Hari
sudah hampir magrib waktu suami pulang kerja jadi buruh bangunan, Pal pengen jajan
baso dan dikasih uang sama bapaknya yang baru gajian. Karena warung baso Ceu
Tini terlalu jauh dan mungkin magrib akan tutup, terpaksa beli baso di Ceu
‘Ndul. Rumah kami di tengah kepungan ladang jagung, dan tak bisa keluar malam
karena belum punya senter.
Sebenarnya
saya tidak nyaman karena kala kami tiba, magrib sudah jatuh benar, dan ada
sesuatu dalam dirinya yang membuat saya tak lagi dekat setelah mengenal sedikit
wataknya, kecenderungannya dalam berlidah tajam yang mampu mengiris-iris; yah,
terang-terangan mudah marah, sarkas, dan sinis.
Saya
pesan baso 3 bungkus, jenis otak-otak kering. Ternyata cuma ada 6 biji. 2 ribu
berisi 3 biji, jadi setuju sisanya pakai tahu kering 3 biji yang oleh Ceu ‘Ndul
langsung dicemplungkan ke dalam wajan bekas masak seblak berisi air.
Saya
tanya mengapa tidak pakai panci karena akan ada bekas pedasnya. Tadi ada yang
beli seblak dan oleh Ceu ‘Ndul sambal cabenya langsung dituang ke dalam wajan.
Nanti Pal kepedasan, dong, karena
bekas seblaknya masih lengket menempel di wajan.
Entah
apa yang ada dalam logika berpikirnya sebagai pedagang, dia malah bilang tidak
akan pedas. Maaf saja, ya, sebaiknya layani pembeli dengan cara sopan bukan ngasal gitu. Wajan untuk masak seblak
sebaiknya tidak dipakai untuk rebus baso tahu, endapan pedas dari sambal cabe
akan meresap ke dalam airnya, itu akan jadi masalah bagi Pal yang tak kuat
pedas. Panci yang biasa mana? Tau terlalu malas untuk ambil panci? Atau pancinya rusak? Napa tak bilang kalau pancinya tidak ada
saja? Apa susahnya pakai alat masak lain yang bersih?
Sebelumnya,
Ceu ‘Ndul nyuruh saya memotong sendiri otak-otak keringnya. Dia ambil tiga,
saya terpaksa memotongnya karena dia sibuk melayani anak yang tadi beli seblak.
Setelah selesai mengiris semua otak-otak itu, saya hendak ambil sisanya di
bungkus plastik, eh, sama Ceu ‘Ndul
malah dicegah. Tentu saja saya bingung apa maksudnya. Beli tiga dan
masing-masing dapat tiga jadi baru enam. Saya protes dengan bilang beli tiga
bungkus. Ceu ‘Ndul mengoreksi saya dengan cara tidak sabar dan menggebrak meja.
Wah!
Dia
yang salah mengerti atau sengaja ngajak ribut? Saya jelaskan sekali lagi dengan
pertanyaan apakah dua ribu itu tiga? Dia malah berkilah dengan apakah dicampur?
Saya kian heran dengannya. Kalau dicampur tentu dia akan langsung celupkan
somay keringnya yang keras atau menyisihkannya dekat irisan otak-otak tadi.
Tapi itu tidak dilakukannya dan saya tidak bilang minta dicampur.
Suka-suka
banget, sih, dia. Apa lebih mudah menyalahkan “kebegoan” saya karena saya
tuli? Logikanya tadi dia telah mencelupkan baso tahu kering ke dalam wajan.
Sudah. Dan saya cuma memaksudkan baso tahu tersebut untuk mengisi kekurangan
satu porsi.
Saya
tidak memahaminya. apakah dia merasa telah melakukan pembenaran dengan cara
bertanya ulang, “Dicampur?” yang saya jawab tidak. Tanpa minta maaaf segala
atas kekasaran sikapnya. Atau dia memang sengaja ingin mempermainkan saya?
Kalau sudah demikian, apakah cara tersebut lebih memudahkan jalan rezekinya
atau malah akan membuat orang lain antipati dan kabur?!
Seharusnya
saya lebih tegas dalam berkata, menjelaskan, “Oke, 6 biji otak-otak itu untuk
dua porsi, sisanya pakai baso tahu 3 biji,” agar dia tak punya celah untuk
“bermain” dan gebrak meja dengan kasar. Akan tetapi, saya pikir dia cukup
mengerti dan tidak ada indikasi dia akan mencampur dengan bahan lain. Error banget!
Sudahlah,
seharusnya saya tahu dia jenis insan ngasal
dalam berdagang. Memberi kesan jorok pada tata caranya. Ironisnya merasa benar.
Puza, keponakan saya, bilang tak suka seblaknya karena pernah heubeul alias mual.
Saya
bilang pernah dapat porsi kerupuk kuning doang
tanpa campuran padahal ada kwetiau. Kayak pilih kasih. Dan rasanya juga tak
mantap dalam kepedasan. Padahal di warung lain selalu berasa pas pedasnya.
Warung lain cukup royal memberi sambal tanpa mengukur apakah itu memberi
kerugian. Yang penting pembeli suka dan datang lagi.
Selain
itu, saya bingung mengapa dia tak mencuci dulu bawang merah sebelum diiris. Itu
bawang untuk taburan buburnya. Cukup dikupas saja lapisan kulit luarnya, sudah
dianggap akan bersih, ‘kali. Tak peduli asal muasal bawang dari mana. Dari
perkebunan, lalu pasar, dan tercemar debu dan kotoran, plus kuman dan bakteri.
Dan saya kerap menyaksikan caranya. Apa susahnya ambil sebaskom air untuk
mencucinya lebih dulu?! Seolah kebiasaan mencuci bahan untuk bumbu dianggap
tidak perlu.
Oke,
saya kapok berurusan lagi dengannya. Cukup sekali sudah saya “dihadiahi”
gebrakan meja, tanpa minta maaf segala. Mana kala saya menolak air rebusan
untuk jatah Pal dan bilang di rumah saja, dia ngotot berupaya meyakinkan dengan
menyodorkan sendok sayur berisi airnya yang langsung mengenai kaki saya. Panas,
tuh, tepercik air didihan. Malah tidak minta maaf telah demikian. Atau tidak
mau tahu. Di mana rasa malu?
Ehm,
caranya memperlakukan orang lain seperti itu atas dasar apa, sih? Saat mengambil uang kembalian saja
pakai acara merengut segala. Apa tampang masam merupakan bagian dari cara
berdagang yang baik dan benar?!
Saya
kasihan padanya. Dia jenis insan kebanyakan yang terbiasa kasar, sinis,
berlidah tajam, tetapi tidak punya kepekaan diri. Sepupu saya, mamah Puza, bilang dari dulu dia kasar
dan galak. Dari sejak muda. Dan sekarang pun, kata sepupu, kalau menumpahkan
amarah masih memaki pakai anjing, bagong, goblok. Di usia 40 tahunan kayak gitu
masih demikian? Mengherankan.
Dia
masih kerabat saya. Masih sepupu dari sepupu saya. Artinya kami masih satu
buyut dari pihak nenek. Nenek dia kakak nenek saya. Namun ikatan persaudaraan
kerap menjauhkan karena kekasaran watak dan cara memperlakukan lidah. Dia jenis
orang yang mudah marah bukannya sabar.
Dan
ternyata bukan saya saja yang jadi korban ketajamannya. Ada banyak insan yang
merasakan, termasuk anak-anak dan menantunya! Selain para tetangga. Sampai ia
mendapat stigma.
Ketika
cucu lelaki satu-satunya yang masih balita mewek ingin beli mainan tapi
dilarang olehnya, pada saya dia bilang dengan marah bahwa pedagangnya pakai
acara menyodor-nyodorkan.
Saya
tidak tahu apakah akan bereaksi sangat reaktif seperti itu kalau Pal demikian,
mewek ingin sesuatu. Menyalahkan pedagang yang memang sengaja main sodor. Marah
pada pedagang tersebut. Yang jelas saya tidak pernah berbuat demikian. Agresif
hanya dibutuhkan kala merasa dalam ancaman bukan untuk mencela orang.
Saat
mengenal orang lain, kita akan berhadapan dengan watak asli yang tak
mengenakkan. Reaksi dalam relasi antarsesama tersebut bisa bersifat positif
atau negatif. Bergantung karakter yang sedang berinteraksi.
Kalau
seseorang terbiasa berperilaku kasar, sinis, nyinyir, terang-terangan atau
diam-diam mencela dan menggunjingkan orang, maka habbit
tersebut sulit diubah. Ironisnya, hal tersebut kerap dijumpai dalam kaum
perempuan, entah di perdesaan atau perkotaan.
Bergunjing
dianggap sekadar menggosip biasa, membicarakan orang lain tanpa tahu
kejelasannya seakan hal lumrah. Tak heran, sifat poksang, alias bicara seenaknya tanpa mengendalikan lidah, ibarat
penyakit menular dalam komunitas pergunjingan. Kecenderungan untuk meremehkan
atau menjatuhkan orang dianggap hal wajar. Lucunya, mereka mungkin akan murka
dan merasa terhina kalau balik diperlakukan demikian.
Saya
cuma bisa menulis ini, menyuarakan hal-hal tak berkenan sebagai bagian dari
protes, sekaligus cara merefleksi diri. Sistem pranata sosial dalam masyarakat
di kampung penuh hal absurd.
Ada
orang yang tidak suka bergunjing dan tetap berupaya berperilaku baik karena
tidak menjadikan acuan kaum penggunjing sebagai habbit.
Ada
juga yang tetap tengggelam dalam kubangan demikian dan tak merasa berdosa telah
memakan “sebagian” daging saudaranya. tak peduli apakah ucapan (ghibah) mereka termasuk kategori fitnah
atau tidak. Yang penting mereka merasa senang dan ramai jika berkumpul.
Tidakkah mereka takut kelak akan jadi bahan bakar neraka karena mizan telah menimbang dengan adil hisab mereka?[]
Cipeujeuh, 15 Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D