Oleh Rohyati Sofjan
SEPUPU saya, ibu dua
anak perempuan dan satu lelaki, karena alasan ekonomi memilih bekerja sebagai
TKI di Saudi. Tentu ia senang ditempatkan di sebuah kota yang masih termasuk
wilayah Mekah. Yang tidak ia antisipasi adalah fakta dan budaya keluarga
majikannya. Hari pertama kedatangannya disambut dengan baik. Namun selanjutnya
ia harus berhadapan dengan benturan kenyataan sebagai khadimat yang
barangkali kedudukannya setara sebagai budak.
Sebagai khadimat di mata majikannya yang berbeda
kultur, pembantu barangkali tak lebih sebagai budak belaka. Harus bekerja
nonstop dari subuh sampai tengah malam. Memakai baju tradisional khas Arab
berupa abaya dan burqah, yang halal terlihat cuma mata dan
telapak tangan. Dan sepupu saya merutuki nasibnya yang tak terbayangkan harus
sengsara sebagai pengadu nasib di negeri orang..
Ia yang pernah membabu di kota kala gadis sampai berumah
tangga, harus alami culture shock yang membuatnya gagap budaya.
Mulai dari bahasa sampai kultur yang berbeda. Ia yang merasa yakin akan mudah
menguasai bahasa Arab karena pernah belajar kitab kuning dasar di kampung,
kaget karena bahasa Arab yang sebenarnya memang berbeda. Mulai dari pengucapan
yang cepat sampai bahasa sehari-hari yang asing baginya. Tentu berakibat
miskomunikasi. Dan hari-hari buruk pun harus dialaminya sampai ia mengutuk
hidup.
Di karantina dan pelatihan PJTKI ia telah diajari tentang
hal-hal yang semestinya. Yang tidak ia pahami adalah ketakterdugaan akan
beroleh majikan seperti apa. Apalagi ia direkrut seorang anak dari majikannya
yang telah menandatangani perjanjian kontrak kerja. Anaknya, yang berbeda
rumah, sih baik, namun keluarga majikannya... ya begitulah.
Bekerja di rumah keluarga yang termasuk masih menganut
asas Arab kolot membuatnya tertekan. Majikan perempuannya seorang nenek yang
cerewet dan pelit. Barangkali orang kaya merasa bisa berbuat sekehendak hati
pada si miskin dari negeri “berkembang” yang bahkan tidak ia tahu ada di mana
letaknya.
Namun sepupu saya memang pejuang gigih, dua tahun lebih
ia harus berkutat dengan pekerjaan berat dan perlakuan tak layak demi
keluarganya. Anak-anaknya masih kecil, usia SD dan SMP. Suaminya butuh modal demi
merintis konveksi tas. Belum lagi utang yang ditinggalkannya karena untuk
berangkat jadi TKI butuh bekal.
Seiring waktu majikannya mulai berubah baik, meski
pekerjaan tetap berat. Seperti mengangkut berkarung-karung zaitun dari bawah
untuk dijemur di lantai atas, atau bahkan mengangkat barang yang semestinya
dikerjakan oleh tenaga lelaki, selain tugas-tugas rumah tangga yang
dikerjakannya sendirian.
Ia yang kecil ringkih beroleh berkah berupa kesadaran
akan makna hidayah. Tentang hal-hal buruk yang pernah dilakukan di tanah air,
dari lisan sampai tindakan. Ia yang dulu bermulut tajam dan suka bergunjing
melihat cermin. Mekah adalah kota suci. Jadi ia mohon ampun kepada Allah atas
dosa-dosanya, bahwa ia pernah melukai pada anak, suami, tetangga, sampai orang
lain. Ia menjadikan buku harian sebagai kawan.
Di rumah majikannya, ia tentu heran karena tak ada
pengajian ala tadarus Quran. Hanya ialah satu-satunya penghuni rumah itu yang
pada akhirnya menjadikan mengaji sebagai kekuatan. Acara TV yang ditonton
keluarga majikannya hanya berisi ceramah agama berbahasa Arab melulu. Namun lucunya
dari segi praktik keagamaan, ia amati, lebih baik di kampung sendiri kala
ibu-ibu berbondong-bondong menghadiri majlis taklim.
Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Ia
mencoba beradaptasi menjalani hari demi hari. Ada kekuatan yang menyelubunginya.
Kedekatan dengan Allah Sang Maha Pendengar doa. Sampai ia diminta menunda
kepulangannya agar bisa umrah. Lalu kala mudik diminta segera kembali untuk
memperpanjang kontrak kerja agar bisa berhaji musim haji kemarin. Bersama
keluarga besar majikannya tentu saja.
Apa rahasianya hingga bisa bertahan dan tetap direkrut
kerja oleh majikannya? Seburuk-buruknya lisan yang kita terima dengarkan saja
untuk keluar lewat kuping lainnya agar tidak makan ati. Dan jangan membantah
atau menimpali karena itu dianggap tidak sopan. Namun jelaskan kalau tidak
melakukan kesalahan kala ia pernah alami ketidakadilan akibat suudzhan.
Tetap sopan secara adab sekaligus tegas dan tidak lemah. Setidaknya ia tak
alami kekerasan fisik seperti nasib babu lain yang lebih malang daripadanya.***
Cipeujeuh, 26 Maret
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan jejak persahabatan berupa komentar agar bisa menjalin relasi sebagai sesama blogger. Soalnya suka bingung, SILENT READER itu siapa saja, ya? :D