- Judul : Surat Kecil untuk Tuhan
- Penulis : Agnes Davonar
- Cetakan : 8, Agustus 2010
- Tebal : 228 + x halaman
- Penerbit : Inandra Published
- Harga : 38.800
Banyak buku bagus di pasaran, buku yang termasuk best
seller. Bisa jadi karena pemasaran, namun yang lebih utama adalah
kemanfaatan dari isinya yang sangat menggugah. Akan tetapi, sebagus dan selaris
apa pun buku itu, jika penyuntingan bahasanya tak apik, akan berbuah
mengecewakan karena dirasa tak sempurna dalam tatanan ideal. Bisakah idealisme
itu diperhatikan demi kebaikan suatu karya dan perwujudannya di masa mendatang?
Oleh Rohyati Sofjan
MUNGKIN saya termasuk
orang yang sangat terlambat mengetahui kabar buku baru apa saja yang terbit dan
dianggap bermutu plus laris manis di pasaran. Keadaan membuat saya jarang bisa
mengakrabi dunia perbukuan dan trennya. Tiada toko buku di kota kecil saya,
hanya gerai Indomaret Balubur
Limbangan yang setia menyajikan beberapa jenis bacaan yang masuk kategori
pop. Itu pun sudah saya syukuri. Ongkos transportasi kian mahal sehingga
mobilitas saya sebatas di kota kecil. Hanya bisa ngiler melihat iklan buku baru di internet.
Tentu saya berharap buku yang dibeli di sana tak
mengecewakan. Setidaknya sebanding dengan uang yang saya keluarkan. Dan semua
sebenarnya berpulang pada penulis dan penerbit. Bahwa selain isi yang layak dan
menarik, juga sajian gramatika sampai pengetikannya cukup apik.
Surat Kecil untuk Tuhan adalah buku yang
sayangnya masuk kategori di atas, bagus namun isinya secara gramatika sangat
menyedihkan. Buku yang terasa sempurna karya Agnes Davonar (www.agnesdavonar.net)
itu mestinya harus disunting ulang secara kebahasaan. Apalagi jika telah
mencapai cetakan ke-8.
Banyak sekali contoh kata dan kalimat yang tak efisien,
panjang dan bertele-tele, juga membingungkan susunan kalimatnya; ditambah bagi
pembaca awam yang tak terbiasa dengan bahasa slank (baca: selingkung)
khas anak muda masa kini (karena faktor pengetahuan, pergaulan, usia, sampai
fisik), niscaya akan geregetan sebab tak bisa mengikuti atau sekadar menambah
paham akan arti kosakata terkini.
Sepertinya Agnes dan Davonar (juga penerbit) harus
bekerja keras untuk merevisi ulang secara lebih baik dan apik. Bukankah buku
itu akan difilmkan ke layar lebar sekira 15 Januari 2011, pada hari kanker anak
sedunia? Alangkah menyedihkan jika informasi kebahasaannya malah menyebar ke
mana-mana dan dianggap lumrah, padahal mereka telah meraih penghargaan sebagai
penulis online terbaik se-Asia Pasifik. Alangkah membanggakan jika
disunting lagi gramatikanya sehingga lebih apik dan tak melelahkan pembaca yang
peduli pada kaidah berbahasa maupun awam yang tak tahu apa-apa.
Adalah Gita Sesa Wanda Cantika (Keke), gadis remaja ceria
yang tabah dan tegar berjuang dalam hantaman badai tak terduga, badai itu
kanker jaringan lunak (rabdomiosarkoma) yang kasusnya jarang ada. Dan
Keke harus menjadi yang pertama di Indonesia (dan harapannya, hanya ia saja,
kalau bisa).
Tim dokter angkat tangan menanganinya. Kanker ini
tergolong ganas dan tidak memiliki tanda-tanda. Berkembang sangat cepat. Dalam
waktu lima hari bisa dipastikan kanker itu mulai terlihat di bagian wajah Keke
kalau segera tidak diantisipasi! (Halaman 41). Namun kekuatan cinta dari
lingkungan keluarga dan kawan-kawannya membuat ia tetap tegar. Terutama dari
ayahnya, Joddy Tri Aprianto. Figur yang sangat dekat dengannya.
Bagaimanapun, Keke, dalam usia belianya, 13 tahun, mampu
bertahan melewati semua ujian-Nya, sekaligus menyelesaikan ujian sekolah pada
usia 15 tahun. Dan kisah Keke, yang dirangkum Agnes Davonar dengan indah (meski
tak mengenal Keke secara fisik), sebenarnya bisa sangat menginspirasi orang
banyak agar tabah jika dihantam runtutan masalah.
Kita bisa berkaca pada pengalaman Keke dan apa yang
dirasakannya. Hidup ini sebenarnya indah dan harus disyukuri, hidup yang
singkat bagi Keke terasa begitu sangat berharga, ia mengajarkan banyak hal
dalam deraan rasa sakitnya; mencoba kuat dan berdaya guna! Hingga ketika di
penghabisan napasnya, pukul 11 malam, meninggalkan harum melati yang menguar,
harum tak terlupakan bagi yang ia cintai dan mencintainya.
Menciptakan Bahasa yang Kuat dan Berdaya Guna
Jangan remehkan kekuatan bahasa! Ia bisa menjadi sesuatu
yang jelas substansinya bagi penulis yang paham dan peduli, bisa juga malah
mengaburkan makna menjadi sesuatu yang mubazir bagi penulis yang abai dan
enggan belajar.
Paragraf kutipan dari halaman 41 sebenarnya terbalik,
mestinya kalau tidak segera diantisipasi. Sebab: segera tidak dan
tidak segera tentu berbeda pemahamannya.
Apakah Agnes Davonar sedang menulis dengan gaya penulisan
asli berbahasa Inggris sehingga seolah tengah menerjemahkan kata per kata? Dan
banyak sekali kata dan kalimat salah sampai mubazir yang bertebaran, bahasa
Indonesianya terasa melelahkan. Andai direvisi lagi barangkali bisa menciutkan
jumlah halaman bukunya, namun itu tak masalah.
Setidaknya tanda baca dan kaidah penulisan juga mendapat
perhatian. Pun penggunaan bahasa selingkung, bagi saya secara dan cara
berbeda maknanya jika ditempelkan pada suatu kalimat. Terlalu banyak orang
menggunakan “secara” secara
sewenang-wenang hingga menjadi sesuatu yang sebenarnya tak perlu.
Apakah masyarakat sebenarnya tengah dibingungkan pengguna
ragam bahasa demikian? Kalau begitu, bagaimana tanggung jawab penulis sampai
penerbit untuk peduli dan meluruskan?
Tidak mengapa bahasa selingkung ada dalam tulisan, namun
sebaiknya diberi catatan kaki, semacam penjelas agar awam bisa paham dan
membedakan. Pun penulisan kitab suci Al Quran sebaiknya konsisten dengan
Al Quran saja (meski aslinya dari bahasa Arab, Al Qur’an).
Tidak
mengapa jika Agnes Davonar tidak tahu hingga inkonsisten karena masalah
perbedaan keyakinan, namun sebaiknya mendapat perhatian jika masih ingin
belajar. Sebab, proses belajar (juga mengajar) itu sebenarnya indah dan
bermanfaat. Kita bisa melihat hidup sebagai sesuatu yang kaya warna; mengisi
dan diisi hingga berisi!***
Cipeujeuh, 4
Oktober 2010
# Telah dimuat di harian Suara Karya. Lupa kapannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D