Jumat, 05 Januari 2018

Pelayaran Tristan






Senja itu seperti biasa Tristan Jones duduk di atas kursi rodanya. Mengamati panorama senja di balik jendela kaca kamarnya yang terpentang lebar ke arah lautan, dengan debur ombak tak henti bergulung disapu angin kencang. Kapal-kapal beragam ukuran berlayar dengan latar bola merah raksasa di arah barat memberkaskan cahaya aneka warna yang menyapu isi dunia.

Cerpen Rohyati Sofjan

 

BEGITULAH  jarak yang ditempuh cahaya melalui atmosfer menentukan warna matahari. Pada saat matahari terbenam seperti itu, cahayanya menempuh jalur lebar di atmosfer dengan sudut tajam dan melewati daerah padat partikel. Kemudian partikel-partikel itu menghamburkan warna cahaya yang mempunyai riak gelombang panjang sehingga matahari berubah warna dari kuning, jingga, sampai merah tua seperti sekarang.
Ia selalu terpesona pada panorama demikian. Betapa tak bosan-bosannya memandang saat-saat menjelang matahari terbenam ke arah ufuk seharusnya sesuai rotasi bumi. Seolah ada Tangan Raksasa yang telah mengatur semua itu dengan cermat dan konstan. Namun ia menanti sesuatu setiap senja tiba, sesuatu yang membuat matanya berkaca-kaca: kumandang azan magrib dari suatu masjid nun mengalun, menembus relung-relung cahaya senja sebelum lenyap ditenggelamkan malam. Ia selalu takjub pada harmonisasi panorama senja yang perlahan memudar diiringi lengking nyaring azan magrib membelah langit Kota Phuket yang sudah lama ia diami. Begitu damai. Maka jiwanya bergetar dalam remang-remang perpaduan panorama senja dan azan. Betapa tenteram.
Tristan, lelaki dalam usia senjanya itu seolah disadarkan akan makna pencarian yang telah lama ia lakukan. Telah tibakah ia di batas temu bahwa hidupnya bukanlah sesuatu yang semu? Puluhan tahun ia mencari sesuatu yang bernama “temu” dengan mengarungi lautan, terkadang sendirian, agar dahaganya akan temu itu terpuaskan. Sebab ia seorang petualang, lebih tepatnya musafir yang memilih jalur pelayaran sejak usianya 14 tahun sampai 68 tahun lalu, tak lelah menuntaskan hasrat dan kecintaannya akan lautan dengan semangat berkobar-kobar, mengenal selubung tipis keberanian dan ketakutan; sebagai sesuatu yang tak terpuaskan!
Akan tetapi, sekarang ia lelah. Lelah berlayar. Ia merasa kian lemah dalam ketuaan. Waktu, siapa yang bisa menghentikan siklus kehidupan seseorang atau sesuatu makhluk selain kematian. Dan Tristan merasa maut itu bukan lagi sesuatu yang samar. Maka pada setiap kumandang azan -- dari subuh, siang, sore, magrib, dan malam -- jiwanya selalu tergetar. Betapa harum untaian maut dalam hantaran azan. Dan tiba-tiba ia berada di puncak ekstase kerinduan tak terpahamkan. Kerinduan pada sesuatu yang abadi: TUHAN!
Sepanjang hidupnya ia pernah berlayar sejauh 450.000 mil laut, 18 kali menyeberangi Lautan Atlantik, 9 kali di antaranya seorang diri. Rekor yang luar biasa bagi seorang lelaki pemberani sepertinya. Yang berlayar tanpa mengenal banyak jeda demi kecintaannya akan lautan. Dari Samudra Arktik atau Kutub Utara yang menggigilkan (meski ada petualang lain yang lebih “gila” mengarungi Kutub Utara tersebut tanpa bantuan peralatan yang memadai seperti duet Ranulph Fiennes dan Mike Stroud pada tahun 1988 yang sesama orang Inggris dan kalangan militer); lalu laut yang paling rendah macam Laut Hitam, seolah Tuhan hendak menunjukkan variasinya dalam mencipta lautan; sampai melayari danau yang paling tinggi di Peru: Danau Titicaca. Semua itu telah ia arungi dengan gejolak pengalaman yang beragam. Tujuh puluh negara telah ia kunjungi. Belasan judul buku yang ia tulis sebagai monumen petualangannya, telah diterbitkan dalam 7 bahasa. Dari Wayward Sailor, Incredible Voyage, Somewhere of East Suez, Ice, dan lain-lain.
Namun sudah cukupkah semua petualangannya jika titik temu itu masih belum ia rengkuh?
Ia gelisah. Menanti detik-detik azan yang seolah berabad-abad lamanya. Langit masih terang menyulam warna senja. Magrib selalu mengingatkannya akan metamorfosis kematian. Masa mudanya yang segar dan gemilang, sampai usia senjanya yang renta dan suram. Kapankah seseorang datang dari seberang lautan, sesama pelayar yang mengerti makna gelombang, membawa cahaya dan kabar gembira mengenai agama penuh salam?
Ia merindukan seseorang yang bisa menuntunnya memasuki relung azan dalam peribadatan. Terlalu lama ia berada di luaran tanpa seseorang pun yang mengajaknya memasuki pintu yang sudah lama ingin ia masuki: ISLAM!
Tristan terisak. Dadanya serasa mampat.
Ia mengingat masa-masanya yang telah lewat. Sisi kelam yang sempat menyinggahinya. Sampai batas kesadaran akan soul searching, ‘pencarian jiwa’. Belum terlambatkah ia? Ia berdoa dengan cara yang diyakininya, agar Tuhan tak membiarkan sisa usianya dalam kesia-siaan. Ia menanti seorang tamu, tamu yang bisa menuntunnya; bukan tamu-tamu yang biasa menemuinya, mengajak bercakap akan hal-ihwal yang dulu membuatnya bersemangat namun kini dirasa kering dan menjemukan.
Entah mengapa ia menginginkan orang Indonesia. Ada memori tersendiri di hatinya. Negeri itu bukanlah tempat asing baginya, begitu pun orang-orangnya. Ia pernah tinggal cukup lama dan bergaul dengan mereka. Menyaksikan tata cara peribadatan mereka yang beragama Islam. Sampai ucapan salam yang serupa doa. ‘Assalammualaikum’ dan ‘Waalaikummussalam’, begitu dalam perjumpaan di antara sesama muslim, sesuatu yang membuatnya heran sebab adakalanya mereka tak saling kenal. Ia terkesan pada keramahan dan silaturahim orang-orang Indonesia yang pernah dikenalnya, juga pertolongan yang ikhlas diberikan kala ia diterjang berbagai kesulitan dalam pelayarannya.
Akan tetapi, ia menetap di Phuket, Thailand. Kota pantai yang indah dan dipenuhsesaki oleh turisme sampai prostitusi. Menyepi di sebuah rumah berpemandangan ke arah lautan; kiblat yang ia cintai. Dengan penjaga, dan anjing galak yang siap menyalak demi keamanan dan privasi dari sekian gangguan tak diinginkan. Adakah “kawan” Indonesia yang akan datang?
Sepi itu kian menggumpal.
Matahari perlahan karam seolah ditelan lautan.
Tiba-tiba azan berkumandang.
***
HIDUP adalah semacam pencarian. Itu yang diyakininya. Masa-masa muda telah lewat, kelebat ingatan sesekali membawanya pada penyesalan. Ia bukan orang lurus, tak sepenuhnya lurus. Namun ia ingin mencoba lurus.
Tristan kini tak lebih dari seonggok daging tanpa kaki meluncur di atas kursi rodanya. Bukan lagi lelaki pemberani yang bebas bergerak ke sana kemari dengan lincah dan mandiri. Menantang maut di lautan berbagai benua mahaluas telah lama dilakoninya. Akan tetapi, ia melakukannya bukan sebagai kesombongan lagi. Setiap detik dalam pelayarannya kala diterjang badai, kesulitan, dan musibah membuatnya begitu dekat dengan malaikat kematian. Dan ia mengenal gentar sekaligus syukur kala semua usai, bahwa nyawa masih lekat dengan raga. Sekaligus tanda tanya.
Namun bukan berarti ia tak pernah mengenal masa-masa gelap dalam hidupnya. Lelaki Inggris itu pernah tiga kali bertugas di Angkatan Laut negaranya demi pengabdian. Tiga kali kapalnya ditembak dan ditenggelamkan torpedo kapal selam Jerman. Ia terpaksa pensiun pada tahun 1952 karena luka yang dideritanya. Luka itulah yang membuat pembuluh darahnya di kakinya tersumbat sehingga harus diamputasi satu demi satu agar nyawanya tetap selamat.
Dan ia tenggelam dalam kepedihan. Juga kemarahan. Butuh waktu lama agar bisa menerima kenyataan dengan tegar. Berusaha melanjutkan kecintaannya pada lautan dengan kembali berlayar. Cacat kakinya tak dirasa menghalangi meski ada keterbatasan yang membuatnya harus tahu dan sadar kapasitas diri. Namun ia tidak kurang akal untuk meyiasati. Ia telah menerima semua itu dengan keikhlasan total. Bahwa semua digerakkan oleh Rencana Besar. Maka pelan-pelan ia bermetamorfosis untuk mengenal siapa pengatur alam ini. Terlalu banyak kebesaran yang ia saksikan dalam pelayaran.
Tidakkah Tristan sadar dan haqqul yaqin akan kekuasaan Tuhan, juga dinul yang ingin ia kenal lebih dalam. Dinul dari Tuhan dengan perantaraan seorang lelaki dari tanah Arab bernama Nabi Muhammad. Agama yang berbeda dari agama-agama lain yang dikenalnya sebab hanya menyembah Yang Satu.
Selama ini ia berusaha mengenal Islam lewat bacaan. Beberapa di antaranya bernada memojokkan. Namun itu tak berpengaruh, malah kian besar keinginannya untuk memasuki agama tersebut. Karena itu ia menunggu seseorang dari seberang lautan. Seseorang yang bisa memahami gejolak perasaannya agar ragu itu hilang.
Betapa ironis, Thailand (atau Siam, mestinya) negeri yang mayoritas penduduknya beragama Budha dihuni seseorang seperti Tristan Jones, orang asing yang ingin jadi muslim.
***
LALU saat itu tiba. Dua bulan sudah ia sengaja mengasingkan diri dari dunia luar dan tak menerima tamu. Sepasang suami istri paruh baya mencoba mengunjunginya. Namun di pintu gerbang terpampang pengumuman: “Tidak menerima tamu, kecuali dengan perjanjian, telefon, atau teleks.”
Mereka tidak menyerah. Kepada penjaga, lelaki paruh baya berambut perak dan berkulit gelap terbakar matahari namun masih tegap itu memperkenalkan diri dan sang istri sebagai Tuan dan Nyonya Ahadiat dari Indonesia. Mereka telah berlayar sejauh 4.000 mil khusus untuk menemui Tuan Tristan Jones, serta memberi tahu di mana kapalnya berlabuh. Menyerahkan kartu nama dan pesan akan kembali pukul 13.00. Lalu mereka pergi untuk suatu urusan.
Pada hari kedatangan sepasang tamu itu, entah mengapa Tristan dihantam firasat yang menggelisahkan. Ia sedang di ruangannya, menulis buku ketika kartu nama itu segera diserahkan penjaga berikut pesan lisan sang tamu. Gemetar ia membaca kartu itu dengan haru. Ia harus berbuat sesuatu.
“Tolong segera sampaikan bungkusan ini kepada mereka.” Pesannya pada penjaga tersebut.
Dan ia menunggu.
***
TERPANA Ahadiat ketika menerima bungkusan itu di kapalnya. Sebuah buku The Venture Further karya Tristan Jones berikut pesan di sampulnya: “Anda datang tepat waktunya. Silakan datang.”
Alhamdulillah, kita diundang, Bu…,” ucapnya sarat perasaan, pada sang istri yang setia menemani selama pelayaran dari pelabuhan Cirebon sampai Thailand, berdua saja dengan kapal mereka yang diberi nama TRISTAN!
***
MAKA pertemuan itu berlangsung juga. Penuh keharuan. Padahal sebelumnya mereka tidak ada ikatan batin, semacam komunikasi lewat surat, misalnya. Namun mengapa seolah bertemu saudara yang lama berpisah?
Bagi Ahadiat, Tristan adalah guru dan inspirator, untuk ikut berlayar mengarungi lautan. Terkadang ditemani istri saja, atau orang lain, atau cukup seorang diri. Pelayaran panjang melelahkan dan mendebarkan itu terinspirasi dari kisah petualangan Tristan yang ia anggap sebagai guru “jarak jauh”. Kapal mereka cuma yacht mungil sederhana bermesin 12 PK dan sering rusak selama pelayaran panjang penuh gelombang tak terduga.
Betapa pertemuan dengan sang guru sudah lama Ahadiat nantikan.
“Terima kasih telah datang,” Tristan dicekat keharuan sambil memeluk bahu Ahadiat. Erat.
“Kamilah yang berterima kasih bahwa Anda bersedia menerima kami.” Ahadiat tak kalah haru, sementara sang istri hanya termangu.
Kemudian mereka berbincang sambil duduk dan menikmati hidangan ringan. Tristan mempersilakan kedua tamunya bercerita mengenai pengalaman pelayaran mereka. Maka panjang lebarlah Ahadiat menceritakan romantika pelayarannya dari Cirebon, Pulau Rakit di Ujung Indramayu, Toboali di Pulau Bangka, Kualatungkal, Tanjung Balaikarimun, Kolong; memasuki wilayah Malaysia di Kukup, Muar, Malaka, Port Dickson, Port Kelang, Lumut, Penang, Langkawi; lalu wilayah Thailand di Terutao, Pakbara, Ko Liang, Ko Lanta Hyai, Krabi, dan berakhir di Phuket.
“Itu pelayaran yang sangat jauh,” gumam Tristan kagum.
“Tidak sebanding dengan apa yang telah Anda lakukan,” Ahadiat merendah. Bagaimanapun, Tristan Jones adalah legenda di kalangan petualang laut. “Kami berencana untuk membelah Terusan Suez kelak, jika pelayaran ini berjalan lancar.”
“Semoga lancar.” Harap Tristan hangat dan simpatik. “Akan tetapi, adakah hal lain dan khusus dari pelayaran Anda dari Cirebon ke sini? Ia masih haus akan cerita, cerita yang lebih spiritual.
Sejenak Ahadiat berpikir, matanya menerawang mengingat kilas balik pelayarannya. “Rasanya banyak sekali, Tuan Tristan. Dari kerusakan mesin; kehilangan jangkar karena diembus angin kencang; menabrak perahu motor ikan yang membuat kami harus membayar ganti rugi sebesar 50 ringgit; tidak mudahnya menyusuri Pantai Port Dickson karena banyak lumpur, sero, bagan, dan jaring penangkap ikan; sampai diperlakukan sedikit keras oleh polisi Malaysia berkaitan dengan para penyelundup asal Indonesia yang membawa rokok kretek ke wilayah mereka….” Ahadiat berhenti sejenak. Ia capai dan haus bicara panjang lebar. Tristan mempersilakannya mengambil minuman.
“Selain kesulitan, adakah bantuan dan hal-hal baik yang Anda temui?” ia mendesak, entah mengapa ia harus mendesak. Untung kedua tamunya tak menangkap nada desakannya.
“Oh, di Pakbara kami sempat bertemu sepasang suami-istri nelayan yang beragama Islam. Mereka sangat baik. Sempat menginap dan makan bersama di sana. Yang paling mengesankan dari kehidupan nelayan mereka adalah suami-istri sama-sama melaut untuk menjaring ikan. Jadi, tak ada istilah berantem karena hasilnya kecil, beda dengan nelayan di Cirebon.” Nyonya Ahadiat ikut nimbrung. Tristan dan Ahadiat sama tersenyum.
“Di Krabi, saya sempat jadi imam waktu salat Isya.” Gumam Ahadiat dengan pandangan mengawang. Betapa dalam kesempitan Allah masih melapangkan jalan, bahkan mengenal silaturahim dengan sesama muslim di Thailand.
Sementara itu Tristan terpaku di atas kursi rodanya. Keramahan orang-orang muslim di Pakbara dan Krabi bukanlah hal asing baginya, namun ketika Ahadiat bercerita bahwa ia menjadi imam salat, ada sesuatu yang menyejukkan masuk dalam relung jiwanya. Tidak salah lagi, merekalah tamu yang ditunggunya. Namun ia harus menegaskan sesuatu.
“Anda muslim?” tanyanya ragu.
Ahadiat dan istri saling berpandangan, tak mengerti arah pertanyaan Tristan.
“Ya, kami muslim.” Ahadiat berusaha berbaik sangka. Bagaimanapun, ia dan istri adalah tamu dari seorang guru yang dikaguminya. Dilihatnya Tristan memejamkan mata dan menarik napas lega.
Tristan merasa sekaranglah saatnya. Kepada kedua tamu itu ia mencetuskan keinginan yang lama terpendam. Juga bahwa ia bertahun-tahun menunggu seseorang yang datang dari seberang lautan. Bukan orang kulit putih atau Thailand, melainkan Indonesia negeri yang pernah dicintainya, seseorang yang bisa diajak bicara dan memahami perasaannya.
“Saya bukan orang religius. Namun, andaikata saya beragama, saya akan masuk Islam. Maukah Anda menolong saya?” Suara itu penuh pengharapan. Harapan terpendam yang sarat getar.
Kembali terpana Ahadiat dan istri mendengar pengakuan Sang Guru yang dikaguminya. Lalu pecahlah tangis haru campur bahagia di antara mereka bertiga. Betapa panjang jalan hidayah itu, dan betapa pertemuan mereka tak dinyana diatur-Nya untuk membukakan pintu hidayah seorang calon muallaf yang hendak hijrah. Subhanallah….
Ya, Tristan telah menanti mereka demi saat itu. Penantian tak sia-sia dalam detik-detik sisa hidupnya agar tak berkubang penyesalan. Maka syahadat pun bergetar di dalam Masjid Ban Kung Ti, di hadapan imam masjid dengan Ahadiat dan istri sebagai saksi. Dua kalimat syahadat itu sebelumnya telah diajarkan Ahadiat sang murid sebagai syarat utama masuk Islam. Begitulah sang guru dan murid berbagi pemahaman dengan cara mereka masing-masing, ketika alur hidup pilihan mempertemukan mereka dalam makna silaturahim. Selalu ada kehendak bebas yang harus siap dipertanggungjawabkan ke hadirat sang khalik.
Langit Phuket pun bergetar. Angin laut bertasbih lirih. Menjadi saksi bukti cinta seorang hamba yang sekian lama mencari temu bagi rindu. Rindu pelaut akan pelabuhan akhir dari pelayarannya mengarungi samudra kehidupan.
Dan Tristan sadar sewaktu-waktu harus bersua dengan Yang Dirindukan, ingin mewakafkan harta dan royalti menulisnya kepada Masjid Ban Kung Ti untuk menyantuni anak cacat, yatim piatu, dan pendidikan agama.
Ahadiat membantu menyampaikan maksud tersebut pada sang imam yang sama bersyukur. Pada akhirnya ada yang ikut memakmurkan masjid ketika umat muslim menjadi minoritas di suatu tempat yang sarat maksiat.
Maka setiap senja menjelang Magrib, Tristan menanti azan dengan serbuk-serbuk kebahagiaan. Pada akhirnya ia bisa memasuki relung azan dalam peribadatan. Perahu sajadah pun terbentang dalam sembahyang. Jiwa Tristan tersungkur dalam sujud penuh syukur. Bahwa ia telah diberi sapuan kehidupan yang kaya warna dan tak karam dalam palung kesia-siaan.
***
NUN di Bandung, sebuah buku One Hand for Yourself tanda mata Tristan yang dipilih Ahadiat dan istri dari lemarinya, tersimpan rapi di rak buku mereka.
Tangan Siapa lagi yang menggerakkan?***
Cipeujeuh, 7 Juli 2006
#Sumber pustaka:
- Paragraf kedua yang miring dikutip dari kolom "Adakah yang Ingin Anda Ketahui", Majalah Intisari.
-                                “Si Kakek Gila Kembali Berulah” karya Ahadiat sebagai pengalamannya kala berlayar dari Cirebon menuju Malaysia dan Thailand. Intisari, No. 355/XXX/Februari 1993.
-                                Ada beberapa kalimat yang dikutip dari artikel tersebut sesuai aslinya demi pertimbangan bahwa cerpen ini merupakan pengembangan dari satu peristiwa, percampuran antara fiksi dan fakta. Semacam epik.

15 komentar:

  1. Cerita yang sangat mendetail, dan menyentuh. Sebagai seorang muslim, tentunya akan bahagia bila bertambah saudara semuslim. Bapak Ahadiat sungguh beruntung bisa menjadi guru rohani bagi idolanya sendiri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, alhamdulillah, Tristan Jones beroleh hidayah sebagai muslim. Sayang beliau sudah lama tiada. Dan blog mengenainya cuma satu. Dulu pernah ada blog yang khusus bahas mengenai Tristan Jones dan pembacanya bisa berkomunikasi. Sekarang tidak ada lagi. Saya harap semoga suatu saat kelak bisa baca karya-karya beliau. Sayang bukunya tidak diterjemahkan di sini.
      Adakah keturunan Bapak Ahadiat yang baca tulisan saya? :) Saya mengagumi beliau juga.

      Hapus
    2. Sayang sekali saya juga tak tahu adakah keturunan beliau soalnya saya cuma menulis berdasarkan artikel Bapak Ahadiat di majalah "Intisari". Semoga saja keturunan beliau baca tulisan ini.
      Sayang Anda tidak menyertakan nama dan alamat agar keturunan keluarga beliau bisa menghubungi. Saya juga tak tahu bagaimana kabar beliau setelah sekian lama.

      Hapus
  2. Keren, rekor luar biasa banget. Mengenai saya yang belum bisa berenang ini :( Ingin rasanya merasakan berlayar dilaut gitu..

    Endingnya saya suka-suka. Phuket, jadi teringat beberapa minggu yang lalu nulis wisata phuket. Memang apik banget pemandangan pantainya. Beruntung bisa tinggal disana.

    Aku merasa bahagia, ketika bertambah saudara seiman. Ini tulisan sengaja aku jadikan penghujung BW di BE. Sembari santai, baca ini. Serasa baca sebua novel dalam buku, ingin rasanya melanjutkannya. Penasarana akan kelanjutannya, Teh..hehe. Apakah akan ada kelanjutannya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya juga gak bisa berenang dan pengen bisa berlayar, hehe.
      Ya, Tristan Jones punya alasan mengapa memilih Phuket. Barangkali Inggris terlalu dingin jadi lebih suka yang tropis. Semoga suatu saat kelak Andi juga bisa berlayar dan mengembarai Phuket. Masukin dalam daftar list impian.
      Duh, kalau lanjutin ini saya tak bisa. Tak punya sumber referensi lainnya tentang Tristan Jones. Maaf. Makasih telah apresiasi. :)
      Kalau mau, di luar sana ada banyak buku karya beliau. Sayang belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

      Hapus
  3. Nyata sekali. Tristan Jones yg terasa benar2 ada di dalam bayangan saya, dia sedang melakukan pelayaran demi mencari jari dirinya. Saya paling suka bagian dia menunggu waktu azan maghrib.

    Teduh sekali rasanya. Saya nunggu azan maghrib aja cuma pas puasa. Terima kasih diingatkankembali pada sang Pencipta.

    Endingnya pun epic, kak. Semoga bisa terus menulis cerita lagi. ❤️❤️❤️❤️❤️

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih apresiasinya Zakia. Tapi buku-buku karya Tristan lebih epic. :)
      Wah, saya malah sangat merindukan bunyi azan lagi. Kerinduan itu malah tertuang dalam cerpen.
      Ya, sama-sama. Saya juga ingin selalu ingat dan tak khilaf. :)

      Hapus
  4. Keberanian yang dibungkus dalam pertanyaan. Hingga akhirnya dia tersadar bahwa ada sesuatu yang lemah dibalik keberaniannya.

    Saya tenggelam dalam kata-katanya yang puitis. Salam kenal

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, kita mencari sesuatu karena ada pertanyaan besar paling mendasar.
      Terima kasih, salam kena juga.

      Hapus
  5. Strong kali nih Tristan, seorang mantan angkatan perang Inggris yang mengagumi agama Islam. Endingnya uh puitis sekali

    Bagus sekali ya cerpennya. Salam kenal mba

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada banyak insan yang beroleh hidayah dengan beragam cara. Tapi ngebayangin gimana ia melayari lautan luas, waduh, gak kebayang karena lom baca bukunya.
      Makasih apresiasinya.

      Hapus
  6. Ada rasa haru yang membuat mata berkaca-kaca mbak dari cerpen ini. Suka sekali dengan cara mbak menulisnya, nggak bosen dibaca dan sederhana.
    Kisah pencarian yang bisa dibilang dialami oleh semua orang, dan akupun mengalaminya. Namun berbeda dari Tristan, alhamdulillah aku lahir dari keluarga yang telah mengenal Islam, setidaknya tinggal aku yang terus memperdalam dan menggali ilmu serta banyak kebaikan atas Islam

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, Pit. Kita adalah insan pencari. Ada banyak insan pencari yang pada akhirnya beroleh hidayah karena Allah telah mengatur perantara. Seperti pada Tristan
      Semoga kita senantiasa beroleh keberkahan agar tak lepas hidayah. Aamiin. :)

      Hapus
  7. Gak tahu kenapa kayak pernah denger nama Tristan, eh, gak taunya setelah diinget-inget itu kayak nama di sinetron Ganteng-Ganteng Serigalak wkwk.

    Cerpennya bagus sekali. Tapi, bahasanya cukup baku jadi ada beberapa yang aku bingung hehe. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe, ada banak nama Tristan. Tristan 'kan nama asli asal orang Barat. Film Legends of the Fall juga ada tokoh Tristan Ludlow.
      Makasih apresiasinya, soal baku yah moga gak kaku. Soal yang bingungin mungkin karena prosanya cenderung bertutur dengan permainan rima. Jadi rada nyastra.

      Hapus

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D