendalikan.
Seliar kucing hutan besar di malam mencekam.
Kau selalu bermimpi
berputar-putar dalam labirin
tak dikenal, pertanda jiwamu gamang.
Kau terobsesi pada kereta
sebab selalu terbawa
dalam mimpi. Itu adalah penanda perjalananmu
yang memanjang dan melingkar, bagai bentangan
rel yang mengantarmu pada ketidakpastian
di setiap stasiun harapan.
Kau lelah dan ingin
meneriaki orang-orang
memaki dunia dan peristiwa, lalu menari telanjang,
memamerkan selangkangan yang basah oleh cairan.
Kala kau terangsang dan merindukan persetubuhan
sakral dari ranjang pengantin beraroma rumput segar,
buah pinus dan aneka kembang, serta tanah tempat
kau berasal dan bakal, juga daging hidup
dengan tongkat yang menyulut.
Kau ingin kembali pada
tanah dan berharap
bersedia menghangatkan jasadmu bagai selimut
di malam kuyup dan berkabut tanpa kecamuk.
Kau butuh seseorang untuk
berbagi jiwa
dan cinta agar semua tak sia-sia.
Jelang Tidur, 12 Agustus
2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D