Oleh Rohyati Sofjan
SUATU sore di
bulan September 2004, kala masih lajang dan bekerja di Bandung, diminta berbagi pengalaman proses kreatif di
Klub Kepenulisan HARDIM Bandung, saya sempat mengobrol dengan Bu Vivayani W.D.,
seorang ibu rumah tangga yang semangat belajar menulis.
Beliau cerita
tentang idenya menulis artikel fenomena sepeda motor. Menurutnya, harga motor
kian turun namun tingkat kecelakaan kian tinggi. Ia kesulitan mengembangkan
idenya karena butuh data pendukung.
Saya tercenung menyimaknya. Lahir dan besar di Bandung, tepatnya di kawasan
Kiaracondong, lalu pindah ke kampung halaman ibu saya di Balubur Limbangan, Garut;
menyaksikan hidup bergerak sangat cepat. Dulu motor barang langka dan mahal
harganya.
Almarhum ayah saya yang PNS cukup naik kereta PP ke kantornya di Balai
Besar PJKA, gratis pula karena pakai KBD (Kartu
Bukti Diri untuk karyawan dan keluarganya), jadi
motor adalah barang “mewah” bagi kami. Cuma abang saya yang merasa wajibul
kudu memiliki motor tanpa menakar kemampuan finansial sendiri.
Dulu Bandung tak diluberi motor, sekarang hampir dipastikan mayoritas warga
merasa harus memilikinya. Bukan cuma Bandung saja, di kampung saya pun
demikian. Kala remaja dan bersekolah di SMU Al Fatah, Balubur Limbangan pada
tahun 1994-1997, tak ada teman yang bawa motor ke sekolah. Harganya masih
mahal. Untuk transportasi paling naik sado atau angkutan desa yang ongkosnya
masih 100 rupiah selain ojek atau mobil omprengan yang beda harga. Kalaupun ada
yang punya, tak membawanya ke sekolah, entah mengapa.
Zaman berubah, aturan berbeda. Pun Rupiah. Sekarang duit cepekan tak
cukup untuk ongkos. Maka, fenomena remaja bermotor pun mewabah. Bagi yang
rumahnya jauh dari sekolah motor sangat vital fungsinya. Bukan cuma orkay
(orang kaya) saja yang
memiliki motor.
Lihatlah panorama pagi yang sibuk, anak berseragam putih-biru pun
“bermotor” ke sekolah. Ada kaitannya dengan ongkos transportasi yang mahal
selain efisiensi? Akan
tetapi, bagaimana dengan di jalan raya dan pembiasaan pemakaian pelindung
kepala? Safety guard!
Dalam film “First Love” anak SMP pun bermotor, lebih
tepatnya skuter matik macam Honda Scoopy. Itu di Thailand. Kok, kayak
lumrah di sana. Namun salutnya, mereka patuh memakai pelindung kepala. Helm
standar yang bahkan pemakainya mau repot menalikan di dagu. Tidak seperti di
sini yang entah mengapa masyarakat seakan malas memasang tali helmnya agar aman
benar di kepala.
Jika aturan di Thailand membolehkan remaja bermotor secara legal, meski
untuk pelajar setingkat 1 SMP (di sana disebut kelas M-1), bagaimana dengan
kita? Kultur dan aturan yang berbeda membuat sesuatu tampak legal atau ilegal. Wallahu
a’lam. Ditambah lagi tingkat kecelakaan di sini masih tinggi. Berkaitan
dengan sikap mental masyarakat sendiri.
Sekira pada tahun 2006, saya pernah jalan-jalan sendirian di Garut Kota.
Lumayan sepi jalanannya. And I love it! Namun kenikmatan sebagai turis
penyuka kota sepi itu bersifat fana. Garut Kota sekarang termasuk ramai juga,
banyak motornya.
Tahun 2009 kala angkot yang saya tumpangi bersama keluarga melintasi sekolah yang
kebetulan sedang bubaran, seorang remaja putri berseragam abu-abu sempat
berdadah setelah motornya membelok ke jalan raya, dan pandangan bukannya ke
arah depan jalan malah ke arah luar pintu gerbang sekolah tempat temannya.
Barangkali ia pikir tak apa-apa, namun dalam perspektif saya itu tindakan
gegabah. Sempat berdadah meski sekejap saat membelok ke jalan raya bukanlah
tindakan baik. Napa tidak dadah dari tadi sebelum membelok ke jalan
raya? Fokus utama bermotor mestinya ada pada pandangan ke depan demi
keselamatan.***
Cipeujeuh, 31
Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D