Jumat, 05 Januari 2018

Untuk Tendy K. Somantri



Saat Menentukan Arah

Tetapkan hatimu dan berjuanglah untuk tabah: Kita akan
memasuki sebuah kalimat yang kata-katanya tidak saling
berhubungan, sesekali saling menolak dan berlawanan, serta
terus menjauhi makna. Perhatikan betapa setiap huruf adalah
jendela ke sebuah dunia berbeda, dan tidak saling menyapa.

Berjuanglah: sementara kita amati sejumlah imbuhan
tengah berbenturan dengan semacam suku kata yang
tak berhenti menuntut dicatat. Tapi jangan bertanya, inikah
samudra makrifat? Tak ada pulang bagi yang hilang,
tak ada temu bagi yang rindu, atau istirah bagi yang lelah.

Tabahlah. Tapi jangan pula menerka-nerka mimpi:
kau tak akan sempat terjaga lagi. 
(Syair Ags. Arya Dipayana, Syir’ah, No. 28/IV/Maret 2004)
### 

Sajak di atas itu bagi saya terasa sangat mengena. Sederhana, lembut, liris, sekaligus filosofis. Barangkali juga Anda rasakan hal semacam itu kala menyimaknya. Semoga.
Sengaja saya sertakan penggalan sajak dalam surel ini karena ingin memupus resah, entah Anda atau saya. Hidup yang sulit selalu membuat kita butuh semacam oase bagi jiwa, barangkali puisilah dermaga bagi perahu yang berlayar dalam lautan gelisah dan merindukan tempat istirah.
Sekarang saya tak bisa menulis puisi lagi, rutinitas telah membuat jiwa seakan kering dan jauh dari kontemplasi. Bagaimana dengan Anda sendiri? Masihkah ada ruang bagi puisi, entah sekadar membacanya saja atau malah mencipta? Sudah lama saya ingin membaca karya Anda, entah itu puisi atau prosa. Bagi-bagi, dong!
Tawaran Mas Kuswinarto pada semua untuk mengisi Cybersastra barangkali bisa Anda pertimbangkan, atau Annida dan Syir’ah? Ayolah, saya yakin bukan objektivitas atau subjektivitas redaktur yang saya nilai melainkan bagaimana karya Anda sebenarnya. Sungguh saya sangat ingin membaca karya Anda, karya sastra bukan artikel di Gelora saja. Mau, ya? Saya mohon sekali…
Saya ingin berkompetitor dengan Anda juga, tentunya bukan dalam versi rival ala Ujianto Sadewa. Soalnya saya merasa karyanya tak lagi menggugah atau ngomporin, gitu. Tak tahu mengapa ya, barangkali sejak mengenal sekian orang, daya tariknya perlahan pudar dan sibuk membuat perbandingan.
Hehehe…, entah bagaimana reaksinya kalau tahu itu. Rivalitas yang sepi. Iya, ke mana saja karyanya?!
Siapa tahu karya Anda menginspirasi. Ada efek psikologis karena mengenal Anda sebagai kawan, jadi ingin tahu saja bagaimana sejarah kehidupan yang Anda alami. Bersediakah berbagi?
Saat masih kuliah di UNPAD, tentunya Anda sendiri aktif di acara seni atau masuk komunitas? Lantas bagaimana Anda bisa “terdampar” jadi jurnalis di “PR”? Mengapa pula saat ini Anda enggan memublikkan karya padahal publikasi semacam itu kan bukan hanya untuk popularitas semata melainkan sebagai “saluran kegelisahan dalam dinamika kehidupan”.
Ataukah Anda termasuk orang yang enggan menonjolkan diri? Tak perlu menonjolkan diri, cukup karyalah yang bicara. Susahnya, kreator kadang tak bisa melepaskan diri dari karya ciptaan yang ia publikkan. Namun saya tak setuju dengan anonimitas, sebab ada semacam tanggung jawab bagi karya yang ia sebarkan ke masyarakat luas. Bagaimana menurut Anda sendiri?
Soal langkah membuat novel, wow, saya girang lho. Sampai penasaran konsep macam apa yang akan Anda buat dan bagaimana pula gayanya. Jangan tertawa, ya. Dulu sekali sebelum kenal internet, saya pernah mimpi Anda menulis novel serial! Gila, mimpi apaan tuh. Ceritanya saya sedang jalan-jalan ke toko buku dan menemukan novel serial Anda di gerainya.
Serial? Iya, ajaib juga. Hahaha… saya tertawa kala bangun, barangkali karena penasaran saja dengan sang pengulas cerpen yang tak pernah ketahuan rimbanya di jagat sastra jadi terbawa dalam mimpi. Sayang isi dan judulnya tak jelas, mimpi memang samar dan tak pernah berkompromi sehingga membuat penasaran akan kelanjutannya.
Kini saya ingin tahu, sejak kapan Anda suka karya sastra dan memublikkannya untuk kali pertama? Bagi-bagi cerita, dong. Barangkali bisa mengusir jenuh dengan rutinitas pekerjaan sampai sistem yang brengsek. Ya, kapan saja Anda sempat dan tak usah merasa harus segera dijawab, toh saya akan sabar menunggu karena sudah kerepotan dengan sekian urusan juga.
Kembali pada “Saat Menentukan Arah”, sengaja saya sertakan untuk relaksasi dari tekanan hidup. Semoga bermanfaat. Maaf saya tak bisa menulis puisi lagi, jadi malah menyertakan karya orang lain. 
Pak Tendy, saat menyusuri Jalan Dago sendirian, sebenarnya saya sangat kesepian dan membutuhkan kawan jalan. Di kerumunan orang, sempat terpikir seandainya saja bertemu kawan-kawan lain yang dikenal. Ingar-bingar Dago malah membuat saya seolah tenggelam. Semoga saja suatu saat kelak saya punya kawan jalan, tentunya bukan kawan kencan.
Aduh, Chie bisa mengamuk kalau saya coba-coba pacaran, hehe… Masa Mbaknya demikian. Padahal, harus saya akui, sekarang godaannya kok terasa besar. Tak tahu ya, ini seperti sesuatu yang manusiawi, tertarik pada lawan jenis dan kadang bingung juga kalau di acara seni ada lelaki yang memperhatikan sampai berpikir apanya yang salah, hehe…
Mathori A. Elwa pernah terang-terangan “main mata” di acara Malam Rainer Rilke, Goethe Institute dulu. Namun saya pikir ia CSH jadi cuek saja saling lihat-lihatannya toh saya tak merasa apa-apa padanya, hehehe… Saya konyol lho mengira Mathori itu CSH dan pernah salah meminta tanda tangan padanya. Malu-maluin, ya?!  
Sebenarnya kadang saya heran dengan kehidupan seniman. Bohemian dan ada yang ogah kerja keras meski tak semua. Padahal tangan saya  kasar dan menghargai insan yang gigih dalam hal apa saja, tentunya hal positif. Apakah lelaki zaman sekarang tambah cengeng dan manja?
 Maaf lho, semoga Anda tak tersinggung dengan keheranan ini. Dulu tak banyak lelaki yang saya kenal secara pribadi, jadi waktu ada perempuan yang bilang soal itu sempat bingung juga. Barangkali saya memandang figur ayah adalah sosok keras jadi persepsi macam itu terbawa sampai dihenyakkan pada kesadaran lain.
Saat Chat dengan Oktarano Sazano, ia malah bilang takut pada urusan pekerjaan. Lha, memangnya ia mau jadi mahasiswa abadi?! Lalu, saat Andi Iqbal, Rian Arif, dan sekian lelaki yang saya kenal di jagat maya mengaku sentimental; saya agak kecewa meski tetap positif pada mereka. Lingkungan kerja yang lelaki semua memengaruhi perspektif saya, belum lagi Indra yang gigih dalam usia mudanya tanpa sadar telah menjadi teladan. Sampai saya menyadari ternyata abang saya cengeng dan bergantung pada ibu serta didominasi keluarga istrinya sebagai “mesin uang”, haruskah saya sebal atau kasihan karena ia telah membangkrutkan ibu?
Jadi, lelaki bagi Anda itu bagaimana? Juga perempuan? Maaf mengajak diskusi soal gender.
Boleh berkomentar soal media Anda? Sepertinya “PR” terlalu merasa sudah mapan jadi tak mengembangkan dirinya lebih baik agar mampu bersaing dengan sekian media lain. Kadang isi “PR” monoton. Dulu sebelum ada perubahan, saya sering bosan. Setelah media lain ramai-ramai mengubah formatnya agar lebih baik (salut untuk Republika, Kompas, “MI”, dan “KT”!), “PR” terpaksa ikut-ikutan. Mestinya “PR” mempertimbangkan kemungkinan ke depan, jangan kalah dengan penerbitan lain dan cuma jadi jagoan kandang saja. Maaf lho, Pak Tendy!
Jadi, soal PDA, berjuanglah, dan semoga “Saat Menentukan Arah” menjadi pedoman agar tak terpuruk dengan sekian rintangan. Bukankah Ada sendiri pernah berpesan tentang perjuangan dan kegagalan. Jadi, saya kembalikan pesan Anda yang lainnya: “Seorang pembaharu tidak pernah terbelenggu oleh nafsu, tetapi dia harus mampu memeluk dunia berkutub dua.”
            Jadilah pembaharu semacam itu…
Wassalam,
Ati -- yang bukan Mpok Ati (jauh amat hehe…)
 Ps.
Ada surel masuk, ia bilang tertarik pada esai saya di Republika. Esai yang mana? "Imajinasi Kencing" kok tak dapat honor. Apa yang harus saya lakukan dengan itu? Mengecek langsung ke Republika atau apa? Saldo tabungan tak dapat tambahan. Bagaimana ini, saya takut ada masalah di banknya.
Pak Tendy, saya tak pernah lupa mendoakan Anda dan keluarga, sepenuh cinta. Terima kasih jika Anda mendoakan saya pula. Itu hal terindah bagi hidup saya. Sebuah silaturahmi yang membuat saya kuat.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D