Hari Pertama
Senin, 10 Januari 2011
T
|
ernyata aku
merindukannya.
Aku bangun pagi dengan lesu. Suami malah
bersemangat. Mandi pagi dan membangunkan Palung yang masih mengantuk,
sepertiku. Ini hari pembebasan bagi Tama. Ia akan pulang kampubg ke Lampung. Mau
ke Bandung dulu soalnya berangkat bareng Bi Dadah dan anaknya, selasa besok.
Aku kesal karena ia berangkat pagi dan menolak sarapan padahal tidak baik, bisa
masuk angin. Namun Tama tak peduli, “Sudah ditunggu Keroy,” katanya, enteng dan
seperti baiasa selalu sok buru-buru. Memakai helm hitam dan menciumi Palung
yang senang sekalugus heran melihat ayahnya memakai benda aneh di kepala. Tama
berpesan banyak pada Palung, apakah bayi 14 bulan itu mengerti akan ditinggal
ayahnya pergi selama sebulan?
Aku berencana menggoreng nasi
campur sosis dan kecewa karena Tama menolak sarapan. Kubiarkan dulu tungku yang
apinya gagal menyala besar karena harus diberi barambang, namun kami kehabisan
barambang dan terpaksa pakai kertas untuk memudahkan pembakaran kayu. Ake memerhatikan
Tama dengan lesu, ia terlihat keren dengan kemeja dan celana krem. Jujur, aku
enggan melepasnya pergi, aku lebih suka ia di sini. Namun Tama harus
menyerahkan uang penjualan rumah neneknya untuk bikin rumah yang baru di
Lampung. Aku hanya berpesan agar ia bisa menjaga diri dan tidak macam-macam,
kerja yang benar dan bawa banyak uang.
Tama menjulurkan tangan pada
jagoan kecilnya yang belum mengerti apa-apa untuk dicium, kemudian aku balas
menyambut uluran tangan Tama dan kami berpelukan. Ini hari yang menyedihkan
bagiku, aku kasihan pada Palung karena kami harus berpisah untuk sementara
waktu.
Aku menggendong Palung untuk
mengantar ayahnya ke jalan, dan di depan warung Mang Ahri (yang merupaan adik
neneknya) Keroy asyik ngopi. Ia belum siap, aku kesal dengan sifat buru-buru
Tama karena kopi yang Keroy beli masih penuh, sambil makan lalu merokok pula.
Keroy menawarkan kopi, aku
menawarkan Tama untuk beli bala-bala dulu, namun Tama malah memilih menyalakan
Jarum Cokelatnya. Aku dan Palung menunggu. Aku terpikir mestinya kufoto Tama
dan Palung dulu pakai netbook. Tama mengajak Palung jalan-jalan sebentar sampai
Keroy bersiap.
Sekali lagi Tama menjulurkan
tangannya pada Palung untuk dicium, kemudian padaku. Lalu ia melangkah menuju
motor Keroy dan duduk di belakangnya. Palung dan aku diam. Motor melaju, Tama
melambai. Palung menyadari sesuatu, ia ingin ikut ayahnya dan mulai merengek.
Aku bangkit dan menuju jalan untuk memerhatikan laju motor sampai hilang di
kejauhan, Palung ingin turun seolah hendak mengejar ayahnya. Bukankah itu
menyedihkan, ia sedih dan mulai mewek. Aku terpaksa membawa Palung pulang ke
rumah, dan tangis sedihnya masih saja terbawa.
“Mana Bapak?” tanyaku, dan
Palung menjawabnya dengan tangis sedih lagi. Ibu menegur agar aku tidak begitu,
yang penting didoakan agar selamat, katanya. Aku diam. Palung masih mewek dan
terbawa rewelnya saat kumandikan.
Hari ini ibu harus ke Bandung
juga, untuk ambil uang pensiun. Dan hari ini kami mengantar dua kepergian.
Palung mewek lagi seolah ingin ikut, namun aku tak punya uang dan menyesal
telah membelanjakannya untuk keperluan warung (yang kini sepi). Begitu ibu
menghilang dengan motor ojeknya, Palung tidak seheboh saat ditinggal ayahnya.
Aku harus menghibur diri dengan mengajak Palung jalan-jalan, ke Cigintung untuk
mengembalikan buku Rafi. Dengan itu kuharap Palung pun merasa terhibur juga.
Malam ini aku lelah. Tidur
siangku dengan Palung begitu nyenyak sampai Asar. Dan aku masih ingin
meneruskan tidurku. Sesiangan jalan-jalan capai juga. Apalagi Palung kian
berat, pundakku sakit.
Aku merindukan suami, beberapa
jam berpisah saja sudah membuatku merasa kehilangan, apalagi Palung yang tidak
sedih lagi namun masih suka mengoceh ‘bapa, bapa’.
Hari Keempat
Kamis, 13 Januari 2011
Keuanganku mulai memburuk. Uang modal dari Tama sebesar 200 ribu lebih
ternyata tak cukup. Warung sepi dan pemasukan malah sering dipakai untuk hal
tak efektif seperti masak yang tak perlu macam ibu tadi. Lagi-lagi ibu boros
untuk hal mubazir, bikin kue donat namun baking sodanya banyak hingga pahit.
Dan kue gagal itu tak enak, tak ada yang beli.
Aku coba memakannya tadi, dan perutku terasa terbakar.
Baking sodanya sudah kedaluwarsa, mestinya kubuang saja, sialnya ibu sering tak
ngerti dan bisa ngomel. Aku harus memberi penjelasan ekstrim. Palung saja tak
mau memakannya.
Palung suka makan apa saja. Tadi siang aku membuat
kesalahan fatal, membubuhkan MSG terlalu banyak ke dalam sayur sop (terdiri
dari campuran wortel, brokoli putih, kol, buncis, sosis ayam, dan makaroni) untuk
kami. Padahal biasanya takaranku cuma dikit, malah sebungkus kecil! Paling
sejumput saja, lebih banyakan garam daripada MSG sebab taut terkena kanker. Aku
masak sambil melamun jadi ceroboh gitu, sebungkus kecil MSG 100 mg. Sopnya enak
dan gurih tetapi tak sehat. Maafkan Bunda, ya, Palung....
Alhamdulillah kami masih
bisa makan, namun entah hari-hari mendatang akan gimana. Aku takut sebab
uangnya tinggal beberapa ribu, warung benar-benar sepi. Dagang basreng dan
rujak tak laku. Semestinyaa aku menuruti suami soal tak dagang saja, namun aku
khawatir tentang pengeluaran tanpa pemasukan. Kini aku harus menanggung risiko
berupa kerugian. Akankah tulisanku ada yang dimuat dan honornya telah masuk
rekening? Aku merasa sedih dan menyesal. Menjadi orang tua tunggal ternyata tak
mudah, apalagi pekerjaanku tak jelas akan menghasilkan uang.
Tuhan, tolonglah kami. Aku berharap bisa menebus
kesalahanku. Ada uang untuk makan, bayar setoran ke koperasi, listrik bulan
depan, dan yang utama untuk keperluan Palung. Aku ingin bisa membelikannya baju
baru, gendongan ransel, sandal, dan sepeda. Aku kasihan pada suamiku yang payah
dari segi maisyah. Untuk makan saja sulit, bagaimana bisa beli macam-macam?
Bahkan buku kini merupakan kemewahan. Aku butuh
keajaiban! Malam ini begitu melelahkan. Aku tak bisa menulis secara jernih!
Palung harus tetap dapat
makanan bergizi. Ia sulit makan jika tak berkuah, sayur sop lebih murah dan
bergizi daripada bakso yang mengandung pengawet bahkan boraks. Besok aku akan
beli sop di warung Ceu Mala lagi, pakai brokoli. Akan kucampur makaroni, sosis
habis, apa perlu beli lagi?
Palung sedang tidur, begitu
damai. Ia lucu dan tampan, bahkan dalam tidurnya. Sangat menggemaskan. Tentu ia
kecapaian setelah sepanjang hari beraktivitas. Jalan-jalan sore. Palung suka
jalan kaki, akan melangkah ke mana saja sesukanya. Tadi ia memanggil Ike yang
sedang mendorong sepeda Dila. Seolah Palung protes karena ingin ikut dan
mengejar mereka. Anakku sayang, semoga Bunda beroleh rezeki tak terduga agar
sepeda idamanmu bisa terbeli.
Palung begitu bahagia jika
diizinkan meminjam sepeda Candra atau Dila, dan sedih jika harus turun seolah
tidak rela kesenangannya diusik. Aku
sangat ingin bisa membelikan sepeda untuk Palung agar binar bahagia di matanya
kembali bersinar. Aku sangat menyayanginya. Amin.
Hari Keenam
Sabtu, 15 Januari 2011
Jumat tadi, sekarang lewat tengah malam, begitu banyak kejadian yang
menyesakkan dan mengecewakan. Pagi, ibu sedih karena telur ayam Palung dicuri
kucing semuanya. Ayamnya sampai down, meringkuk dan murung, barangkali bertanya
pada ibu, “Ke mana telur-telurku?!”
Palung sayang, belum mengerti bahwa ayamnya kena musibah.
Innalillahi wa innailaihi roji’un. Mestinya ia melihat ayamnya
beranak-pinak. Ditambah sorenya baru ketahuan kalau Pompa asi yang pernah
kupinjamkan ke Nyai dan Jamilah ternyata rusak bagian pijatannya. Aku kapok!
Sehabis mandiin Palung jelang Zuhur, ia tersandung aisan
yang diseretnya. Palung jatuh membentur pagar pintu. Ya Tuhan, mata kanannya
terluka. Aku pedih sekaligus ngeri melihatnya. Menyesali kelalaianku membiarkan
Palung menyeret aisan itu yang hendak dilemparkannya ke bawah dapur. Bagian
putih mata Palung seperti robek. Itu luka serius dan aku harus membawanya ke
dokter, namun tak ada uang!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D