Oleh ROHYATI SOFJAN
TINGGAL di
tempat yang jauh dari pusat kota menghambat mobilitas juga. Saya berumah di
sudut kampung suatu lereng gunung (jika dari kejauhan). Untuk ke kota kecamatan
makan waktu sekira 45 menit jalan kaki cepat bagi yang terbiasa, atau 60 menit
jika santai karena tak terbiasa; turun-naik bukit, berkelak-kelok melingkar.
Atau minimal 15 menit berkendara ojek dan harus tabah dengan kondisi jalan yang
amburadul sehingga bikin badan pegal “dangdutan”, hehe.
“Pekerjaan”
saya sebagai penulis atau boleh disebut penganggur terselubung yang sesekali
dapat rezeki jika ikhtiarnya beruntung, terasa tersendat-sendat sebab untuk ke
warnet demi memasarkan karya agar beroleh penghasilan saja harus turun gunung
cukup jauh ke kota lain.
Entah
itu Garut Kota (saya tinggal di Kecamatan Balubur Limbangan, Kabupaten Garut
bagian Utara), atau paling sering ke Bandung saja karena dari segi ongkos
transportasi lebih murah, bisa naik KA. Pulang-perginya cuma butuh 20 ribu
rupiah jika mematuhi jadwal KA. Selain itu, akses internet lebih cepat dan
murah. Garut Kota adalah wilayah asing bagi saya yang lahir dan besar di
Bandung.
Maka
pada suatu siang kala dikejar deadline lomba menulis cerpen yang
diadakan suatu penerbit (sayang malah kalah, hehe), saya terpaksa turun gunung
ke Bandung. Berangkat tengah hari, angkotnya sempat ngetem lama lagi. Karena
suatu hal, saya terpaksa keliling Cicalengka mencari warnet lain yang ternyata
sudah lama tutup. Kala di Stasiun Cicalengka, saya cemas melihat jadwal
keberangkatan KRD Ekonomi Bandung Raya sudah berangkat sejak sejam lalu, kereta
selanjutnya adalah KRD Patas yang cuma berhenti di Stasiun
Cicalengka-Rancaekek-dan Bandung saja.
Apa
boleh buat, saya terpaksa naik KA patas sebab sudah pukul setengah tiga. Saya nggak
tahu apakah harus nginap di rumah kerabat. Dalam keadaan gamang, di
stasiun sembari mencatat jadwal keberangkatan, seorang ibu pengemis mengesot ke
arah saya dan menadahkan tangan. Membuat saya teringat Ibu. Mereka sebaya.
Namun yang harus saya syukuri adalah Ibu masih beroleh tunjangan pensiun dari
almarhum Bapak. Apa jadinya jika Ibu harus mengemis seperti itu?
Saya
terenyuh, meski lelah dan tegang karena tadi nyaris ditabrak motor kala
menyeberang ditambah kecapaian menyusuri sebagian kecil wilayah Cicalengka,
saya sadar harus mensyukuri hidup. Undur ila kaifa. Ya, melihat ke
bawah. Maka saya sedekahkan 1.000 rupiah meskipun uangnya pas-pasan karena
karcis patas 4.000 dan nanti harus disambung naik angkot lagi.
Yang
terjadi selanjutnya adalah ketakterdugaan, doa saya agar KA berhenti sebentar
di Stasiun Kiaracondong terkabul. Saya bisa turun dan mengehemat ongkos. Lebih
penting lagi, saya tiba di rumah dengan selamat meski harus kemalaman.
Belajar
dari itu, saya berusaha menyedekahkan sedikit rezeki kala menjadi musafir.
Termasuk ketika harus turun gunung ke Bandung, mengambil honor tulisan yang
dimuat “Pikiran Rakyat”, ada error di bagian administrasi; honor belum
dikirim ke rekening saya sebab alamat dan nomornya terhapus bagian editing (17/9/2007).
Dalam
keadaan lelah sebab ada tambahan 4X ganti angkot di Bandung, saya kembali
pulang kemalaman. Naik KRD yang pukul 18.05. Itu bulan Ramadan. Sehari
sebelumnya saya habis memanen padi dan harus memanggul setengah karung gabah
basah dalam keadaan puasa. Tak apa, setidaknya saya bisa merasakan suasana
berbuka di gerbong Kereta Rakjat Djelata. Meski cuma minum air gelas saja sebab
harus berdiri desak-desakan, ditambah pengap asap para smoker.
Di
luar gelap. Saya masih bisa membaca Annida baru edisi Ayat-ayat Cinta
sambil berdiri. Di Stasiun Rancaekek, saya bisa duduk dan meneruskan bacaan
selain menyedekahkan sedikit rezeki pada pengemis sampai pengamen seperti tadi
saat berangkat.
Mungkin
karena keasyikan baca, saya nggak sadar telah naik KA yang bukan jenis
Bandung Raya. KA-nya nggak berhenti total di Stasiun Cicalengka seperti
biasa, di mana seluruh penumpang akan berhamburan turun. KA itu ternyata menuju
Cibatu.
Sadarnya
saat menengok ke jendela, dan astagfirullah, LELES! Tempat yang nggak
pernah disambangi. Nyasar itu sering, namun lebih bermasalah lagi jika
nyasarnya malam meski cukup bekal, sebab saya mengalami kesulitan orientasi
arah jika dah gelap, nggak peduli di tempat yang pernah dikenali.
Pukul
7 di gerbong itu saya alami ketegangan kala bertanya pada penumpang lain
tentang Stasiun Cibatu-nya kapan. Saya tunarungu dan nggak bisa
mendengar ucapan mereka, ditambah terbawa suasana asing menyangkut kepercayaan.
Masa ada yang panik gitu kala tahu saya nyasar, hingga sayanya ikut
panik, hehe.
Saya
betul-betul pusing, juga ketakutan. Di kereta tadi sempat berpikir apalah harus
naik angkot ke Limbangan atau elf saja, eh malah nyasar ke Cibatu. Nggak ada
orang yang bisa saya percayai dalam kondisi demikian. Bagaimanapun, saya harus
melindungi diri.
Maka
setelah mengalami saat rumit, saya terpaksa melapor ke kantor polisi Cibatu,
berharap bisa dibantu cara pulang meski ragu. Alhamdulillah, Bapak
Polisi yang sedang berbincang bareng beberapa orang di luar ternyata sangat
membantu. Saya cuma tanya arah dan cara ke Limbangan serta berapa ongkos
ojeknya, mendapat lebih. Tukang ojek nggak
cuma diminta mengantar saya, mereka mengongkosi okeknya. Malu dan haru rasanya.
Apalah arti 10 ribu rupiah? Saya masih mampu. Saya hanya ingin pulang dengan
selamat sebab sudah jam 8.
Tiba
di rumah pukul setengah 9, saya masih memikirkan kejadian tadi. Mengapa harus
nyasar di Cibatu? Apa yang akan terjadi jika turun di Cicalengka dan harus
memilih angkot atau elf, akankah aman? Jalur Cicalengka-Limbangan jika malam memang
tidak selalu aman, siang saja suka kecelakaan. Mana Ibu pernah dirampok di atas
elf (katanya!). Apa maksud Tuhan membuat saya harus menjelajahi suasana dan
wilayah asing? Semata salah saya sebab terlalu lelah sekaligus ceroboh
keasyikan baca karena nggak tahu salah naik KA. Jika nggak
nyasar, akankah saya selamat?
Apakah
sedekah saya membawa berkah atau musibah? Saya akui terlalu asyik ngasi meski
diliputi rasa nggak enak karena takut riya. Orang terakhir yang saya
sedekahi adalah seorang anak lelaki penyapu yang matanya sangat meminta dan
saya nggak bisa bilang tidak.[]
Cipeujeuh,
2 Hijriyah 1429 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D