Apa yang
dirasakan seorang anak ketika harus berhenti sekolah dengan alasan cacat fisik?
Dan bagaimana peran orang tua sendiri agar anak bisa tumbuh kembang dengan
baik; secara psikologis dan kognitif?
Oleh Rohyati Sofjan
SETAMAT SD
(1988) saya dengan sangat terpaksa tidak bisa melanjutkan sekolah. Bukan tidak
ingin atau tidak mampu, tetapi ketulian saya sudah pasti akan sangat
menghalangi untuk bisa belajar di sekolah umum yang diperuntukkan bagi
“anak-anak normal”.
Ya, kala SD saya terpaksa menjalani hari di
sekolah umum karena keadaan (SDN 1 di Warung Jambu, Kiaracondong, Bandung).
Saya sudah telanjur masuk kala orang tua tidak menyadari adanya kelainan pada
telinga saya.
Seingat saya, awal mula kehilangan pendengaran
terjadi sejak usia 6 tahun, dengan sebab misterius. Saya tak ingat apakah
karena infeksi telinga, pemukulan, atau apa. Yang jelas saya sangat tersiksa
menjalani hari di sekolah umum, banyak tidak mengertinya. Untuk pelajaran yang
didiktekan saja harus “mencontek” catatan teman sebangku.
Para guru sudah mengeluhkan keadaan saya pada
orang tua, bukannya memindahkan saya ke SLB agar bisa beroleh suasana belajar
yang nyaman dan kondusif, orang tua malah bolak-balik memaksa saya mengikuti
beragam pengobatan. Dari yang medis sampai non-medis, dari yang masuk akal
sampai kebangetan, dan tak satu pun
akhirnya berhasil. Barangkali telinga saya sudah rusak parah. Error dalam saraf yang memengaruhi
kinerja panca indra.
Barangkali berat bagi orang tua untuk punya
anak yang masuk kategori cacat. Ayah saya yang berpendidikan tinggi harus
mengalah pada ibu yang cuma sekolah sampai kelas 2 SR dan berasal dari kampung
dengan pola pikir sempit. Kendali akan pengelolaan uang yang buruk oleh ibu
membuat ayah yang belum setahun pensiun sebagai PNS sepertinya tak mampu
memasukkan saya ke SLB yang jauh dari rumah. Jangankan saya, abang saya pun
tidak diizinkan melanjutkan ke STM dengan alasan tidak serius belajar.
Harus saya akui, ada ketidakseimbangan dalam
harmoni keluarga. Peran orang tua sebagai pembina keluarga agar anak-anak
nyaman dan terlindungi, juga tercukupi kebutuhannya; harus dikalahkan ego ibu.
Ibu saya bukan jenis orang yang suka menabung demi masa depan atau berinvestasi
dengan bijak. Dan ayah saya yang memercayakan gajinya untuk dikelola ibu
bukanlah orang pelit.
Dan akibatnya, ketika pensiun, dengan berat
ayah bilang tidak bisa lagi berlangganan majalah Bobo. Bagi saya Bobo
bukan sekadar kawan belajar dan bermain selama 6 tahun kurang lebih. Dari Bobo saya bisa memahami bahasa dan nama
benda-benda. Bobo adalah “telinga”
saya.
Saya harus menerima kenyataan tidak sekolah,
dan kemampuan saya dalam hal memahami gerakan mulut (reading lip/oral sign) mulai berkurang banyak. Ketiadaan interaksi
sosial dengan teman sebaya menjadikan saya tumbuh sebagai anak yang minderan.
Hiburan saya adalah bacaan. Saya lahap apa
saja asal ada hurufnya. Buku loakan atau pinjaman. Beli komik, majalah, atau
buku bekas di Pasar Kiaracondong dengan uang jajan yang disisihkan. Sayangnya
ibu tetap bukan jenis insan yang menghargai aksara. Jangankan koleksi majalah Bobo bekas langganan, majalah loakan pun
harus alami nasib serupa, dijual lagi.
Amit-amit banget
masa itu!
Alhamdulillah, setelah
tiga tahun menjalani masa yang paling amit-amit, akhirnya saya bisa melanjutkan
sekolah. Dan dari SMP sampai SMU kembali umum. Bukan hal yang mudah. Namun tiga
tahun yang hilang mengajarkan saya suatu tekad kuat untuk menghargai
pendidikan.
Dalam keterbatasan saya berusaha keras memacu
diri bahwa saya mampu (melawan perasaan tidak berada di tempat yang semestinya).
Meski tidak optimal benar sebab ada hal-hal di luar kapasitas kemampuan saya.
Otak saya kuat dalam hal hafalan dan pemahaman huruf, namun lemah dalam
abstraksi angka-angka.
Matematika dan sebagainya memakai bahasa
juga, namun saya kurang memahami bahasanya. Saya baru memahami rumusan
matematika dan sebagainya setelah dewasa, membantu mengerjakan PR keponakan
untuk kategori SD dan SMP, itu pun setelah memelototi buku ajarnya. Merasa
harus bisa agar kelak tidak jadi ibu yang buruk dan payah di mata anak saya.
Sekarang saya ibu dari seorang balita yang
hiperaktif. Istri dari seorang buruh tani di kampung. Masih mencintai literatur
(dengan koleksi yang bertambah dan tak harus dijual ke loakan). Mencoba
mensyukuri apa yang telah terjadi sebab hidup tak bisa diputar ulang ke
belakang dalam perandaian. Dan ada banyak orang yang mendukung, suami dan kawan-kawan!***
(Untuk
kawan-kawan di Yayasan Jendela Seni Bandung, Mnemonic Geng Mnuliz, dan milis guyubbahasa
Forum Bahasa Media Massa)
#Cipeujeuh,
13 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D