Wisata Bahasa
Mengucap “Eu” Mudah atau Susah?
Oleh Rohyati Sofjan
*Penulis lepas
S
|
aya tertarik
dengan tulisan Ajip Rosidi tentang “Vokal ‘eu’” di rubrik Wisata Bahasa (“PR”,
8/1/2011). Secara pribadi bagi saya yang lahir dan besar di Tatar Sunda yang pendengarannya
tak berfungsi sejak kecil, vokal “eu” dirasa lebih mudah daripada vokal e yang
lemah atau sedang (yang dalam bahasa Sunda dikenal dengan e pepet atau
e sedeng). Meski saya alami kesulitan jika menulis atau mengucap suatu
kata dalam bahasa Sunda, apakah ada eu-nya atau tidak, itu berkaitan dengan
aspek pendengaran. Vokal “eu” dirasa lebih mendingan.
Teringat
kala 2 SMP Muhammadiyah 8 Antapani Bandung, ketika berbincang dengan wali kelas
yang guru bahasa Sunda, beliau berusaha keras mengajarkan saya soal cara
mengucap e pepet dan sedeng, dan saya bukannya tak menghargai
upaya beliau dengan gagal melulu lalu menyerah. Menjadi tunarungu itu tidak
mudah mengucapkan suatu kata, apalagi jika tak punya memori tentang kata yang
harus diucapkan itu.
Saya
orang Sunda secara kultural meski secara silsilah berdarah campuran
(Sunda-Jawa-Bali). Lidah saya pun dibiasakan bertutur dalam bahasa Sunda (yang
tak sempurna karena sejak kecil lebih fasih berbahasa Indonesia dari pembiasaan
membaca). Bahasa Jawa dan Bali sangat sulit dipahami karena tak terbiasa. Yang
saya kagumi dari bahasa Sunda adalah kelengkapan dalam cara penulisan dan pengucapan.
Syahdan,
waktu pertama kali membaca majalah Manglé saya heran, ternyata ada banyak ragam
penulisan suatu huruf. Dan sejujurnya itu sangat membantu meski lidah saya
sering meleset mengucapkannya. Selalu berkaitan dengan e, paling seringnya.
Baik dalam bahasa Indonesia atau mana saja.
Ketika
masih tinggal dan bekerja di Bandung, leluasa menyambangi acara seni, saya
berkenalan dengan bahasa Prancis di CCF Jalan Purnawarman dari brosur agenda
acara bulanan yang dibagikan secara cuma-cuma. Ragam hurufnya ternyata
variatif. Itu membuat saya berpikir, andai bahasa Indonesia mengenal ragam
huruf demikian. Atau itu akan merepotkan secara penulisan huruf per huruf? Tidak
praktis? Atau tidak nasionalis?
Kembali
pada topik mengenai vokal “eu”, di bagian sisipan simbol komputer, ternyata ada
banyak ragam huruf e itu: è, é, ê, ë, dan yang lainnya. Maaf, sebagai penghuni
planet sunyi, saya sungguh tak tahu bagaimana cara membedakan bunyinya. Dan
seperti kata Ajip Rosidi tentang vokal “eu”: Karena dalam kebanyakan bahasa
lain tidak terdapat vokal “eu”, timbul masalah bagi mereka ketika membaca dalam
peta nama-nama tempat di Tatar Sunda atau Aceh yang menggunakan vokal “eu”
seperti “Pameungpeuk”, “Cilauteureun”, “Cicaheum”, “Meulaboh”, “Seulimeum”, dan
“Peureulak”. Vokal “eu” ternyata tidak terdapat dalam sisipan simbol. Namun
vokal “eu” sangat bermanfaat bagi saya sebagai pembeda. Vokal “eu” dirasa apa
adanya, tidak perlu memperhitungkan ketebalan atau ketipisan lidah kala
melafalkannya seperti e pepet dan sedeng. Akan tetapi, saya bisa
diibaratkan katak dalam tempurung yang steril karena sebelumnya tidak tahu
bahwa “eu” merupakan vokal asing bagi kebanyakan orang yang telinganya
berfungsi namun bingung dengan cara pengucapan.
Saya
menemukan ironi tersendiri tentang “eu’, jika memang “eu” harus ditulis
mengikuti kesepakatan lokakarya ejaan Basa Sunda di Bandung pada tahun 1972,
berupa “ö”. Saya akan bingung dan berpikir bahwa tiada “eu” tetapi “ö” -- yang
saya kira adalah o panjang karena ada dua titik di atas kepalanya, meski
pelafalannya memang ber-eu di telinga.
Bahasa
Sunda bagi saya adalah bahasa yang unik, unik karena ada ragam penulisan huruf
sampai cara pengucapan yang berbeda dari bahasa lain. Biarlah vokal “eu” tetap
hidup dan ditulis apa adanya meski sulit diucapkan orang lain kultur, atau
sulit dituliskan dengan benar dan konsisten bagi kebanyakan orang sekarang.
Nandang
R. Pamungkas dalam rubrik ini (“Penjahit Sugema”, 15/5/2011), membuat
kesimpulan tentang tidak masuknya kata “keukeuh” dan “cileuncang”
dalam KBBI IV. Ia menduga barangkali kedua kata tersebut terdengar nyunda
banget. Ya, bisa jadi orang lain kultur akan menganggap kedua kata tersebut
harus dilafalkan dengan “ke-u-ke-uh” dan “ci-le-un-cang”, kedengarannya ribet.
Bagaimana
dengan Anda?***
Limbangan, Garut, 5 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D