Jumat, 27 Desember 2013

Mengucap Eu



 

Wisata Bahasa


Mengucap “Eu” Mudah atau Susah?

Oleh Rohyati Sofjan

*Penulis lepas


S
aya tertarik dengan tulisan Ajip Rosidi tentang “Vokal ‘eu’” di rubrik Wisata Bahasa (“PR”, 8/1/2011). Secara pribadi bagi saya yang lahir dan besar di Tatar Sunda yang pendengarannya tak berfungsi sejak kecil, vokal “eu” dirasa lebih mudah daripada vokal e yang lemah atau sedang (yang dalam bahasa Sunda dikenal dengan e pepet atau e sedeng). Meski saya alami kesulitan jika menulis atau mengucap suatu kata dalam bahasa Sunda, apakah ada eu-nya atau tidak, itu berkaitan dengan aspek pendengaran. Vokal “eu” dirasa lebih mendingan.
Teringat kala 2 SMP Muhammadiyah 8 Antapani Bandung, ketika berbincang dengan wali kelas yang guru bahasa Sunda, beliau berusaha keras mengajarkan saya soal cara mengucap e pepet dan sedeng, dan saya bukannya tak menghargai upaya beliau dengan gagal melulu lalu menyerah. Menjadi tunarungu itu tidak mudah mengucapkan suatu kata, apalagi jika tak punya memori tentang kata yang harus diucapkan itu.
Saya orang Sunda secara kultural meski secara silsilah berdarah campuran (Sunda-Jawa-Bali). Lidah saya pun dibiasakan bertutur dalam bahasa Sunda (yang tak sempurna karena sejak kecil lebih fasih berbahasa Indonesia dari pembiasaan membaca). Bahasa Jawa dan Bali sangat sulit dipahami karena tak terbiasa. Yang saya kagumi dari bahasa Sunda adalah kelengkapan dalam cara penulisan dan pengucapan.
Syahdan, waktu pertama kali membaca majalah Manglé saya heran, ternyata ada banyak ragam penulisan suatu huruf. Dan sejujurnya itu sangat membantu meski lidah saya sering meleset mengucapkannya. Selalu berkaitan dengan e, paling seringnya. Baik dalam bahasa Indonesia atau mana saja.
Ketika masih tinggal dan bekerja di Bandung, leluasa menyambangi acara seni, saya berkenalan dengan bahasa Prancis di CCF Jalan Purnawarman dari brosur agenda acara bulanan yang dibagikan secara cuma-cuma. Ragam hurufnya ternyata variatif. Itu membuat saya berpikir, andai bahasa Indonesia mengenal ragam huruf demikian. Atau itu akan merepotkan secara penulisan huruf per huruf? Tidak praktis? Atau tidak nasionalis?
Kembali pada topik mengenai vokal “eu”, di bagian sisipan simbol komputer, ternyata ada banyak ragam huruf e itu: è, é, ê, ë, dan yang lainnya. Maaf, sebagai penghuni planet sunyi, saya sungguh tak tahu bagaimana cara membedakan bunyinya. Dan seperti kata Ajip Rosidi tentang vokal “eu”: Karena dalam kebanyakan bahasa lain tidak terdapat vokal “eu”, timbul masalah bagi mereka ketika membaca dalam peta nama-nama tempat di Tatar Sunda atau Aceh yang menggunakan vokal “eu” seperti “Pameungpeuk”, “Cilauteureun”, “Cicaheum”, “Meulaboh”, “Seulimeum”, dan “Peureulak”. Vokal “eu” ternyata tidak terdapat dalam sisipan simbol. Namun vokal “eu” sangat bermanfaat bagi saya sebagai pembeda. Vokal “eu” dirasa apa adanya, tidak perlu memperhitungkan ketebalan atau ketipisan lidah kala melafalkannya seperti e pepet dan sedeng. Akan tetapi, saya bisa diibaratkan katak dalam tempurung yang steril karena sebelumnya tidak tahu bahwa “eu” merupakan vokal asing bagi kebanyakan orang yang telinganya berfungsi namun bingung dengan cara pengucapan.
Saya menemukan ironi tersendiri tentang “eu’, jika memang “eu” harus ditulis mengikuti kesepakatan lokakarya ejaan Basa Sunda di Bandung pada tahun 1972, berupa “ö”. Saya akan bingung dan berpikir bahwa tiada “eu” tetapi “ö” -- yang saya kira adalah o panjang karena ada dua titik di atas kepalanya, meski pelafalannya memang ber-eu di telinga.
Bahasa Sunda bagi saya adalah bahasa yang unik, unik karena ada ragam penulisan huruf sampai cara pengucapan yang berbeda dari bahasa lain. Biarlah vokal “eu” tetap hidup dan ditulis apa adanya meski sulit diucapkan orang lain kultur, atau sulit dituliskan dengan benar dan konsisten bagi kebanyakan orang sekarang.
Nandang R. Pamungkas dalam rubrik ini (“Penjahit Sugema”, 15/5/2011), membuat kesimpulan tentang tidak masuknya kata “keukeuh” dan “cileuncang” dalam KBBI IV. Ia menduga barangkali kedua kata tersebut terdengar nyunda banget. Ya, bisa jadi orang lain kultur akan menganggap kedua kata tersebut harus dilafalkan dengan “ke-u-ke-uh” dan “ci-le-un-cang”, kedengarannya ribet.
Bagaimana dengan Anda?***
Limbangan, Garut, 5 Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D