Rente
Penduduk kampungku terjerat utang. Ada banyak. Dan ibuku salah satunya. Utang
tak perlu yang membuatku meradang. Ibu akan tetap berutang, dengan atau tanpa
sepengetahuanku. Percuma aku melarang, ibu akan selalu beralasan, alasan bodoh
yang membuatku tak berdaya. Marah pun percuma. Barangkali utang adalah hobi
baru ibu, semacam penyakit lebih tepatnya. Keinginan beroleh uang cukup besar
dalam waktu seketika mendorong ibu
mengorbankan ketenangan dan kesejahteraan kami dalam jangka panjang.
Cerpen Rohyati Sofjan
U
|
ang tunjangan pensiun ibu yang tak seberapa dipotong pihak
bank tempat ia meminjam uang, gara-gara abangku butuh pinjaman dan ibu terpaksa
mengagunkan surat
pensiunnya. Ada
banyak hal yang membuat ibu harus demikian, berulang memperpanjang agunan.
Namun jika ditambah meminjam pada rentenir jelas itu sudah keterlaluan, apalagi
untuk hal tak produktif.
“Ibu karep sorangan!” kata abangku
satu hari sebelum pernikahanku. Masalahnya ibu tak mau mendengar omonganku demi
kebaikan. Aku ingin pernikahanku dengan cara sederhana dan hemat biaya. Namun
ibu jenis orang yang tak bersyukur, begitu keras kepala memaksa belanja. Merasa
gengsi jika tak bisa menyajikan sesuatu yang biasa dilakukan orang hajat, dari
acara uleman atau ritual memberi amplop dan balas memberi bingkisan pada
para pemberi sebelum hari pernikahan, sampai menyajikan masakan pada undangan
di hari pernikahan.
Aku tak paham istilah karep sorangan,
banyak sekali kosakata bahasa Sumda yang sering tak kumengerti karena
keterbatasanku; kehilangan fungsi pendengaran sejak kecil dan bahasa yang
sangat kupahami hanyalah Indonesia
-- dari aneka bacaan yang kubaca. Sorangan artinya sendiri atau
sendirian. Namun aku tak berani bertanya apa arti karep pada abangku, ia
sudah pusing dan dongkol. Jauh-jauh datamg dari Ciamis ke Limbangan Garut hanya
demi tugas mulianya, menjadi wali pada hari pernikahanku, pengganti almarhum
bapak yang sudah belasan tahun tiada.
Abang hanya pedagang arloji keliling,
menawarkan dagangannya secara kreditan pada siapa saja, kebanyakan ia
menawarkan ke kantor polisi di beberapa kota
karena punya banyak relasi. Anaknya dua, lelaki semua dan masih kecil. Lelaki
jelang empat puluh tahun yang merasa gagal sebagai kepala keluarga karena belum
bisa memakmurkan hidup anak istrinya, rumah saja masih mengontrak. Waktu aku
hendak menikah dan mengutarakan niatku soal perayaan sederhana seperti abangku
dulu, aku tak ingin membebani siapa pun, tidak juga calon suamiku yang hanya
bisa memberi sejuta rupiah untuk keperluan pernikahan pada ibuku.
Aku tak pernah berpikir bahwa ibu ingin
abang membantu juga dari segi finansial. Aku tak tahu bahwa uang sejuta
ternyata tak cukup di mata ibu, ditambah beberapa ratus ribu dari sisa gadai
sawah. Aku sedih begitu tahu bahwa abang ikhlas menyumbang 500 ribu yang bagiku
tak perlu. Bukankah Al dan Rama lebih membutuhkannya? Apalagi teteh iparku
hanya ibu rumah tangga biasa. Apalagi mereka sebenarnya terlilit utang juga.
Penghasilan ada tetapi sering macet di luar karena sulit ditagih, dan untuk
modal sampai kebutuhan sehari-hari bisa jadi harus berutang entah pada siapa.
Ditambah bekas kecelakaan yang menimpa abangku ketika tabrakan, motornya
ditabrak pengendara motor mabuk di siang bolong yang membuat jari kelingking
kaki kirinya harus diamputasi. Begitu banyak beban tergurat di garis wajahnya
yang lelah. Ia tidak seperti ibu yang janda pensiunan, tinggal enaknya dapat
uang tiap bulan berkat almarhum bapak yang mengabdi selama 30 tahun sebagai
pegawai negeri di Balai Besar Perusahaan Kereta Api, Bandung.
Ibu barangkali jenis orang yang kurang
bersyukur, cenderung boros untuk hal mubazir. Anaknya harus pontang-panting
cari nafkah demi menghidupi keluarga, mengapa ibu harus membebani demi alasan
gengsi agar tampak hebat dan mampu di mata orang lain. Padahal apa yang
dilakukannya masuk pepatah Sunda, ginding pakampis: berlebihan tapi
kempes.
Untuk keperluan bingkisan pada para tetangga
saja, yang aku tak tahu akan begitu banyak berdatangan, Kang Asep pemasok
warung kami yang menalangi; mengirim barang kebutuhan dan dibayar belakangan
begitu hajat beres. Ibu pikir banyak tamu yang datang karena ia dikenal banyak
orang sekampung sebagai orang baik dan istri Pak Aden. Ibu, ironisnya,
jarang mendatangi tetangga yang hajat. Dan orang kampung seolah bersimpati
padaku yang memiliki keterbatasan namun berusaha utuh sebagai perempuan dalam
hal jodoh. Begitu banyak amplop sampai beras dan padi yang kami terima,
ditambah kelapa, bihun, dan lainnya.
Semestinya uang sumbangan dari para tetangga
itu bisa mencukupi keperluan kami. Namun ibu membuat kejutan tolol: belanja
bahan makanan seolah memasak untuk ratusan orang, padahal yang hadir pada hari
H nikahanku hanya beberapa puluh orang pengiring pengantin dari pihak keluarga
calon suamiku.
Aku memandang nanar bibiku yang sedang
mencuci entah berapa kilo daging sapi di kamar mandi. Lalu bungkusan plastik
besar berisi beberapa ekor ikan mas yang banyak. Dan daging ayam. Karung jala
berisi aneka sayuran berupa kol, kentang, brokoli, wortel, tomat, kecipir,
jagung muda, mentimun, sampai bumbu-bumbu. Lalu buah-buahan buat rujak. Lalu
dua kantung besar kerupuk ikan. Dan entah apa lagi. Yang jelas aku dan abang
sampai stres melihatnya. Para kerabat sibuk
membantu di dapur, barangkali sambil menggunjingkan ibu yang punya sifat riya
dan senang dipuji. Ibu ke Bandung
untuk urusan jual kalungnya sebagai tambahan hajat. Aku ingin kabur saja dari
kesintingan ini, melupakan rencana pernikahanku dengan lelaki yang kucintai.
Aku terlambat mengetahui bahwa untuk urusan
bahan masakan itu, ibu dengan bantuan Mang Ano adiknya, berutang 2 juta pada
kawan Mang Ano. Dan bahwa ibu akan membuat kekacauan dengan merusak kepercayaan
pada Kang Asep dengan telat membayar, lalu utang 2 juta itu pun sulit dibayar
ibu dan harus ditebus dengan cara menjual sawahnya kelak. Lalu rentetan utang
itu membuat hidup ibu harus tetap gali lubang tutup lubang, sayang lubang yang
digalinya terlalu dalam.
Pada hari pernikahanku, aku murung, tidak
bahagia betapa hidupku dikendalikan sesuatu yang tak terpahami. Aku membenci kendali
ibu akan uang, ia tak bisa mengendalikan diri dan malah dikendalikan materi.
Aku gagal menginginkan ketenangan finansial.
Aku menyesal ibu yang menangani hajatan ini. Seandainya saja aku yang pegang
kendali barangkali semua kekacauan ini tak akan terjadi. Aku tak perlu jadi
kambing hitam dengan alasan apa yang dilakukan ibu adalah bentuk sayang anak.
Abang bilang jika benar ia menyayangi kita, segala ketololan itu tak perlu
terjadi. Rusaknya nama baik di mata orang dan berhadiah tambahan utang yang menggunung
tak terbayar.
Aku tak ingin seperti Bi Empay, 3 rumah di
belakang rumah kami. Ia kehilangan rumah dan kebunnya karena utang. Pinjamlah
uang pada rentenir dan harus bayar 2 kali lipat. Bi Empay berutang untuk modal
warungnya. Sayang utang yang dibuat ada banyak pada beberapa pihak. Terlalu
mengerikan jika tiap minggu harus bayar ratusan ribu padahal penghasilan tak
menentu, suaminya buruh tani sekaligus dagang es krim keliling di Bandung. Ia menggali
lubang dan lubang itu menelan rumah dan hartanya. Keluarga mereka terpaksa
kabur ke Kubang, sebuah kampung terpencil melewati Desa Panceureunan setelah
desa kami. Kampung yang berbatasan
dengan hutan, tempat bekas pertempuran TNI dan gerombolan apa gitu. Yang
jelas di sana
menjadi kuburan bagi mayat gerombolan. Ongkos ojek ke sana dari kecamatan kami 20 ribu rupiah, ke
kampungku hanya 4 ribu rupiah. Bi Empay tak cuma kabur, masih menyisakan jejak
utang pada koperasi kelompok dan harus ditanggung kelompoknya untuk dibayar. Ia
dan keluarganya menjadi gunjingan sekaligus kemarahan. Betapa utang bisa
merusak banyak hal, dan semua bermula dari nafsu dan kesombongan.
Dan pada akhirnya, dari suamiku aku baru
tahu apa arti karep sorangan, mau menangnya sendiri! Aku sedih mengingat
usia ibu yang begitu senja mestinya ia mendapat kesenangan dan ketenangan. Ia
tak pernah dapatkan itu karena satu hal yang dianggap sebagai kehormatan
baginya adalah kekayaan dan kesuksesan dalam materi. Ia bukan jenis orang yang
menghargai proses, baginya hasil adalah hal paling pasti untuk diagungkan.
Betapa ia bisa merendahkan diri jika berhadapan dengan si kaya, lupa bahwa
segala pemberian semata dari-Nya, bahkan napas ini pun titipan. Ia tak segan
mengumumkan apa-apa yang telah dilakukan, jasa atau pemberian untuk siapa saja.
Meratapi masa jayanya waktu masih kaya dan sering dirubung kerabat
sampai tetangga yang membutuhkan bantuannya, saat miskin mereka seolah tak
peduli dan menghinakan. Bahkan dua anaknya yang payah secara materi pun jadi
sumber keluhan pada orang-orang. Terasa begitu pamrih dan riya jika harus
mengumumkan kebaikan diri sendiri seperti itu.
Aku
hanya ingin bisa terbebas dari utang dan riba. Di belakang rumahku, rumah mama
Susan kosong dan hendak dijual, ia sendiri kerja di kota sebagai pembantu karena utang-utang yang
dibuat pada berbagai pihak tanpa sepengetahuan suaminya, seorang pekerja
bengkel di kota.
Di sekelilingku kehidupan petani bukanlah hal menjanjikan secara materi
sekarang ini. Kau akan membutuhkan modal besar untuk mengolah tanah kebun atau
sawahmu, sedang harga pupuk dan hal-hal lainnya kian tak masuk akal.
Suamiku hanya petani. Memburuh pada siapa
saja yang membutuhkan tenaganya. Bertahan dalam pekerjaan yang jarang dan
penghasilan kecil demi bayi kami yang baru 8 bulan, bayi lucu yang cerdas dan
tampan seperti ayahnya.
Barangkali aku pemimpi, seperti kata
suamiku, ingin mengentaskan hidup kami dari kemiskinan karena utang yang
menjerat keluarga. Namun siapa tahu dengan itu rasa frustrasiku selaku anak
akan berkurang, setidaknya ayahku tak merana di alam kubur karena namanya masih
dibawa-bawa dalam surat
pensiun yang diagunkan pada bank yang dilakukan ibu.***
Limbangan, Garut, 15 Juli 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D