Kamis, 18 Januari 2018

Hiperbolisme Babi Ngesot Ala Raditya Dika



 

Humor sering kali memberi kekuatan terselubung, lebih dari sekadar membuat orang tertawa, ada sentakan alam bawah sadar yang kadang kita abaikan. Betapa kita sebenarnya “biasa” melakukan kebodohan dan kebegoan -- dengan atau tanpa sadar -- namun kadang menyangkal: kita tak merasa bodoh atau bego karena ego!

Oleh ROHYATI SOFJAN

   DATA BUKU    : Babi Ngesot: Datang Tak Diundang, Pulang Tak Berkutang
   PENULIS       : Raditya Dika
   PENERBIT            : Bukuné, Jakarta
   Cetakan         : Kedua, Mei 2008
   Tebal            : viii + 240 Halaman

NAMUN Raditya Dika dalam Babi Ngesot: Datang Tak Diundang, Pulang Tak Berkutang, berani menelanjangi polah laku-dirinya dengan polos dan blak-blakan, meski kepolosannya diwarnai semangat hiperbolik -- ditambahi semacam “bualan” kekanakan.
Keberanian yang patut kita hargai sebab ia telah menertawakan kehidupan dengan gaya ala Forrest Gump. Bahkan pede saja dicap penulis Indonesia terbodoh saat ini, kala terlalu banyak “kepintaran” justru membosankan.
Pun filosofi pemilihan judulnya yang nyeleneh, Hantu emang gak datang tanpa diundang atau tanpa sebab. Kecuali Jelangkung versi film bokep: datang tak diundang, pulang tak berkutang. Terus Babi Ngesot? Ya, semacam itulah kira-kiranya.
Simak saja bagian pengantarnya: Banyak hal yang gue takutkan: perang, hantu, dan gosok gigi pakai deodoran. Dari semua phobia ini, kuburan adalah yang paling gue takutin. Gue pernah sekali berdua ke kuburan, dan temen gue bilang dengan wajah penuh kengerian, ‘Lo cium itu? Itu bau kejahatan dan kematian.’ Gue bales, ‘Wow, seperti bau celana dalam gue.’
Anehnya ketakutan-ketakutan selalu seru untuk diceritakan. Maka, gue persembahkan sebuah buku tentang ketakutan gue terhadap segala hal yang ngebuat gue jerit sampai ngesot, tentunya dengan gaya komedi. Ini adalah buku Babi Ngesot: Datang Tak Diundang, Pulang Tak Berkutang. Ini adalah buku yang bisa ngubah hidup kamu semua, terutama kalo abis baca buku ini kamu ngerampok bank, ketangkep, dan dihukum gantung!”
Wah, jika bagian pengantar saja sudah heboh, bagaimana isinya? Dan Raditya Dika sah-sah saja menuangkan 17 cerita pendek pengalaman pribadinya secara aneh-tapi-nyata, dengan gaya bahasa pop dan khas anak muda banget.
Meski isinya tak melulu soal horor bagi kita pembacanya, namun barangkali bagi Raditya sendiri kepolosan polahnya cukup menghororkan kehidupan yang telah ia jalani. Kita boleh menyebutnya sebagai ketegangan, lucunya Raditya memaparkannya dengan cara superkonyol bin kocak. Maka, berhati-hatilah bagi yang punya kebiasaan buruk berupa membaca sambil makan atau sebaliknya, bisa jadi di bagian tertentu kita sontak ngakak sampai tersedak.
Lebih baguslah jika cuma masuk puskesmas bukan bui (sebagaimana Mark Chapman, pembunuh John Lennon, kala ditangkap konon sedang duduk-duduk di trotoar sambil baca The Catcher in the Rye J.D. Salinger -- yang ditahbiskan sebagai kitabnya para pembunuh).
Jika Forrest Gump (Gramedia, Juni 1995) memaparkan keluguannya sebagai orang idiot dalam memandang dan memaknai kehidupan secara ringan namun mendalam, plus seru dan gila-gilaan, tak masuk akal namun tak berlebihan.
Raditya Dika cenderung tipikal khas anak muda urban masa kini yang membebaskan imajinasinya untuk berani sinting, menentang pakem “norma-normal”, meski pada akhirnya kadang ia kesandung juga.
Entah apakah Raditya terinspirasi novel karya Winston Groom itu, sebab ada beberapa bagian yang seakan mengingatkan pada perjalanan Gump, seperti digencet kakak kelas (“Asal Jangan Jadi Perkedel”).
Gue juga belajar hal yang paling krusial dalam bertahan hidup dari siksaan senior, Hukum Kabur I: jika kamu dikejar senior, kamu tidak perlu berlari lebih cepat daripada dia. Kamu hanya perlu berlari lebih cepat daripada temen kamu. Kebenaran hukum ini dipraktikkan sewaktu gue dan kedua temen gue: Reno dan Hugo, berjalan cepat melintasi lapangan basket yang ditongkrongi anak kelas tiga. Begitu kita menyeberang, ada satu anak kelas tiga langsung nafsu ingin menarik kita untuk ikutan nongkrong. Gue, yang paling belakang, langsung menyalip Hugo dan Reno. Hasilnya urutan kabur jadi terbalik: gue, Hugo, baru Reno yang paling belakang. Reno pun langsung ditarik sama kelas tiga. Gue sama Hugo berhasil kabur naik bajaj.
‘Reno gimana? Reno gimana?’ Hugo berteriak di dalam bajaj. Kita berdua berasa lagi kabur sewaktu perang Kemerdekaan ketika salah satu teman kita ada yang baru aja diculik sama orang Belanda. (Hlm. 16)
Lalu masa kuliah (“Gosip”). Sebagai anak FISIP UI yang moody, kala bosan Raditya minta izin pada dosennya, Eep Saefulloh Fatah, untuk cabut dulu dan membisikkan alasan bahwa tantenya melahirkan. Eh, Mas Eep malah mengira bahwa istrinya yang melahirkan. Sehabis memberi izin, pakai acara mengajak doa bersama, satu kelas segala! Akibatnya, keesokan hari urusan malah runyam bagi Raditya.
YA AMPUN! Mas Eep kok jadi salah denger gini. Pantesan aja dia sampe nepok pundak gue, dia pasti mikir, ‘Gila nih mahasiswa gue, istrinya melahirkan tapi sempet-sempetnya ikut kuliah gue. Keren juga gue.’ (Hlm. 72)
Atau kelucuan kala membentuk ben semasa kuliah di Australia dan ikut Terbaik Band Competition (“Kucing Jawa”). Ada band yang lagunya juga bagus, mainnya juga rapi, tapi gitarisnya seperti kelebihan kafein. Gitarnya diputer kayak helikopter. Muter ke sana-sini. Lalu dia loncat sambil teriak, ‘WAAAAW!’ Heboh abis. Dia juga pake celana kulit ketat banget sampai-sampai semua orang tahu kalau dia udah disunat. (Hlm. 157)
Lalu jelang pilpres 2009, Raditya enak saja berandai-andai untuk mencalonkan dirinya sebagai presiden (“Radith for President”). Membuat press release konyol. Mengingatkan pada kekonyolan Gump kala dicalonkan untuk jadi presiden Amerika.
Jika Gump sempat berkenalan dengan seorang master catur, Mister Tribble dan ikut kompetisi catur segala. Raditya cukup diperkenalkan dengan seorang Master Hapkido, Master Kim, guru bela diri Harianto teman sekelasnya, kala dapat tugas bikin feature article, ditemani Sabrina. Lalu di lain saat ia baru tahu kalau sang master ternyata merangkap koki di KIM’S BBQ kala makan bareng Sabrina. Konyolnya mereka malah berdebat kusir segala soal Master Kim yang jadi koki. Sabrina yang tidak tahu nama sang master hapkido itu malah mengira Master Kim yang koki terkenal di televisi dan teriak-teriak tidak mungkin (“Itu Kan”).

KITA? Mestinya KAMI!
Apakah humor harus diperlakukan hati-hati jika dituangkan ke dalam buku? Sebab bisa saja nuansa humornya hilang. Raditya barangkali tak terlalu peduli. Ia liar saja menyintingkan polah laku-dirinya secara hiperbolik.
Hal yang bisa jadi tak lucu bagi orang lain malah jeli ditangkap momennya. Semacam mischief. Modal yang membuatnya tetap kreatif. Toh, ia telah sukses menerbitkan buku serupa yang diterbitkan Gagas Media, Kambingjantan: Sebuah Catatan Harian Pelajar Bodoh (blog pertama yang dibukukan), Cinta Brontosaurus, dan Radikus Makankakus.
Jika horor saja bisa dihumorin, seperti pocong bagi Raditya tak perlu ditakuti, ambil saja sudut bidik lain: Udah didandanin kayak permen, gak punya tangan pula. Tinggal dijorokin dikit juga guling-guling. (“Merinding Disko”, hlm. 162) Benar-benar enteng meski rada inkonsisten dengan bagian pengantar soal fobia pada hantu.
Babi Ngesot-nya Raditya Dika sangat beragam isinya. Namun inti dari semua itu adalah bagaimana memperlakukan dunia yang sinting dengan perspektif yang sinting pula. Bahwa ketegangan pun menyimpan parodi, tinggal bagaimana kita memperlakukan diri sendiri dan orang lain sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan yang kaya warna.
Maka, cerita lain seperti “Ingatlah Ini Sebelum Meminta Dipijit”, “Prince of”, “Panduan Singkat Menghadapi Cewek”,  “Surup-Menyurup”, Pentingnya Membawa Babi Bersayap Sewaktu Kencan Buta”, “My Heart is Like in Jail”, “Ketekku, Bertahanlah!”, “Kawin, Kapan?”, “Pertanyaan untuk Tabib”, “Babi Ngesot”, dan “Celana Cokelat Itu”; adalah semacam ejekan bagi kita yang menganggap hidup kelewat berat dan serius sehingga terlalu “normal”.
Akan tetapi, entah mengapa hal-hal yang bisa saja bagi orang lain dianggap porno, bagi Raditya tak masalah. Yah, sebagai anak muda dengan libido (menulis?) yang tinggi, film bokep (bentul/BF) atau caci-maki khas anak muda merupakan gaya hidup kosmopolitan masa kini.
Yang mengganjal dari kesempurnaan buku itu adalah penggunaan kata KITA untuk yang mestinya di-KAMI-kan. Sayang memang jika kosmopolitanisme sendiri telah memamah makna bahasa sehingga harus melenceng dari yang dimaksud agar keren atau apa. Padahal, bagi penerbit sekelas Bukuné yang juga menerbitkan majalah senama (dengan moto think fun, think books), haruskah ikut memeriahkan kebingungan awam?
Kalaupun kata KAMI yang dipakai bukan KITA (yang memang tidak dimaksudkan sebagai pronomina pertama jamak tetapi yang berbicara bersama orang lain -- tidak termasuk yang diajak berbicara), saya rasa tidak akan mengganggu kesempurnaan buku itu.
Sebab, haruskah kita mengikuti kaidah orang kebanyakan (yang lebih banyak salahnya), daripada kaidah yang sudah dari dulu ditentukan oleh pakar bahasa agar bahasa Indonesia tak kacau balau?
Meskipun demikian, salut untuk kerja keras dan kejelian orang di balik layar, Windy Ariestanty (editor), Dewi Fita dan Mala Aprilia (proof reader), Yasinta Mutiara Aini (penata letak dan desain sampul), sampai Adriano Rudiman (ilustrasi).
Babi Ngesot hadir dengan sempurna dan tanpa cela. Tak ada kesalahan ketik dan ejaan (kecuali “mengguman” yang mestinya “mengumam”), cukup apik dalam gramatika (guyuber juga?), dan penampilan luar-dalamnya menjanjikan. Sesuatu yang mestinya menjadi perhatian para penerbit muda. Juga penulis Indonesia.

#Cipeujeuh, 30 Juli 2008






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D