Di
dalam restoran yang penuh sesak dengan pengunjung, aku melangkah melewati
setiap barisan meja dengan bingung, sampai akhirnya tiba di ambang ruang
terpisah yang penghuninya pada lesehan sambil menghadap meja rendah panjang.
“Penulis
Ji Ho!” Seseorang berteriak sambil melambaikan tangan.
Aku
menoleh ke arah sumber suara dan merasa lega. Seorang lelaki tampan yang masih
muda tersenyum riang. Ia asisten sutradara. Aku balas melambai.
“Cepat
sini.” Undangnya. Aku mengangguk dan langsung menghampiri mejanya yang juga
ditempati Bu Penulis dan Pak Sutradara.
“Sini,”
sapa Pak Sutradara yang tengah duduk lesehan.
Bu
Penulis melambai, “Kenapa kau baru datang?”
“Duduklah,”
Pak Sutradara menyambutku.
Aku
segera duduk di samping Asisten Sutradara. Di seberang meja Bu Penulis dan Pak
Sutradara duduk berdampingan.
“Bajumu
bagus sekali,” pujian Pak Sutradara membuatku malu. Namun aku tahu beliau orang
ramah yang suka basa-basi.
“Pikirmu
kau sudah lama bekerja sampai bisa datang setelat ini?” kata Asisten Sutradara,
seorang lelaki muda yang tampan dan usianya pertengahan 30-an. Lanjutnya, “Apa
boleh asisten penulis terlambat menghadiri pesta perpisahan drama?”
“Dia
kumat lagi,” Pak Sutradara menuding asistennya. “Kau selalu menghentikan semua
orang bilang begitu buat Ji Ho.”
“Serius?”
Asisten Sutradara tampak canggung. Begitu pun aku.
“Kau
pasti rindu aku, ya?” kusenggol bahunya dengan lenganku.
“Kapan
aku begitu.” Elaknya, “Itu karena aku merasa cepat kepanasan. Makanya aku
begitu.”
“Hei,
aku benci bertemu kalian sekarang,” komentar Bu Penulis, “Kalian bisa saling
berkencan atau tidur. Aku tidak peduli.”
Pungkasnya, “Lakukan saja, terserah kalian.”
Aku
dan Asisten Sutradara tertawa malu.
“Kalian
itu sudah main mata selama tiga tahun.” Repet Bu Penulis geregetan. “Siapa coba
zaman sekarang, yang masih sok jual mahal?”
Pertanyaan
berbahaya itu cuma bisa kutanggapi dengan “Bukan begitu.”
“Menurutmu
siapa lagi?” sambar Asisten Sutradara. “Bukan aku,” katanya sambil menatapku.
Aku agak kaget dengan pernyataannya.
“Kau
ini kenapa?” Pak Sutradara mengangkat alis pada asistennya, menggoda. “Apa
artinya Penulis Yoon tidak tertarik padanya?”
Kami
hanya bisa tertawa menanggapi gurauannya.
Rupanya
Pak Sutradara belum puas menggoda, katanya padaku, “Kenapa? Kau tidak suka Yong
Suk?”
“Apa
maksudmu, Pak Sutradara?” Aku mendesah. “Dia bukan pria bagiku.” Kurangkul bahu
Asisten Sutradara, akrab. “Kami ini brother.”
Lenganku mengunci lehernya. Menikmati reaksi spontan dari orang-orang di
mejaku. “Aku sudah merawat bayi polos ini selama tiga tahun.” Kugaruk dagunya
sambil tertawa, lenganku ditepis Asisten Sutradara.
“Kurasa
dia serius. Dia sungguh tidak tertarik padamu.” Simpul Pak Sutradara pada
asistennya.
“Aku
jadi sakit hati.” Asisten Sutradara memandangku, “Aku selalu bisa membuatmu
jatuh cinta padaku.”
“Oh,
ya?” Kututupi salting-ku dengan
pernyataan, “Maka sebaiknya kau tidak boleh tumbang sebelum aku hari ini.”
Kugaruk lagi dagunya seperti menggaruk kucing.
“Serius?”
Pak Sutradara tertawa.
“Ya,
lakukan saja.” Dengan tangannya ke arah gelas minuman di depan, Bu Penulis
mempersilakan Asisten Sutradara untuk minum duluan. “Ayo minum.”
Aku
sudah meneguk bir duluan.
“Bersulang,”
Asisten Sutradara ikut minum.
“Terima
kasih atas kerja kerasnya,” Pak Sutradara memulai ucapan pembuka setelah
bersulang.
Malam
ini di kantor start up, semua
karyawan pada lembur, sibuk menyelesaikan tugas terakhir bagi pengembangan
situs mereka. Diburu tenggat deadline
yang kian mendekat.
“Flash-nya bagaimana?” CEO Ma bertanya
pada yang bertugas mengurus bagian flash.
“Sudah
berhasil.”
“Baik.
Bagaimana dengan masalah penutupan saat log
in?”
“Aku
sudah memperbaiki masalahnya,” seorang lelaki berkacamata gaya menyahut mantap.
“Apa
ada masalah saat mengunggah profil dan video?” CEO Ma berkeliling ruangan.
“Ya,
sudah teratasi.” Yang menyahut adalah lelaki dengan jaket training biru, seperti tidak pernah ganti baju..
“Good job.”
Lantas
sembilan awak kantor serempak berkumpul di depan meja kerja Nam Se Hee, sang
pengeksekusi tugas akhir. Menunggu dengan berdebar.
“Pembaruan
Gyeol Mal Ae, ver 2.0.” Se Hee tampak percaya diri. Menekan enter.
Layar
komputer memampangkan pesan: Tengah
memperbaharui. Mohon tunggu. Lantas muncul tanda centang. Pembaharuan
berhasil!
“Sudah
selesai.” Se Hee mengangguk lega.
“Kita
berhasil!” sorak yang lain senang.
Maka
di sinilah sekarang. Mereka makan malam untuk merayakan keberhasilan atas
pekerjaan sulit yang telah dilakukan. Di restoran yang sama tempatku makan.
CEO
Ma berdiri di kepala meja. Berkhotbah dengan suka cita. “Selama tiga tahun
terakhir, kalian bekerja siang dan malam… untuk pembaruan Gyeol Mal Ae. Untuk
menyampaikan rasa terima kasih… aku takkan ragu menggaji kalian dengan bonus
akhir tahun!” Ia mengepalkan tinjunya. Dibalas kepalan tinju lain.
CEO
Ma masih berdiri di tempatnya, kali ini berkacak pinggang, masih betah bicara.
“Awalnya, Gyeol Mal Ae hanya bisa menghasilkan 50 ribu per bulan. Rasa terima
kasihku tak terkira bagi kalian… yang telah membuat perusahaan ini berkembang
200% setiap tahunnya.” Ia menyilangkan lengan ke matanya, mulai hampir menangis
disergap rasa haru karena kerja keras dan upaya mereka akhirnya berbuah hasil.
Beberapa awaknya ikut menundukkan kepala, masing-masing terbawa suasana haru
sekaligus bahagia karena tempat mencari nafkah akhirnya berkembang juga.
“Aku
bahkan tidak bisa…,” ia kehilangan kata untuk melanjutkan. Kembali berkacak
pinggang, “Aku tahu ini agak memalukan, tapi ayo kita nyanyikan slogan kita.”
Ia mulai aba-aba dengan mengepalkan tangannya ke atas, yang diikuti para
awaknya. “Kita.”
“Bukan
keluarga!” ucap yang lainnya kompak.
“Bukan
keluarga!” CEO Ma menegaskan. “Kita harus digaji!”
“Harus
digaji!”
“Bersulang!”
CEO Ma mengangkat gelasnya, diikuti yang lain. Segera saja gelas bir ukuran
besar beradu nyaring. “Minum!” Aba-aba CEO Ma.
“Panas
sekali. Kenapa seperti ini?” Komentar seseorang.
Mendengar
itu Se Hee seakan teringat sesuatu. Katanya pada Bo Mi yang duduk di sebelah,
“Kurasa kau sudah bisa ganti baju sekarang.”
“Sudah.”
So
Hee tampak bingung, jadi Bo Mi terpaksa menjelaskan dengan canggung. “Baju yang
kemarin warnanya lebih gelap dari kemarin.” Ia menunjuk dengan dagunya ke
bawah, “Yang sekarang warnanya lebih cerah.”
Se
Hee mendesah malu. “Begitu, ya.”
Dan
rasa malunya seakan mendapat penyelamat dengan kedatangan dua rekan mereka yang
berlari ke meja, “Tebak siapa yang baru kami lihat? Yoon Se Hee!” ucap salah
seorang dengan gembira, yang satunya sibuk mengatur napas.
“Serius?”
rekan yang lain menanggapi.
Se
Hee lagi-lagi bingung, “Yoon See He? Siapa itu?”
Pertanyaan
bodoh! Satu per satu rekannya pada menoleh ke arah Se Hee. CEO Ma malah
terpana.
“Apa?”
Se Hee benar-benar tak ngeh dengan
nama itu, yang nama depannya senama. “Apa dia salah satu investor kita?”
Beberapa
orang tertawa mendengarnya. Tak merasa perlu menjawab. Melanjutkan acara makan
dan minumnya. Membiarkan Se Hee bingung
sendiri.
Sementara
itu, orang yang mereka bicarakan tengah berbincang dengan Asisten Sutradara.
Dua orang kekasih yang lewat di koridor tempat mereka berdiri ikut
memerhatikan. Sepintas. Saling berbisik begitu melihat artis drama yang
terkenal berada di sana.
“Benar.”
Ujar Yoon Se Hee pada lawan bicaranya. Tepat saat itu aku melintasi koridor,
barusan keluar dari toilet.
“Penulis
Yoon.” Panggilan Asisten Sutradara membuatku berpaling.
Aku
mendekati mereka, dan kubungkukkan punggungku sebagai tanda hormat pada artis
yang membintangi dramaku. “Halo,” sapaku.
“Halo,”
balasnya, turut membungkuk.
“Penulis. Terima kasih atas kerja kerasmu.”
Yoon Se Hee lebih cantik daripada di layar televisi. Ia yang mengiklankan
produk sponsor dengan mengoleskan lipstik mahal. Dan adegan produk sponsor
itulah yang aku tulis.
“Bukan
apa-apa. Kaulah yang menyukseskan dramanya.” Aku merendah.
“Tidak
juga.” Yoon Se Hee, turut merendah. “Kalau begitu, aku permisi dulu.” Pamitnya.
Lantas ia berlalu. Meninggalkanku dengan Asisten Sutradara.
Kali
ini aku menggantikan posisi berdirinya di depan Asisten Sutradara. Agak
canggung.
“Oh,”
Asisten Sutradara seakan teringat sesuatu. Memberikan saputangannya padaku. Aku
mengelap tanganku yang basah dengan itu.
“Heol, tadi lancar juga.” Kukembalikan
saputangan itu pada pemiliknya. Asisten Sutradara cuma mengangguk.
“Maaf,
Penulis Ji Ho. Kau harus bekerja lebih keras untuk menutupi kesalahanku.”
“Kau
kenapa?” canggungku. “Selama tiga tahun terakhir, kau biasanya tak seperti
ini.”
“Iya,
ya.” Lengannya dimasukkan ke saku. Tampak canggung juga. “Kita sudah saling
kenal selama tiga tahun.”
Aku
terpana, dan cuma bisa mengangguk saja.
“Maaf…,
ada yang ingin kukatakan kepadamu.” Dia tampak ragu sambil jarinya memegang
dagu. Aku menunggu lanjutannya dengan perasaan tak karuan.
Namun
sebuah suara menghentikan kami. “Maaf.” Seorang lelaki jangkung dengan
penampilan pekerja kantoran yang rapi berdiri di dekat kami. Kami serempak
menoleh.
“Aku
mau lewat.” Sapanya sopan.
Kami
spontan mundur ke belakang, memberi jalan. Rupanya kami menghalangi jalan di
koridor gedung. “Ya,” kataku dan Asisten Sutradara hampir bersamaan.
Ketika
lelaki itu berlalu. Aku dan Asisten Sutradara tambah canggung dan malu. Aku
jadi gugup. “Aku mau keliing dulu,” pamitku.
“Oh.”
Hanya itu katanya. Lalu ia menambahkan ketika aku sudah berlalu, “Nanti ke sini
lagi, ya.”
Aku
cuma berbalik dan tak menjawab.
Aku
keluar gedung, di bagian belakang restoran. Suasana lengang. Hanya ada seorang
lelaki duduk di bangku, menyimak ponsel pintarnya. Lelaki yang tadi lewat!
Dan
aku tidak menyadarinya. Tertawa sendiri. Merasa sangat GR. Sampai mataku
tertumbuk pada layar ponsel pintar yang tengah menayangkan pertandingan
sepakbola. Mataku membulat. Aku menghampiri pemilik ponsel untuk intip-tonton.
Dan mengeluh kecewa. “Sanchez!” Lalu kusadari pemilik ponsel itu memandangku
dengan heran.
“Maaf.”
Kataku rikuh, merasa telah lancang ikut nebeng tonton pertandingan di
ponselnya. “Aku sangat ingin menonton pertandingan bola itu.”
Lelaki
itu cuma diam. Dan mataku tertumbuk lagi pada layar ponselnya. “Ouh!” Sanchez
tengah menggiring bola ke gawang lawan. Aku dan lelaki itu fokus menyaksikan.
Aku berseru, shoot begitu bola tengah
digiring. Dan gol! Gawang lawan sukses dijebol!
Aku
dan lelaki itu bersorak gembira.
“Daebak!” Kebiasaan burukku kumat,
terbiasa menggebuk bahu adik membuatku spontan malah menggebuk bahu lelaki
asing itu dengan kuat.. Dan begitu sadar, aku jadi malu sekali.
Lelaki
itu tengah memandangku dengan tatapan super-aneh. Seperti syok dengan aksiku
barusan.
Kulepaskan
tangan kananku yang masih berada di bahu lelaki itu dan minta maaf. “Kau tak
apa? Maaf.”
Lelaki
itu mencabut kabel earphone dari
telinganya. Ia menoleh begitu aku melanjutkan, “Itu karena… aku….” Aku gugup,
“”Maksudku, waktu pertandingan sebelumnya…, saat Sanchez mencetak gol, wasitnya
bilang itu offside,” nada suaraku
malah kesal. “Tapi ternyata tidak. Aku sudah menonton pertandingan itu lebih
dari tiga kali.” Dan aku malah bersemangat, bicara soal bola selalu membuatku
bersemangat, tak peduli pada orang asing. Apalagi lelaki itu tak menyela. “Jika
itu tidak offside, Arsenal pasti
menang.” Lalu aku malah berlaku seperti penganalisis, “Bukannya strategi Wenger
jelek-jelek amat, tapi…,” sembari bicara itu mataku terpaku pada pandangan
terpana dari lelaki asing itu. Aku jadi sadar. “Maaf.” Kubungkukkan punggungku,
kembali masuk ke dalam.
Dan
beberapa langkah kemudian, lelaki itu malah bilang, “Arsenal….”
Aku
berbalik. Lanjut lelaki itu, “Apa kau penggemarnya?”
Di
lorong gedung restoran, Bo Mi melangkah tergesa. Ia hendak ke toilet perempuan.
Dan dari ujung pintu masuk toilet lelaki, CEO Ma nongol. “Yoon Bo Mi, Nam Se
Hee mana?” panggilnya sambil melihat sekitar.
Bo
Mi hanya berpaling sekilas lalu gegas masuk toilet perempuan.
Begitu
disadarinya Bo Mi sudah tak ada lagi, CEO Ma kesal. “Hei, CEO-mu lagi bicara
sama kau.” Ia hendak menyusul Bo Mi. Namun di ambang pintu toilet hampir
bertabrakan dengan seorang perempuan berkacamata. Dengan mantel hijau. Dan
taksiran usia 40-an. Perempuan itu memekik kaget.
CEO
Ma malu dan berlalu. Kali ini marah. Meski tak tahu pada siapa harus marah.
Dari
arah kepergian CEO Ma, Sutradara Park lewat dan dicegat perempuan yang rupanya
Bu Penulis. “Sutradara Park, kau lihat Penulis Yoon?”
“Tidak,”
ucap Sutradara Park seperti orang teler. Jalannya limbung. Masuk toilet lelaki.
Bu
Penulis mengibas-ngibaskan tangannya, Sutradara Park yang mabuk berbau alkohol
menyengat. Ia berlalu untuk masuk ke ruang semula di restoran sambil
menggerutu, “Dia ke mana?”
Pada
saat yang bersamaan, dua orang yang tengah dicari CEO Ma dan Bu Penulis asyik
mojok di pintu belakang restoran. Mengobrol soal sepakbola. Rupanya punya minat
serupa dan penggemar Arsenal juga.
“Jika
kau ingat lagi, Arsenal menempati posisi ke-4 selama 7 kali setelah debutnya di
Premier League.” Lelaki asing itu ternyata kawan diskusi yang asyik dan tahu
banyak soal sepakbola. “Sama dengan Liverpool.”
Aku
yang berjongkok di sampingnya dan semula cuma menyimak, jadi ingin tahu, “Apa
kau menghitungnya?”
“Aku
mengumpulkan statistik arsip mereka sendiri.”
Jawaban
itu membuatku hilang kata.
“Di
mana kau? Aku di luar?” Suara Asisten Sutradara mengejutkanku, dan aku menoleh
ke arah sumber suara yang sedang menelefon.
Aku
berdiri untuk melihat lebih jelas. Ia berdiri tak jauh dari tempat kami, di
area parkir.
“Aku
di tempat parkir,” lanjutnya.
Melihat
itu aku tersenyum.
“Pergilah.
Dia pasti pacarmu.” Rupanya lelaki asing itu sempat melihat polahku. Ia masih
asyik mengamati pertandingan bola di layar ponsel pintarnya.
Aku
mendesah dan menyanggah, “Tidak, dia bukan pacarku.”
Lelaki
itu diam saja.
“Belum,”
lanjutku GR. “Kami cuma saling mengenal.” Entah mengapa aku merasa nyaman
bicara dengannya. Aku berbalik ke arah lelaki itu dan melanjutkan, “Dia juga
sebenarnya tadi mau menyatakan perasaannya. Tapi aku gugup sekali…, jadi aku ke
sini. Aku tadinya kalau Arsenal menang hari ini, mau menyatakan perasaanku
duluan ke dia.”
Tak
ada tanggapan. Lelaki itu masih mengamati layar.
“Tapi,”
aku seolah sadar, “Kenapa aku menceritakan semua ini, padahal kita baru pertama
bertemu?”
“Dia
tampan dan tinggi.” Hanya itu tanggapannya, berarti lelaki itu sempat
mengamati. Aku tersenyum dan menoleh ke arah Asisten Sutradara berdiri.
“Ya,
‘kan? Dia tampan, bukan?” Aku antusias.
“Ya,
kalau kubilang nilainya…,” matanya sekilas melihat lagi ke arah Asisten
Sutradara, sampai aku ikut-ikutan melihat, “7 dari 10.”
“Kau
pelit sekali,” komentarku tak terima. “Harusnya nilainya 9.” Habis itu aku
melihat lagi ke arah Asisten Sutradara yang sedang bicara di telefon genggamnya
sambil tertawa. Aku membuat penilaian sendiri. Dia tinggi. Alis matanya tebal. “Bahu lebar. Punya pekerjaan juga.”
Tanpa sadar aku mengucapkan apa yang ada di pikiran.
Dan
tiba-tiba seorang perempuan cantik mengejutkan Asisten Sutradara dari arah
belakangnya. Artis Yoon Se Hee!
Asisten
Sutradara segera memeluknya sambil bilang, “Aku merindukanmu.”
Adegan
itu seakan membuatku berada di dimensi déjà
vu, aku terkejut sekali. Sesuatu yang tak kuduga telah terjadi. “Dan pacar
juga, dia punya,” gumamku lemah.
Rupanya
gumam lemahku terdengar lelaki asing itu. Ikut melihat ke arah yang kulihat.
Kami menyaksikan Asisten Sutradara tengah memeluk pacarnya yang bilang aigoo, mengulang ucapan semula, “Aku
merindukanmu.”
Adegan
itu membuatku dan lelaki asing seolah tersihir dalam keterpanaan, sampai
teriakan gol membahana dari layar ponselnya.
Namun
kami seakan sama tidak peduli pada teriakan itu. Entah siapa yang menang. Gol
untuk Arsenal atau bukan? Waktu seakan berada di dimensi lain yang lambat.
Membuatku tercekat.
Kalau
dipikir-pikir, aku tidak pernah menjadi striker
(penyerang) dalam hidupku!
Aku
memasuki ruang makan dengan gontai. Pak Sutradara yang mabuk tidur sambil duduk
bersandar.
Bu
Penulis tengah bersulang dengan Asisten Sutradara dan pacarnya, artis Yoon Se
Hee tadi. “Terima kasih,” ujar Yoon Se Hee kala Bu Penulis menuang minuman ke
gelasnya.
“Kerja
bagus.”
“Bukan
apa-apa.”
“Terima
kasih.” Bu Penulis merasa harus berterima kasih pada artis tenar itu.
“Penulis
Yoon!” Asisten Sutradara kembali melambai begitu aku masuk ruangan.
“Penulis
Yoon, duduk sini.“ Artis Yoon Se Hee dengan ramah mempersilakanku duduk di
sebelahnya. Tidak menyadari bahwa aku barusan patah hati karenanya.
“Apa?”
Aku mendekati mereka dan duduk di mejaku.
“Kau
mau ke mana? Aku merindukanmu.” Asisten Sutradara merajuk.
Dan
dengan santai seolah tanpa beban aku bilang sambil kedua tanganku bergaya
seolah menembak, “Aku juga.”
Kami
semua tertawa riang.
“Minumlah,”
ajak Bu Penulis. “Mari kita bekerja sama lagi.” Ia bersulang ke arah artis Yoon
Se Hee.
“Terima
kasih.”
Kami
semua bersulang.
“Minumlah.”
Bu Penulis menyilakan.
Kuteguk
gelasku dengan pikiran yang seolah disetel berulang. Aku selalu membela diri, dan melangkah mundur pada waktu yang tepat.
Di
halte bus, aku menunggu bus yang akan mengantarku pulang. Hari sudah larut
malam. Aku merasakan kekecewaan yang teramat dalam. Karena peristiwa tadi. Dan
lebih-lebih lagi karena pengakuan lewat SMS yang disampaikan Asisten Sutradara
barusan. SMS ini kuterima kala aku sedang di halte bus.
“Aku lagi pacaran dengan
seseorang, tadi aku ingin mengatakannya padamu.”
Usai
membacanya, aku menyadari sesuatu. Aku tidak punya keberanian menggiring bola,
atau pengalaman untuk menghindarinya. Aku hanyalah seorang bek amatir.
Jadi,
kuberanikan diri dengan membalas SMS itu. Kuketikkan kalimat basi yang sama
sekali tidak mewakili perasaanku. “Serius? Baguslah! Selamat!”
Hanya
itu.
Dari
arah lain, lelaki asing tadi tengah jalan ke halte tempatku menunggu sambil
menelefon. “CEO Ma. Kau sadar ‘kan, ini penyalahgunaan kekuasaan? Kita setuju
kalau aku hanya ikut ronde pertama makan malam tim.”
Di
seberang, CEO Ma menjawab, “Nanti kuantar
kau pulang. Nanti aku pesan sopir sewaan.”
“Tak
usah. Aku naik bus saja.” Katanya tegas. “Naik bus jauh lebih cepat daripada
naik mobilmu.”
Sepertinya
CEO Ma menyanggah, jadi lelaki itu menegaskan lagi. “Sudah kubilang aku naik bus
saja.” Ia hampir sampai di bangku halte sampai menyadari kehadiranku yang
sedang duduk menunggu.
Kami
saling berpandangan. Aku menunduk. Ia berbalik, “Oh ya, ada juga kereta bawah
tanah.”
“Naik
bus saja!” seruku sebelum lelaki itu jalan lebih jauh dari halte.
Lelaki
itu terpaku beberapa meter dariku. Ia berbalik memandangku.
“Tak
bisakah kau pulang naik bus?”
Karena
lelaki itu diam saja, jadi aku melanjutkan, “Jadi setidaknya rasa maluku agak
berkurang.” Lalu aku kembali menunduk.
Sebuah
bus melintas pergi. Meninggalkan aku dan lelaki asing di restoran tadi. Kami
duduk berjauhan. Merasa canggung dan tidak nyaman.
Lelaki
itu memulai percakapan, seakan ingin mengusir diam, agar kami sama nyamannya
seperti tadi kala di luar restoran terlibat obrolan ringan sebelum kenyataan
menghantam. Lebih tepatnya menghantamku, berkaitan dengan Asisten Sutradara
yang ternyata sudah punya pacar.
“Yakin
rasa malumu akan berkurang?”
“Tidak.”
“Ini
kali pertama aku berada di lingkungan ini.” Ia bicara sambil melihat ponselnya,
seakan mencoba menghindari kontak mata yang siapa tahu akan membuatku tambah
tak nyaman. “Aku jarang pergi keluar, dan aku benci pergi keluar malam-malam.”
Aku
diam saja, namun ekor mataku mengamati. Terus menyimak lelaki asing itu yang
seakan ingin menghiburku.
“Aku
biasa di rumah atau di kantor. Jadi kita tidak akan pernah bertemu lagi. Aku
harus menunggu setidaknya 10 menit lagi sampai bus datang.” Sebuah taksi
melintas di depan kami. Lelaki itu berpaling padaku dan melanjutkan, “Tidak
perlu merasa tak nyaman seperti ini.” Ia menegaskan karena aku tetap diam, “Kau
tidak perlu merasa malu lagi.”
Aku
mendesah, ingin membuang resah. “Aku malu… dengan diriku sendiri.” Ada jeda.
“Bukan padamu, tapi diriku sendiri.” Ya, aku merasa menyedihkan, “Aku tidak bisa
membedakan mana cinta dan sikap baik di usia setua ini. Aku menyukai dia selama
tiga tahun. Aku memendam perasaanku sampai aku berusia 30 tahun. Aku malu
dengan betapa bodohnya aku. Padahal umurku bukan 20 lagi tapi 30.”
Entah
mengapa aku bisa berterus-terang seperti ini, pada seorang lelaki asing yang
sekiranya membuatku nyaman mencurahkan perasaan. “Aku tidak tahu apa yang
kulakukan di usia 30 tahun ini. Maka dari itu, jangan dihiraukan.”
“Kau
bilang usiamiu 30 tahun.” Tanggapan itu begitu tiba-tiba menghangatkan karena
ia melanjutkan dengan bahasan yang tak pernah kukenal, “Itulah batas neokorteks-mu.”
Aku
berpaling dan bertanya, “Apa?”
“Neokorteks terletak di bagian luar otak,
dan tugasnya bertanggung jawab atas konsep waktu seperti usia 20 atau 30.
Kucing tidak memiliki neokorteks, tak
seperti manusia. Jadi kucing tidak bosan atau depresi, walau kucing selalu
makan makanan yang sama dan melakukan kegiatan sama... di rumah mereka yang
sama selama hidup mereka. Kucing tidak memiliki masa depan maupun masa lalu.”
Lelaki
itu bicara tentang sesuatu yang tak kupahami, namun entah mengapa uraiannya
yang bernas membuatku paham. Dia bicara tentang kucing, neokorteks, usia dan konsep waktu, hal-hal yang semacam itu intinya
seakan hendak menghiburku. Jadi aku diam menyimak.
Lanjutnya,
“Usiaku 20 tahun. Usiaku 30 tahun. Sebentar lagi usiaku 40 tahun. Hanya satu
jenis spesies di Bumi yang mengunci diri pada waktunya. Yaitu manusia. Hanya
manusia yang menggunakan usia untuk membuat orang lain menghabiskan uang dan
menutup emosi mereka. Itulah yang didapat manusia karena evolusi.”
Paparannya
begitu panjang, dengan muram aku melihat lelaki asing itu. Kali ini dalam
perspektif dan perasaan yang berbeda. Aku merasa mulai menyukainya. Ia kawan
bicara yang akan membuatmu merasa nyaman berbincang tentang hal apa saja. Ia
juga sopan dan simpatik. Kukira ia lelaki yang baik. Sekaligus cerdas dan
kharismatik.
Ia
berpaling padaku dan melanjutkan, “Entah kucing berumur 30 atau 40, itu sama
saja bagi si kucing.”
Aku
tercenung, mencoba mencerna apa yang dikatakannya barusan. Aneh, pikirku.
Anehnya omong kosongnya lebih menghiburku dari apa pun hari itu.
“Maaf.
Namamu siapa?” Kuhimpun keberanian untuk bertanya. Aku hanya ingin berkenalan
karena sedari tadi kami bicara tanpa memulai dengan perkenalan lebih dulu.
Namun
dia hanya memandangku. Aku jadi salah tingkah.
“Apa
lebih baik aku tidak tahu namamu?”
“Ya.”
Angguknya sopan. Sepertinya ia bukan jenis orang yang suka basa-basi.
“Ya.”
Jadi kuanggukkan kepala sepertinya. Dengan sopan pula. Lalu kami saling diam
sejenak. Lelaki itu kembali mengamati ponselnya. Namun aku tidak tahan untuk
terus bicara, “Kau orang asing, tapi aku merasa nyaman denganmu.”
“Kau
pasti merasa nyaman karena aku orang asing.” Lalu dia berdiri.
Sebuah
“pencerahan” seketika muncul di benakku. Memikirkan bahwa aku tidak akan pernah
melihatnya lagi, perasaanku sedikit sedih. Aku ikut berdiri.
“Terima
kasih untuk cerita neokorteks-mu.”
Kataku sopan. Kubungkukkan punggungku sebentar. Suatu kebiasaan ala orang Korea
ketika kau berterima kasih pada seseorang untuk suatu hal. “Kurasa aku sudah
gagal dalam hidup ini, tapi aku akan berusaha yang terbaik.” Kuulurkan
lenganku, mengajak berjabat tangan.
Lelaki
itu tampak ragu sebentar sebelum menerima uluran tanganku. “Semoga berhasil.
Lagi pula, melewati hidup ini adalah pertama kalinya bagi kita semua.”
Ada
sesuatu dari ucapannya yang membuatku seakan berada dalam arus kekaguman
sekaligus ketidaksadaran. Kupandangi bibirnya. Untuk sesaat, aku melupakannya.
Hidup ini. Saat ini. Dan bibir lelaki itu menyunggingkan senyum. Seakan
mengundangku untuk melakukan sesuatu. Kau hanya punya satu kesempatan.
Jadi,
aku berjalan mendekatinya, merangkul lehernya dengan kedua lenganku, dan kucium
bibirnya. Waktu serasa melambat, sekaligus bergerak cepat begitu bus yang
kutunggu datang.
Untuk
sesaat aku tidak sadar. Lalu bergegas meninggalkan lelaki itu, menaiki bus
tujuanku pulang ke apartemen baru.
Lelaki
itu masih berdiri terpana di halte. Begitu bus berlalu. Ia seakan membutuhkan
waktu cukup lama dari arus ketidaksadaran karena seorang perempuan cantik
mendadak memberikan ciuman perpisahan.
Di
dalam bus aku tertawa sendiri. Merasa amat bahagia. Karena telah mencium lelaki
yang kusuka, dengan cara nekat pula. Hari itu sangat panjang.
Di
kamar mandi, aku sikat gigi, memandang cermin dan berpikir. Aku pindah dari rumah yang kutempati selama
lima tahun. Aku berkumur. Aku rupanya
dianggap teman oleh orang yang kukira
menyukaiku selama tiga tahun. Aku becermin. Aku mencium orang asing.
“Daebak sekali kau, Yoon Ji Ho.” Aku
bicara sambil becermin, seakan bicara pada diriku yang lain. Lalu aku
tersenyum. Meninggalkan kamar mandi. Memasuki ruang tempat si kucing pup di wadah kotorannya. Kuserok
kotorannya untuk kubuang. Kumasukkan ke dalam lipatan tisu kertas sebelum
kubuang ke tempat sampah yang dipisah untuk daur ulang. Aku melakukannya dengan
riang.
Malam
sudah begitu larut, ketika pemilik apartemen membuka pintu. lampu foyer menyala otomatis kalau ada yang
memasuki ruangan. Namun beberapa ruang lain dalam apartemen gelap dan sepi.
Rupanya
penyewa kamar telah mematikan beberapa lampu utama ruangan. Hanya sedikit
cahaya dari ruang lain yang tak dimatikan lampunya. Sebelum memasuki kamarnya,
ia berpaling dan memandangi pintu pemilik apartemen. Sepi.
Sebelum
memasuki kamarnya, pemilik apartemen memandang pintu kamar penyewa. Ada poster
fim “The Graduate” ditempel di pintu.
Dan
sebelum itu, kala habis mematikan lampu, aku memandang pintu pemilik apartemen
yang tertutup rapat. Penghuninya belum pulang. Bukan bayanganku kalau aku
menjalani hidup di usia 30 tahunku seperti ini, tapi karena ini pertama
kalinya, kurasa lumayan juga.
Kututup
pintu kamarku.
Sementara
itu, pada jam yang sudah larut, pemilik apartemen hanya memandang pintu
penyewanya yang tertutup rapat tanpa pretensi apa-apa. Lalu masuk kamarnya.
Di
kamarku, aku tidur nyenyak dengan perspektif baru. Seperti perkataannya, kita semua melewati hidup ini, untuk pertama
kalinya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D