Jumat, 05 Januari 2018

Puasa Sidik



Cernak Rohyati Sofjan


SEBENTAR lagi ramadan. Sidik bingung apa nanti bisa pol puasanya. Ia sudah besar, kelas 2 SD, dan mestinya bisa berpuasa sehari penuh bukan setengah hari seperti Ramadan tahun lalu.
Sidik ingin seperti Kak Sita, kakaknya yang kelas 6. Kak Sita kuat berpuasa sampai sebulan tanpa bolong. Kak Sita juga sering puasa sunat. Kak Sita memang kakak yang salehah. Rajin salat wajib 5 waktu, plus sunat. 
Sedang Sidik. Untuk salat 5 waktu saja malas, apalagi yang sunat kayak dhuha. Padahal Ibu selalu mengajaknya sebelum berangkat ke sekolah dekat rumah yang masuknya jam 7.30,Dhuha dulu, yuk, Dik. Biar rezeki lancar dan ilmu tambah anteng dicerap.” Rayu Ibu manis.
Namun Sidik selalu menolak. Ibu tidak memaksa. Kecuali pada hari Minggu atau libur karena tanggal merah. Biasanya Sidik terpaksa ikut karena Bapak yang jadi imam bagi keluarga kecil mereka, itu pun diimbuhi dengan ogah-ogahan. Sidik akan berada di baris belakang Bapak, di belakangnya lagi diikuti Ibu dan Sita.
“Salat dhuha kok ogah-ogahan,” ledek Sita. “Padahal cuma dua rakat. Itung-itung olahraga, Dik!”
Sidik cuek. Mengabaikan omongan Sita. Namun sekarang untuk puasa?
Sidik malu pada Siti tetangga barunya. Kata mama Siti, Siti sudah kuat puasa ramadan tanpa bolong sejak usianya 6 tahun. Sekarang Siti 7 tahun dan kelas 1. Masa anak cowok kalah?!
“Puasa kok kayak lomba?” Sita meledek lagi begitu Sidik curhat. “Jangan pol puasa agar tak kalah dengan anak yang lebih muda. Puasa ‘kan demi Allah, Dik.” Tegur Sita lembut.
“Kok gitu, sih, Kak? Sidik ‘kan lebih tua daripada Siti, seperti Kakak lebih tua daripada Sidik. Jadi yang tua mesti bisa ngasi contoh pada yang lebih muda, ‘kan?” Sidik ngotot. “Sidik tak ingin kalah dari Siti. Sidik malu, masa lebih tua dan gede gini gak kuat puasa. Siti sering dapat hadiah dari keluarga besarnya karena kuat puasa. Sedang Sidik?”
Sita terkekeh. Adik semata wayangnya lucu juga. Malu pada anak lain kalau tak kuat puasa, bukan malu pada Allah. Padahal urusan puasa ‘kan merupakan hablum minallah, menyangkut manusia dengan Tuhannya.
“Ya, sudah,” Sita mengalah. Sidik sangat kompetitif.
Tahu kompetitif? Itu bukan kembarannya lokomotif, hehe. Kompetitif artinya sangat suka berkompetisi alias berlomba. Ya gitulah dengan Sidik. Selalu ingin jadi nomor satu dalam segala hal. Menyangkut prestasi di sekolah dalam belajar, olah raga, sampai seni lukis yang diikutinya.
Mungkin di lain waktu Sita bisa memberi pemahaman lebih baik pada Sidik. Untuk saat ini Sita merasa ilmunya belum cukup. Sidik keras kepala dan selalu merasa paling benar. Gak tahu apa semua anak cowok nyebelin gitu kayak adiknya?
“Sudah apanya?” Sidik tidak puas. Ia teringat Siti yang pemberani, tak mempan dijahilinya. Siti tidak cengeng, kalau Sidik mengajak berantem dengan mengancam mengacungkan tinjunya atau apa saja, Siti akan balas meleletkan lidah. Sidik kesal karena Siti tak mempan diganggu.
Sita sampai malu pada keluarga Siti karena ulah adiknya itu. Tapi Sita juga bingung, mengapa Sidik getol sekali menganggu Siti padahal selama ini Sidik dikenal bukan anak yang jahil, apalagi pada perempuan. Zahra, tetangga sebelah kanan yang seumur Siti saja tak pernah dijahili Sidik.
“Jangan-jangan Sidik suka Siti,” kata Fatma kakak Siti yang juga merupakan teman main Sita, ketika suatu hari yang lalu Sita curhat.
“Ah, Sidik masih kecil!” bantah Sita.
“Ya biarin saja, sejauh tak mencederai fisik tak apa-apa. Toh, mungkin Sidik tak punya teman sebaya, dan Siti tak suka main dengan anak cowok jadi mereka berteman dengan cara kurang akur.” Fatma angkat bahu. Anak-anak Pak Burhan, ayah Siti dan Fatma, cewek semua.
Dulu yang menempati rumah ini adalah keluarga Pak Danu, dan Sidik biasa main dengan Bowo. Tapi Bowo lalu ikut ayahnya yang pindah tugas ke luar kota. Bisa jadi Sidik sangat kehilangan. Tak ada teman yang bisa melakukan banyak kegiatan.
Melihat Siti, Sidik kesal karena berbeda dengan Bowo. Siti tak suka berkegiatan alam. Siti anak manis yang pasif. Sidik pernah mengajaknya bersepeda, tapi ditolak Siti. Apa pun kegiatan yang biasa ia lakukan dengan Bowo pasti ditolaknya. Makanya hanya mengajak berantem itu yang Sidik bisa.
Habis mau apa lagi? Main layangan atau sepak bola ‘kan tak mungkin. Di lingkungan sekitar kompleks perumahan ini tak ada anak kecil sebaya, kebanyakan sudah besar-besar semua. Zahra yang manis tak selalu bisa diajak main juga. Zahra selalu sibuk mengasuh adik batitanya.
Sekarang kita kembali pada kekesalan Sidik yang tak mau kalah soal puasa dengan Siti. Sita yang pusing harus sabar menjelaskan pada Sidik.
“Kita latihan lagi puasanya. Gak apa-apa puasa dibiasakan, Senin-Kamis cara keluarga kita ini. Insya Allah, Sidik akan bisa karena terbiasa.”
“Puasa Senin-Kamis?” Sidik tertegun. Ia tak pernah mau ikut serta.
“Ya, yang lebih utama puasa mengganggu Siti juga. Apa bisa?” Sita menantang.
Sidik hanya bisa diam. Apa memang bisa? Ia ragu. Namun bukan Sidik namanya jika tak bisa melakukan sesuatu. Dilihatnya Sita tersenyum, kali ini bukan senyum meledek.
Insya Allah, Sidik akan mencoba, Kak.” Bagaimanapun, Sidik merasa tak punya pilihan. Mungkin ia harus belajar sedikit demi sedikit agar lebih baik. Sebentar lagi ramadan. Untuk apa Sidik berpuasa? Dan untuk apa pula selama ini ia mengganggu Siti?
“Jangan melamun,” tegur Sita lembut. Sana mandi dulu. Nanti kita sahur bareng jika Sidik ingin puasa Senin besok.” Sita menepuk bahu adiknya lembut. “Jangan lupa salat asar.”
Sidik hanya mengangguk. Ia ngeloyor mengambil handuk. Pergi mandi seperti yang disuruh kakaknya. Mungkin ia harus minta maaf juga pada Siti karena sering mengusilinya. Mungkin ia bisa berteman dengan Siti dan akur.
Yang harus dilakukannya adalah belajar mengendalikan diri. Mengendalikan keinginan. Karena kita tak boleh memaksa. Barangkali itulah arti puasa. Bukan cuma urusan pantang makan dan minum semata.***
Loji, 8 Juni 2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D